Mongabay.co.id

Laut Obi dan Halmahera Tercemar Aktivitas Tambang

 

Aktivitas pertambangan di laut Maluku Utara berdampak pada kesehatan laut, nelayan dan usaha di bidang perikanan dan kelautan. Seperti yang terjadi di laut Pulau Obi Halmahera Selatan, Halmahera Tengah maupun Halmahera Timur.

Kejadian terbaru di Pulau Garaga, air lautnya diduga terkontaminasi  kerukan tambang setelah ada banjir di kawasan tersebut. Informasi yang dihimpun Mongabay di lapangan menyebutkan, pulau yang sangat dekat ke Pulau Obi itu, lautnya berwarna kuning kecoklatan seperti tanah tambang. Warna laut ini berubah setelah terjadi  hujan  di kawasan tersebut.

Informasi ini didapat pihak Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Selatan setelah mereka menerima laporan dari perusahaan mutiara yang beroperasi di Pulau Garaga.

“Salah satu petinggi perusahaan PT Karya Alam Bahari yang  mengelola mutiara di pulau tersebut  menyampaikan ke staf DKP kemudian diteruskan  kepada kami,” jelas Kadis Perikanan Kabupaten Halmahera Selatan Yusuf H Untung, Selasa (21/11/2023).

Informasi  menyebutkan, perusahaan tersebut harus bekerja ekstra melakukan pembersihan agar tidak berdampak besar pada lokasi budidaya mutiara tersebut.

“Namanya pencemaran tetap ada kerugian tetapi masih dalam kondisi aman. Makanya kita  bangun komunikasi dengan pihak perusahaan tambang hal ini tidak terulang lagi ,” ujar Manager Lapangan Perusahan Mutiara Garaga, Bosco Tanubun, Rabu (22/11/2023).

baca : Mereka Suarakan Kerusakan Pulau Obi Dampak Industri Nikel

 

Kawasan budidaya mutiara di Pulau Garaga yang tercemar kerukan tambang nikel pasca banjir pada Senin, 20 November 2023. Foto : DKP Halmahera Selatan

 

Sedangkan perusahaan mutiara ini ada sebelum perusahaan tambang beroperasi dengan luas wilayah budididaya mutiara sekitar enam hektar.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Halmahera Selatan Samsul Abubakar mengatakan pihaknya telah menerima laporan permasalahan itu sesuai laporan Dinas Perikanan Kabupaten Halmahera Selatan.

“Kami segera menindaklanjuti dengan membentuk  tim yang akan turun ke Obi. Tim sudah dibentuk dan akan meng-croscek langsung ke perusahaan mutiara maupun ke perusahaan tambang di sekitarnya. Hasilnya nanti akan kami sampaikan secara terbuka,” katanya.

Dari informasi sementara, kata Samsul, kejadian itu dikarenakan jebolnya tanggul milik PT. GMI, kontraktor dari PT. Wanatiara Persada. Atas persoalan ini Tim DLH Halsel Kamis (23/11/2023) akan turun ke lokasi.

Soal ini, bagian environmental PT Wanatiara Persada yang dihubungi via pesan aplikasi WhatsApp dengan nomor +62 853-2898-XXXX tidak ditanggapi walaupun pesan  terbaca atau  tercentang biru.

baca juga : Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

 

Kondisi air laut di Pulau Garaga, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan yang tercemar aktivitas tambang. Foto : DKP Halmahera Selatan

 

Cemaran Oli

Pencemaran juga terjadi di perairan selat Pulau Belemsi dan tanah besar (daratan) Halmahera Timur, tepatnya di depan Desa Maba Pura. Diduga terdapat cemaran BBM jenis oli tercampur kerukan tambang yang berdampak pada alat tangkap bagang dan pukat jenis kofo menangkap ikan ngafi  milik nelayan setempat.

Feliks Sampel (41) warga Desa Mabapura menjelaskan sesuai keterangan  para nelayan Desa Buli Asal menemukan limbah oli di laut pada Sabtu (19/11/2023) malam diantara perahu bagang milik nelayan. Malam itu mereka belum sempat gulung jaring ikan teri karena harus menunggu tumpahan oli lewat terbawa arus.

Soal cemaran ini, nelayan tidak tahu sumbernya, apakah dari kapal atau perusahaan sekitar pulau tersebut.   Kejadian ini bukan kali pertama. “Seingat saya  sudah tiga sampai  empat kali,” jelasnya.

Karena laut yang tercemar oli, nelayan bagang yang menangkap ikan teri terpaksa berpindah tempat. Padahal di kawasan ini banyak ikan teri dan ikan kembung. Di kawasan laut tersebut ada aktivitas kapal-kapal milik perusahaan hilir mudik mengangkut ore nikel terutama di  kawasan pesisir Tanjung Buli.  “Ada kapal  tongkang, tug boat dan  kapal ekspor,” ujarnya.

Liong Korang (29), warga Mabapura bersama nelayan lain menyisir laut dan menemukan cemaran oli di perairan di dekat Pulau Gee. “Saat kami pegang sudah menggumpal karena terendam di air laut. Tadinya berwarna hitam, berubah jadi agak orange. Jaring ikan teri sudah tidak bisa dipakai karena lengket oleh oli,” jelasnya.

Mereka juga menduga adanya kebocoran di pabrik perusahaan tambang karena oli itu sama seperti cairan dari pabrik.

baca juga : Nasib Nelayan Halmahera Tengah Setelah Ada Industri Nikel [1]

 

Perairan laut Halmahera Timur yang terkontaminasi cemaran oli bekas. Foto : warga Halmahera Timur

 

Kepala DLH Halmahera Timur, Harjon Gafur dikonfirmasi mengakui di Halmahera Timur ini  banyak perusahaan. Di dekat Pulau Pakal di Tanjung Buli dan di Pulau Mabuli ada empat perusahaan.

“Kita juga ingin tahu sumber oli itu tumpahan dari mana, dari aktivitas tambang yang mana.  Bisa jadi orang buang oli  dari perahu di tengah laut atau dari daratan mengalir ke laut lalu dibawa arus.  Saya sudah dapat info  dari salah satu sumber  melalui  video, makanya mau croscek sumbernya. Setelah itu baru kita panggil pihak perusahaan pertanyakan terkait tata kelolanya,” kilahnya.

Terkait kondisi laut Maluku Utara,  riset Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara yang dipublikasikan Rabu (15/11/2023) menemukan adanya tekanan tinggi terhadap kondisi laut di mana ada industri ekstraktif tambang. Temuan WALHI, penambangan biji nikel oleh kelompok perusahan di sekitar Teluk Weda dan Pulau Obi yang marak,  menambah tekanan lingkungan bagi perairan.

Publikasi hasil riset bertema Kerusakan Ekologi Diakibatkan Industri Ekstraktif Nikel di Halmahera Tengah dan Pulau Obi yang masuk Proyek  Strategis Nasional (PSN) di Hotel Ayu Lestari Ternate itu.  Dr. Muh. Aris, peneliti yang digunakan WALHI mengatakan  riset pertama kali dilakukan  2019 di Pulau Obi selama tiga tahun.  “Data dari tiga tahun  itu menunjukkan memang ada ancaman serius di laut Maluku Utara,” jelasnya.

Dia bilang di Teluk Weda Halmahera Tengah  misalnya hampir semua sampel ikan  yang diteliti dari usus, hati  sudah mengalami kematian sel. Artinya tidak sehat lagi ikan-ikan di Teluk Weda. Untuk kualitas air perairan di  teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran. Bahkan telah terakumulasi ke biota laut  seperti kima dan ikan.

“Jika biota laut terpapar logam berat, sangat bahaya karena logam berat bersifat  toksik dan dapat membahayakan masyarakat sekitar.” jelasnya.

baca juga : Kala Tambang Nikel Datang, Biodiversitas Pulau Wawonii Mulai Terdampak

 

Sisa cemaran buangan oli yang lengket di jari nelayan saat membersihkan pukat ikan teri. Foto : warga Halmahera Timur

 

Di tempat sama, Dr. Aditiawan Ahmad peneliti yang juga membantu WALHI dalam riset ini mengungkapkan, perubahan hutan pantai dan hutan mangrove Kecamatan  Weda Tengah selama periode 2012- 2015 menyebabkan perubahan luas lahan sebesar 12,82  persen atau 4,27 persen per tahun.  Perubahan ini karena adanya kegiatan ekstraktif di Obi dan Weda Tengah.

“Selama periode 2015-2023  terjadi perubahan luas lahan sebesar 11, 85 persen  atau 1, 48 persen per tahun. Jumlah total luas lahan hutan pantai dan hutan mangrove yang dikonversi selama periode tahun 2012-2023 adalah 491,93 Ha atau 2,15 persen selama 11 tahun,” jelas Aditiawan. Jika hutan mangrove dan hutan pesisir habis, sudah pasti, berpengaruh  terhadap kehidupan biota laut.

Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela,  menyampaikan, Pemerintah Indonesia memiliki ambisi  besar terhadap pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai nikel.  Pada 8 Agustus 2019, Presidn Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No.55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Perpres untuk meningkatkan efisiensi energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, serta mewujudkan energi bersih, kualitas udara bersih, ramah lingkungan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Caranya mendorong percepatan program kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle). Ambisi ini justru melahirkan  tragedi ekologis. Seperti kondisi laut  Maluku Utara saat ini. (***)

 

Exit mobile version