Mongabay.co.id

Hilangnya Pulau-pulau di Sumatera Selatan

 

 

Sumatera Selatan bukan kepulauan. Di masa lalu, diperkirakan terdapat ratusan pulau. Ke mana perginya pulau-pulau tersebut?

Sumatera Selatan luasnya sekitar 9,1 juta hektare. Sekitar tiga juta hektare adalah lahan basah, berupa sungai, rawa gambut, danau, dan mangrove.

Di masa lalu, di lahan basah ini, diperkirakan terdapat ratusan delta, seperti di sungai dan perairan sekitar mangrove. Delta-delta ini, sebagian besar berada di Sungai Musi [750 kilometer] dan anak-anaknya. Sungai Musi adalah sungai terpanjang di Sumatera Selatan.

Delta-delta yang disebut pulau oleh masyarakat di Sumatera Selatan berangsur hilang. Kini, tersisa 23 pulau yang berada di lahan basah. Ke-23 delta tersebut, antara lain Pulau Betet, Pulau Borang, Pulau Brendam, Pulau Burung, Pulau Deltaaersalek, Pulau Deltaaersugihan, Pulau Deltatelang, Pulau Deltaupang, Pulau Gundul, Pulau Kalong, Pulau Kemaro, Pulau Kreto, Pulau Kramat, Pulau Lopak Besak, Pulau Lopak Kecik Pulo, Pulau Payung, Pulau Salahnamo, Pulau Selatcemara, Pulau Selatpunai, Pulau Singgris, Pulau Srijaya, Pulau Alanggantang, dan Pulau Alangtikus.

Dari puluhan pulau atau delta tersebut, tidak banyak didiami penduduk. Pulau yang banyak didiami penduduk, hanya Pulau Kemaro dan Pulau Kreto, yang masuk Kota Palembang.

Baca: “Jampi-jampi” yang Menjaga Lahan Basah Sungai Musi

 

Pulau atau delta di Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, Sumsel, yang menghilang dikarenakan perubahan lahan basah di sekitarnya. Foto [Drone]: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Pulau yang cukup terkenal di Sumatera Selatan, yakni Pulau Kemaro. Setiap tahun, di delta seluas 79 hektare, yang terdapat Klenteng Kwan Im atau Klenteng Hok Tjing Bio, digelar Cap Go Meh, sebuah perayaan Tahun Baru Imlek. Mereka yang merayakannya bukan hanya masyarakat Tionghoa di Sumatera Selatan, juga dari Jakarta, Jambi, Pulau Bangka, hingga dari Singapura dan Malaysia.

Pulau Kemaro juga bagian penting dari sejarah Kesultanan Palembang. Pada awal abad ke-19, saat Kesultanan Palembang berperang dengan bala tentara Kerajaan Belanda, di Pulau Kemaro didirikan Benteng Tambak Bayo milik Kesultanan Palembang.

Benteng Tambak Bayo cukup kokoh menghadapi kapal-kapal perang milik Kerajaan Belanda di Sungai Musi, sehingga peperangan pada 21 Oktober 1819 dimenangkan Kesultanan Palembang. Tapi, pada 24 Juni 1821 dini hari, serangan mendadak bala tentara Kerajaan Belanda, membuat Benteng Tambak Bayo dapat ditembus.

Seusai peristiwa 30 September 1965, di Pulau Kemaro didirikan kamp tahanan politik. Sebagian besar tahanan politik adalah anggota PKI [Partai Komunis Indonesia] dan pendukung Soekarno.

Pulau Kemaro juga punya legenda, yakni legenda Siti Fatimah. Dikisahkan, di masa lalu seorang pangeran Tiongkok, bernama Tan Bun An, berkasih dengan Siti Fatimah, seorang putri pemimpin Palembang. Dikarenakan suatu peristiwa, sepasang kekasih ini tewas tenggelam di Sungai Musi, di sekitar Pulau Kemaro.

Baca: Kembalikan Lebak Lebung di Lahan Basah Sungai Musi

 

Pembangunan jalan [tidak bertiang] di lahan basah, membuat bentang alam mengalami kerusakan atau berubah. Foto [Drone]: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Hilangnya pulau-pulau

Perubahaan bentang alam lahan basah, menyebabkan hilangnya ratusan pulau atau delta. Terutama pulau yang berada di anak-anak Sungai Musi, seperti di lahan basah Sungai Komering dan Sungai Ogan.

“Mengubah rawang atau rawa di sekitar pulau atau delta, menjadi perkebunan skala besar, lokasi permukiman transmigran, dan infrastruktur, jelas menghilangkan wilayah perairan, sehingga pulau atau delta tidak lagi menjadi pulau,” kata Adios Syafri dari HaKI [Hutan Kita Institut].

Berdasarkan data HaKI, luas lahan basah di Kabupaten OKI sekitar 1,4 juta hektare. Sekitar 647.766 hektare rawa gambutnya berubah fungsi. Dijadikan perkebunan sawit seluas 74.057 hektare, HTI seluas 397.574 hektare, serta sekitar 176.135 hektare menjadi permukiman [transmigran], perkebunan rakyat, lokasi pabrik, dan jalan.

Sementara luas lahan basah di Kabupaten Ogan Ilir [OI] sekitar 93.310 hektare, yang sebagian besar berubah fungsi menjadi perkebunan dan infrakstruktur.

“Dulu, Kecamatan Pampangan ini kumpulan pulau-pulau. Misalnya Pulau Kuro, Pulau Menggeris, Pulau Pampangan, Pulau Layang, serta pulau-pulau kecil seperti Pulau Tapos. Tapi adanya jalan darat, serta keringnya rawang [rawa gambut], membuatnya menyatu,” kata Muhammad Husin, warga Desa Bangsal, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI]. Desa Bangsal salah satu desa di Pulau Kuro.

Di masa lalu, pulau yang cukup besar di Kabupaten OKI adalah Pulau Sirah Pulau Padang, yang kini menjadi Kecamatan Sirah Pulau Padang.

Pulau ini berada di Sungai Komering, yang sekitarnya terdapat rawa yang luas. Tapi pembangunan jalan, serta pengeringan rawa sebagai perkebunan, persawahan, serta permukiman baru, membuat pulau ini tidak lagi dikurung perairan.

“Di masa [pemerintahan] Belanda, kata orang tua saya, Sirah Pulau Padang adalah pulau yang ramai, sebagai lokasi perdagangan hasil bumi,” kata Muryati [82], warga Plaju Palembang, yang orangtuanya berasal dari Sirah Pulau Padang.

“Seingat aku, saat masih kecil dulu, daratan di sini bentuknya memang seperti pulau-pulau. Apalagi di saat musim hujan. Kalau mau pergi selalu naik perahu. Tapi sekarang ini seperti padang kering di musim kemarau, dan daratan sebagian tenggelam saat musim hujan,” kata Utami Dewi [47], warga Desa Sungai Rasau, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten OI.

Baca: Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya

 

Perahu ketek yang masih menjadi sarana transportasi di Sungai Musi. Foto: Mahesa Putra/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat bahari

Sampai saat ini, sebagian warga Palembang menyebut Sungai Musi adalah “laut”. Permukiman yang berada di tepian Sungai Musi disebut “laut”, sementara permukiman yang jauh dari Sungai Musi disebut “darat”, meskipun berada di rawa atau lebak.

“Penyebutan itu menandakan bahwa Sungai Musi dalam pandangan masyarakat Palembang bagian dari laut.  Mereka melihat sungai sebagai pintu masuk ke laut. Ini cara pandang orang bahari, yang melihat semua perairan bagian dari laut,” kata Aryandini Novita, arkeolog bawah laut dari BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional].

Pandangan ini pula, kata Aryandini, membuat wong Palembang menyebutkan sebuah daratan kecil atau delta di sungai atau rawa adalah pulau, seperti daratan di tengah lautan.

Selanjutnya, teknologi perahu yang berkembang di Sumatera Selatan, khususnya di Palembang, seperti perahu jukung atau perahu kajang, dapat digunakan di sungai dan laut.

“Perahu jukung atau perahu kajang, ujungnya lancip. Perahu yang ujungnya lancip dapat digunakan di sungai dan laut. Di laut bisa memecah ombak, sementara di sungai mudah bermanuver,” kata Aryandini.

Baca juga: Mampukah Perkampungan Tua Bertahan di Tepi Sungai Musi?

 

Rumah panggung yang tersisa di tepian Sungai Musi, di Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sementara untuk bermukim atau rumah yang adaptif terhadap lahan basah, ada tiga pilihan masyarakat Palembang.

Pertama, perahu kajang. Perahu kajang ini adalah tempat tinggal sekaligus sarana transportasi untuk perdagangan. Kedua, rumah rakit. Rumah rakit adalah rumah yang mengapung di atas air. Rumah ini juga memiliki dua fungsi, sebagai tempat tinggal dan toko. Ketiga, rumah panggung. Rumah ini berfungsi sebagai tempat tinggal dan gudang. Umumnya berada di wilayah tepian sungai atau rawa.

“Dari tiga pilihan tempat tinggal tersebut, membuat masyarakat Palembang di masa lalu tidak pernah menyebut air sebagai sumber bencana. Seperti bencana banjir,” kata Aryandini.

Pada saat ini, tidak ada lagi perahu kajang, dan tersisa puluhan rumah rakit dan rumah panggung di Palembang.

Setelah pemerintahan Hindia Belanda di awal abad ke-20, mengembangkan permukiman atau perkantoran di wilayah daratan, dengan meninggalkan bangunan bertiang, menimbun sungai dan rawa, membuat masyarakat Palembang mengenal banjir.

Ironinya, pola pembangunan ini terus berkembang di masa Indonesia, dan setiap kali musim penghujan banjir menjadi bencana yang harus dihadapi masyarakat Palembang.

 

Exit mobile version