Mongabay.co.id

Kala Tambang Batubara ‘Kuasai’ Sumsel: Lingkungan Rusak, Hidup Warga Makin Susah

 

 

 

 

 

Debu hitam tersapu angin di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Tumpukan karung berisi batubara terletak tak beraturan. Di sebelahnya,  seorang perempuan sibuk memasukkan batubara ke dalam karung. Wajah legam terkena debu. Sesekali dia memukul-mukul karung agar isi lebih padat.  Tak jauh darinya, Sadran, mandi keringat di bawah terpal. Dia  sedang memecah bongkahan batubara yang baru saja terkeruk dari perut bumi.

Mereka hanya bekerja memecah dan mengemas batubara lalu dapat upah dari pemiliknya.

“Di rumah anak-anak butuh makan, butuh uang untuk sekolah,” kata Helsia, sembari tangan menjahit karung penuh batubara.

Saban hari perempuan 60 tahun itu banting tulang di lokasi tambang rakyat yang dicap ilegal oleh pemerintah. Dia tak peduli.

“Yang harus peduli itu saya, ibunya anak-anak. Kalian lihat saja bagaimana kami bekerja, mengais rezeki, orang bilang kami melanggar hukum. Ya bagaimana nasib anak kami di rumah, beras kami, kami tidak ada jalan lain,” katanya.

Lebih dari dua lusin perusahaan tambang batubara mendapat izin mengeruk kekayaan alam di Kabupaten Muara Enim. Tak satu pun perusahaan tambang mempekerjakan perempuan tua sepertinya. Helsia tak punya pilihan, selain mengais di lokasi tambang ilegal.

Dari hasil ngarungin batubara, Helsia diupah Rp500.000-Rp600.000 sebulan. Uang segitu untuk keperluan hidup sehari-hari termasuk biaya anak sekolah.

Di tepi jalan, Sadran beristirahat. Pensiunan guru ini duduk termenung. Sesekali dia menghisap pelan lintingan tembakau terbungkus papir yang terselip di antara jarinya yang kotor oleh batubara.

Keringat mengalir dari wajahnya yang keriput. Di usia 65 tahun, dia harus kerja keras memecah bongkahan batubara demi sesuap nasi. Uang pensiunan tidak cukup menanggung kebutuhan hidup.

“Kalau tidak begini, ya tidak makan,” katanya.

 

 

Warga bekerja di tambang rakyat di Kabupaten Muara Enim yang dicap ilegal oleh pemerintah.dokFoto: dokumen RMOL Sumsel

 

Lenyapkan lahan pertanian

Dua jam perjalanan dari tempat Sadran, tambang batubara telah menelan banyak sawah di Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumsel. 

Sahwan, warga Muara Maung,  mengajak saya melihat lokasi tambang batubara milik PT Muara Alam Sejahtera (MAS). Puluhan dump truck hilir mudik mengangkut 60 ton tanah dari lubang tambang yang baru dibuka. Perusahaan ini mendapatkan izin untuk mengeruk batubara di lahan seluas 1.745 hektar sampai 2032.

“Dulu, di situ ladang dan kebun warga. Sekarang sudah berubah jadi kolam tambang,” kata Sahwan menunjuk lubang tambang yang luasnya 20 kali lapangan sepak bola.

Dia mengingat, MAS mulai masuk Desa Muara Maung pada April 2008. Sejak itu, sawah, ladang dan kebun pelan-pelan mulai hilang berganti lubang tambang batubara yang menganga puluhan hektar. Belakangan, Sungai Kungkilan yang jadi sumber air warga ikut rusak.

Akhir 2019, Muara Maung hujan turun rintik-rintik sejak pagi. Sungai Kungkilan yang membelah desa meluap. Air hitam bergulung-gulung bercampur lumpur menerjang kebun, ladang dan rumah warga Desa Muara Maung.

Di tengah kepungan banjir,  warga Muara Maung, Supran,  panik. Alia, cucunya yang berusia tiga tahun terseret banjir. “Kalau nggak ketahuan, mungkin sudah mati.”

Sumhayana, warga lain,  ikut pontang-panting, karena rumah terendam banjir. “Pas banjir air hitam, kayak oli.”

Masalah lain muncul setelah banjir surut. Lumpur bercampur serpihan batubara menenggelamkan hampir separuh rumah panggung miliknya.

“Dulu lumpur di dalam rumah ini sampai dengkul,” sela Tohir, fotografer yang merekam banjir di Muara Maung 2019.

Sekarang, tiang rumah panggung Sumhayana hilang ditelan endapan lumpur yang mengeras. “Kalau dulu di bawah rumah itu bisa masak, sekarang sudah tertimbun lumpur,” kata Ayuk Sum, panggilan Sumhayana di kampung.

Warga menduga banjir yang tak seperti biasa itu karena penambangan batubara di hulu sungai. Warga menuntut perusahaan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang dampaknya ditanggung warga. Mereka lapor ke kepala desa, camat, Dinas Lingkungan Hidup, sampai ke Polsek Merapi Barat, tetapi hampir tiga bulan tak digubris.

Ratusan warga kemudian memblokade jalan menuju lokasi tambang MAS dan PT Bara Alam Utama (BAU). Mereka menuntut perusahaan tanggung jawab. Delapan hari, angkutan batubara mandeg tak bisa keluar.

Sumhayana ingat betul, siang itu jelang malam takbiran Idul Adha 2020, dia dan tujuh perempuan masih menjaga portal. Tiba-tiba ratusan polisi dari Polres Lahat datang, minta warga bubar.

“Waktu itu yang jaga portal cuma ibu-ibu, kalau siang kan orang kerja. Jadi orang-orang di desa dihubungi bilang ‘polisi datang!’”

Dalam sekejap ratusan orang desa berdatangan. Simpang jalan menuju tambang seperti pasar tumpah. Penuh dengan amarah. Mereka bersitegang dengan polisi. Sumhayana di barisan depan sempat adu mulut dengan polisi. Perempuan 45 tahun itu berkeras menuntut perusahaan bertanggungjawab.

“Ini kampung kami, kami tidak mau kalah di kampung sendiri.”

Di tengah ketegangan, seorang warga, Asrun ditelikung polisi, dimasukkan ke mobil dan dibawa ke Polres Lahat. Warga yang memblokade jalan seketika bubar menyusul Asrun.

“Sampai pukul 10 malam, kami di Polres, akhirnya dibebaskan. Kalau ditahan, kami minta semua ditahan, polisi nggak mau, akhirnya dilepas,” cerita Sumhayana mengenang.

Beberapa hari setelah penangkapan Asrun, Supran tiga kali dipanggil polisi. Dia dianggap ikut menghambat aktivitas perusahaan.

“Yang dirugikan kami, kami yang dilaporkan.”

 

Aktivitas di lokasi tambang batubara milik PT MAS, di Merapi Barat, Kabupaten Lahat.F.RMOL Sumsel

 

Supran minta penyidik Polres Lahat datang langsung melihat Sungai Kungkilan yang rusak, tetapi ditolak. MAS diduga memindahkan aliran sungai. Dia juga membabat tanaman di sempadan sungai hingga menyebabkan Sungai Kungkilan menyempit, dangkal dan tercemar.

“Sekarang, setiap kali hujan selalu was-was, takut, jadi tidak bisa tidur.”

Ada 56 keluarga terdampak banjir 2019. Mereka dapat ganti rugi Rp5 juta-Rp 6 juta, tergantung besaran kerugian.

“Kalau dihitung-hitung tidak sebanding. Kolam tertutup lumpur, ikan lari semua, rumah rusak, lemari, pakaian hancur. Cucuku mau mati keseret banjir. Duit perusahaan itu tidak sebanding.”

Sampai sekarang Supran masih menuntut perusahaan tanggung jawab mensejahterakan warga yang terdampak aktivitas tambang. “Sekarang ini hidup sudah sengsara, apalagi anak, cucu kito ke depan. Yang sayo pikirin itu anak dan cucu.”

Sumhayana sudah 45 tahun tinggal di Muara Maung. Dulu kehidupan nyaman. Semua berubah sejak ada tambang batubara. Sumber air rusak, sungai tercemar, sawah hilang, ladang menjadi tandus, pohon durian, duku di kebun semua mati.

“Kadang mau nyuci, nggak jadi nyuci karena air kotor. Mandi jadinya gatal-gatal.”

Dampak lain adalah debu batubara. Saban hari ratusan truk angkutan batubara menyesaki jalan lintas di depan rumah Sumhayana. “Setiap hari dipaksa ngisap debu batubara.”

Dia bilang, perusahaan memberian kompensasi Rp100.000-Rp200.000 sebulan, tergantung jarak rumah warga dari jalan lintas. Kompensasi itu tidak setimpal dengan kerugian yang ditanggung masyarakat.

“Rumah kami retak. Angkutan batubara itu kalau lagi lewat, geger rumah, kayak gempa,” katanya.

“Pokoknya sekarang itu tidak nyaman lagi.”

 

 

 

Penyesalan datang dari Fuut, warga Muara Maung,  yang ikut menandatangani dokumen sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) MAS pada 2008. Saat itu,  dia sebagai Kasi Pemerintahaan dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa Muara Maung. Fuut berpikir,  ekonomi akan membaik karena banyak pekerjaan saat perusahaan masuk ke desanya. Dia keliru.

“Kesalahan aku dulu langsung teken-teken dak baco dulu isi amdal itu. MAS, Primanaya (PLTU), ikut—tanda tangan—semua aku.”

“Isi Amdal itu apo, kito tidak tahu, sekarang dampaknya mulai terasa,” katanya menyesal.

Fuut mengaku tidak bisa menuntut perusahaan lantaran ikut tanda tangan. “Ini balak, kebodohan zaman dulu.”

Sekarang, warga Muara Maung mayoritas kerja sebagai buruh tambang, karena ladang dan kebun telah dijual ke perusahaan.

Fuut cerita, waktu itu banyak warga kepincut iming-iming uang dari perusahaan. Sebagian juga terpaksa dijual karena lahan sudah terjepit tambang.

“Kalau kita bodoh, dibeli harga murah. Ada yang Rp15.000 per meter.”

Fuut ikut menjual kebun karetnya ke MAS. “Ketimbang kito ribut-ribut, tanah habis. Akhirnya dijual.”

Ladang tersisa tidak bisa digarap lantaran tercemar limbah batubara yang terbawa arus sungai saat banjir.

Dia bilang, cari pekerjaan sekarang tambah sulit. Orang yang kerja perusahaan tambang pun banyak dari luar.  “Tambangnyo di kampung kami, tapi kami jadi penonton.”

Meski Muara Maung dikeliling banyak perusahaan tambang, katanya, tetapi warga miskin makin banyak. Ekonomi mereka berantakan, bahkan terjerat utang.

“Sekarang pacak mati berkujud—bunuh diri. Sudah tidak ada lagi harapan,” kata Fuut.

Pada 4 November 2023, saya mendatangi Kantor MAS. Satpam yang jaga mempertemukan kami dengan seorang karyawan. Dia menyarankan saya menghubungi Wanggi.

Saat saya hubungi Wanggi minta waktu hingga Senin, karena harus koordinasi dengan bagian yang lain. Setelah dihubungi, Wanggi menyarankan saya menelpon Ucok yang dianggap lebih pengalaman, tetapi dia menolak berkomentar. Dari Ucok saya diminta menghubungi Rendhi, humas MAS, tetapi dia menolak menjawab pertanyaan saya.

 

Angkutan batubara terparkir di tepi jalan di Desa Muara Maung. Mereka akan mulai bergerak saat petang. Foto: dok.RMOL Sumsel

 

Hulu rusak dan bencana

 Banjir bandang menerjang desa-desa, sekitar 28 rumah hanyut dan 19 rusak berat pada 9 Maret 2023. Sungai Lematang yang melintasi Kabupaten Lahat, Muara Enim, Kabupaten Pali, dan Musi Banyuasin, meluap. Seorang bocah di Merapi Timur, Lahat,  meninggal terseret arus.

Pembukaan lahan perkebunan sawit skala besar dan penambangan diduga menjadi penyebab rusaknya daerah aliran sungai (DAS) Lematang yang luasnya mencapai 738.000 hektar. Hampir semua kabupaten yang dilintasi Sungai Lematang memiliki izin penambangan batubara.

Boni Bangun, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih—lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu lingkungan dan energi di Sumsel—menyebut, banjiir bandang yang menerjang Lahat beberapa waktu lalu, merupakan dampak kerusakan lingkungan di hulu.

“Di wilayah hulu hutan habis dibabat untuk tambang, jadi tidak ada lagi yang mampu menahan air.”

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan juga mengakui bencana banjir bandang di Lahat yang meluas ke Muara Enim terjadi akibat dampak dari kerusakan lingkungan. Di bagian hulu sungai, katanya, hutan sudah banyak gundul hingga tidak mampu menampung air hujan yang begitu banyak.

Saat ini,  wilayah Bukit Serelo, Bukit Napal dan Bukit Besar, juga habitat satwa liar sudah rusak karena tambang batubara. Perkumpulan Sumsel Bersih khawatir, dampak tambang batubara tidak hanya kerusakan lingkungan, juga memicu konflik satwa dengan manusia makin parah.

 

Butiran batubara mencemari Sungai Kungkilan dan ladang warga di Desa Muara Maung, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Foto: dok.RMOL Sumsel

 

“Provinsi” tambang batubara

Sumsel, memiliki cadangan batubara 9,3 miliar ton, terbesar kedua di Indonesia. Jumlah itu hampir seperempat dari total cadangan batubara nasional, mencapai 37,60 miliar ton.

Pemerintah mengalokasikan lebih dari 1 juta hektar lahan di Sumsel untuk dieksploitasi. Setiap tahun, produksi batubara di provinsi ini bisa sampai 57 juta ton.

Catatan Institute for Essential Services Reform  (IESR), sektor pertambangan batubara dan lignit di Sumsel menyumbang 15,78% produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi pada 2022.

Wilayah tambang batubara di Muara Enim, Lahat dan Ogan Komering Ulu, terbesar di Sumsel. Data Sumsel Bersih menunjukkan, setidaknya ada 29 izin tambang batubara di Muara Enim, luas konsesi mencapai 153.481 hektar.

Sementara di Lahat memiliki cadangan batubara 2,714  juta ton, ada 31 izin tambang batubara seluas 35.504 hektar. Pada 2022, produksi batubara di Lahat mencapai 41 juta ton lebih.

Adi Kurniawan, Kabid Perbendaharaan BPKAD Lahat menyebut, realiasasi dana bagi hasil (DBH) dari tambang batubara Lahat pada 2022 mencapai Rp795 miliar dari pagu Rp1,05 triliun. Pada 2023, pagu dari DBH batubara Rp766 miliar, realisasi Rp498 miliar.

“Targetnya,  DBH kita sama dengan tahun lalu,” katanya.

Adi mengakui,  sektor tambang batubara menjadi sumber pendapatan terbesar Lahat saat ini.

Menurut Boni, investasi tambang batubara hanya menguntungkan pengusaha. Kenyataan lapangan masyarakat di sekitar tambang justru menderita, karena kehilangan sumber penghidupan dan dampak kesehatan.

Namun pemerintah seolah mengabaikan. Pemerintah mulai tingkat pusat sampai  daerah justru merasa diuntungkan dari izin pertambangan batubara karena menerima pendapatan dari DBH, pajak, royalti dan lain-lain. Tidak heran, katanya, sekarang lahan yang dikuasai negara seakan diobral pada pengusaha pertambangan, perkebunan, maupun HTI.

“Yang dipikirkan pemerintah hanya potensi pendapatan. Mengabaikan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan yang berpotensi memicu bencana alam dan kehilangan sumber pangan.”

Investasi pada sektor tambang, katanya,  merupakan investasi padat modal bukan padat karya hingga dampak peningkatan perekonomian tidak terdistribusikan dengan baik pada masyarakat di sekitar tambang.

Boni mendorong pemerintah mengevaluasi seluruh izin tambang batubara di Lahat dan Muara Enim. Juga mengkaji kerusakan lingkungan dan meminta perusahaan memulihkan lingkungan.

“Banjir bandang, konflik satwa, polusi, masyarakat yang miskin, semua itu merupakan dampak investasi tambang.”

 

 

Kemiskinan

Sumsel, disebut sebagai lumbung pangan dan lumbung energi justru masyarakatnya tercekik kemiskinan. Provinsi ini menempati urutan ke-10 provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, angka kemiskinan di Sumsel mencapai 11,78%, turun 0,17% dibanding 2022.  Lebih dari 1,04 juta orang di  Sumsel hidup miskin. Jumlah itu bertambah 1.000 orang dibanding 2022.

Kemiskinan di wilayah pertambangan menempati urutan tertinggi, keluarga Sadran dan Helsia, satu contoh.

Berdasarkan data BPS 2023,  Kabupaten Lahat menempati peringkat ketiga dengan jumlah penduduk miskin terbesar di Sumsel. Di Muara Enim,  urutan ke-13, dengan penduduk miskin 80.000 orang lebih.

Boni mengatakan, warga di sekitar tambang batubara umumnya bekerja sebagai buruh harian. Mereka tidak punya sumber pendapatan lain setelah sawah, ladang dan kebun habis dijual ke perusahaan karena terjepit tambang batubara.

Kemiskinan di sekitar tambang juga dipicu biaya hidup yang makin tinggi. Warga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk kesehatan, dan dampak lingkungan akibat bencana alam.

“Investasi tambang batubara yang digembar-gemborkan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat, justru membuat warga makin terpuruk.”

Muhammad Subardin, pakar ekonomi Universitas Sriwijaya mengatakan, yang terjadi di Sumsel saat ini adalah “kutukan sumber daya alam.”

“Ada istilah Dutch disease (penyakit Belanda), dimana wilayah yang memiliki kekayaan alam tinggi cenderung mempunyai tingkat perekonomian rendah,” katanya.

Pada 2023, Subardin riset di delapan kabupaten di Sumsel: Muara Enim, Lahat, Pali, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, Ogan Komering Ulu, dan Prabumilih. Hanya Prabumulih yang bergantung pada migas, sisanya daerah tambang batubara.

Hasilnya menunjukkan tingkat perekonomian kabupaten mineral tidak lebih baik dibanding kabupaten non-mineral.

“Hal ini membuktikan industri pertambangan tidak bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena industri—tambang—ini padat modal, bukan padat karya,” jelas Subardin.

Dosen Unsri ini juga membuktikan serapan tenaga kerja di tambang batubara tidak banyak. “Hanya sektor transportasi, jadi sopir, dan itu juga pekerjaan yang berat.”

Tingginya angka kemiskinan di wilayah tambang juga karena masyarakat sulit beradaptasi. “Mereka yang dahulu petani, dipaksa berubah. Itu butuh proses hingga masyarakat tetap miskin.”

Investasi tambang batubara dipersepsikan bakal meningkatkan pendapatan pemerintah dan masyarakat dengan banyaknya lapangan pekerjaan, ternyata hanya omong kosong.

“Kerusakan lingkungan, polusi udara, kerusakan tanah, pencemaran air, itu semua yang nanggung masyarakat, bukan ditanggung perusahaan.  Tambahan manfaat dari batubara lebih kecil ketimbang mudaratnya,” kata Supardin.

Menurut dia, pemerintah perlu segera evaluasi izin pertambangan batubara, dan mendorong praktik berkelanjutan yang lebih ramah lingkungan.

 

***

Matahari mulai condong ke barat saat Sadran kembali bekerja. Dia berjalan menuju tumpukan batubara.

Helsia pun masih sibuk memasukkan batubara ke dalam karung dengan begitu cekatan. Sesekali dia menyeka keringat yang membasahi wajah.

Dia berharap, bisa terus bekerja meski dicap ilegal oleh pemerintah.

“Dari sekian luas kekayaan alam ini, kami cuma cari makan [dari sini],” katanya.

 

Operasi tambang batubara di Lahat. Foto: Humaidy K

 

***********

 

Liputan ini merupakan Fellowship Akademi Jurnalis dan Lingkungan yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Traction Energy Asia.

 

Exit mobile version