Mongabay.co.id

Mada Ayu Habsari: Energi Terbarukan Jalan Akses Listrik bagi Semua

 

 

 

 

 

 

Sekelompok anak berlari mengerubungi Mada Ayu Habsari. Dia baru mendarat dengan kapal motor kecil di Pelabuhan Sofifi,  Halmahera, Maluku Utara.

Anak-anak itu memukul kaleng-kaleng yang dilubangi hingga menimbulkan nada yang mengiringi nyanyian riang gembira, “Tante Amerika bawa listrik. Tante Amerika bawa listrik.” Begitu teriak anak-anak itu riang gembira.  Itu kejadian sekitar 10 tahun lalu.

Mada, saat itu mewarnai rambut pirang, tertegun antara haru dan geli. Dia baru mendarat untuk memasang generator set (genset) di Menara BTS (base transceiver station) PT Sakabaja Papelindo.

Genset penting untuk mengaliri listrik ke menara telekomunikasi karena pada 2009, Sofifi belum teraliri listrik. Kota itu baru mendapatkan akses listrik setahun setelahnya, ketika jadi ibukota Maluku Utara.

Mada miiris melihat ketidakmerataan akses listrik ini. “Kita punya KTP sama, harusnya punya akses listrik sama dengan di Jawa. Apalagi mereka pikir yang bisa bawa listrik ke sana cuma orang Amerika,” katanya.

Pengalaman di Sofifi ini jadi titik balik yang mendorong Mada menekuni energi, dan pemasangan energi terbarukan berkelanjutan. Sebagai satu dari sedikit pebisnis perempuan di sektor energi terbarukan, Mada bertujuan menyediakan akses listrik seluas mungkin di Indonesia.

“Aku ingin jadi akses bagi orang lain agar dapat listrik layak.”

 

Menangkap energi matahari Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Perjalanan Mada di sektor energi mulai pada 2006, ketika seorang teman menawarkan pekerjaan di PT Sakabaja. Ini perusahaan yang fokus pengadaan genset di pulau-pulau kecil seperti Pulau Masohi di Maluku dan Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Pekerjaan di Sakabaja ini membuka mata Mada bahwa akses listrik di pulau-pulau kecil dan terpencil di Indonesia sangat bersumber dari bahan bakar fosil. Generator-generator bergantung dari minyak solar yang harus diangkut dari pulau-pulau besar melalui laut.

Suplai bisa saja tak datang berbulan-bulan apabila kapal tertahan karena cuaca buruk.

Kondisi ini membuat Mada dan tim berpikir memanfaatkan matahari sebagai sumber energi lewat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).  Untuk membangun dan mengoperasikan PLTS skala kecil biaya mahal masa itu.

Kendala biaya itu diatasi melalui teknologi PLTS kecil dengan model plug in untuk mengisi daya lampu berbasis light emitting diode (LED). Sekali mengisi daya, lampu bisa menyala selama delapan jam.

Lampu ini kemudian jadi cikal bakal lampu tenaga surya hemat energi yang banyak digunakan sebelum program pemerintah masuk.

LED merupakan lampu dengan usia pakai lebih panjang dan lebih efisien dalam penggunaan listrik dibanding lampu pijar atau neon. Di rumah tangga, lampu ini bisa menghemat 70-80% penggunaan listrik.

Modular plug in dari PLTS ini juga dilengkapi fasilitas pengisi daya baterai handphone.

“Uniknya, disitu belum ada listrik tapi sinyal HP ada. Selain men-charge lampu juga bisa baterai handphone,” kata Mada.

Inovasi lampu LED ini membawa perusahaan mendapatkan kontrak dengan PLN bikin 100 lampu bertenaga surya untuk Wasior di Papua Barat yang terkena banjir bandang pada 2010.

Mada meninggalkan Sakabaja pada 2012 dan mendirikan perusahaan bermana Enertec Mitra Solusi. Perusahaan ini fokus menyediakan solusi efisiensi energi dan energi terbarukan untuk perusahaan besar lain.

Awalnya, Enertec fokus jual lampu LED efisien energi kepada gedung-gedung BUMN dan perusahaan komersial. Perusahaan lalu mengubah bisnis dengan menawarkan perbaikan sistem pendingin terpusat yang dapat membuat sistem pakai energi lebih kecil dengan hasil lebih optimal.

“Banyak gedung-gedung yang chiller-nya sudah puluhan tahun tidak diganti. Yang penting bisa nyala aja,” katanya.

Studi yang terbit pada 2020 menunjukkan, bangunan komersial dan industri di Indonesia memiliki potensi penghematan energi 10-30%. Namun mencapai penghematan energi terhalang tidak ada peraturan hukum yang memberikan insentif kepada sektor bisnis untuk penghematan.

Inisiatif Mada mendorong sektor bisnis meningkatkan penghematan energi sejalan dengan tujuan pemerintah mengurangi konsumsi energi dari 34% pada 2020 jadi 17% di 2025.

 

Sumber air yang dimanfaatkan jadi energi. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Bertahan

Setelah sukses mempromosikan konsep efisiensi energi di antara perusahaan-perusahaan lain, Mada mendirikan PT Watala Capital. Kali ini, fokus ke pemasangan pembangkit listrik hidro skala kecil untuk desa-desa terpencil.

Perusahaan Watala menawarkan sistem pembangkit listrik dan baterai dengan kapasitas beragam, paling tinggi 50 megawatt hingga cukup untuk 40 rumah selama semalaman.

Model bisnis pembangkit listrik untuk desa terpencil ini terkendala harga peralatan tinggi, berujung harga listrik sistem hibrid ini lebih tinggi daripada PLTU barubara.

Mada menemukan,  perbandingan harga tidak adil karena penghitungan harga listrik dari PLTU tidak menghitung biaya eksternal seperti kerusakan lingkungan. Belum lagi, PLTU dapat subsidi pemerintah hingga perbandingan tidak seimbang.

“Nilai pembangkit nggak pernah riil tercermin di angka yang dipublish. Akhirnya, membuat perhitungan renewable energy lebih mahal,” ujar Mada.

Selain dua perusahaan itu, Mada juga aktif di Carbon Share, layanan offset karbon digital untuk individu yang bekerjasama dengan berbagai organisasi konservasi lingkungan di Indonesia. Melalui layanan ini, setiap orang dapat mengoffset jejak karbon dari aktivitasnya.

Mada juga memimpin Seetrum, komunitas anak muda yang fokus bergerak di bidang pendidikan mengenai efisiensi energi.

 

Mada Ayu H. Foto: dokumen pribadi

 

 

Dari segi bisnis, hambatan perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam energi terbarukan adalah mendapatkan pendanaan berkelanjutan. Banyak lembaga pendanaan dan investor masih melihat bisnis energi terbarukan ini berisiko tinggi dan menghasilkan keuntungan sedikit.

Berdasarkan penelitian New Energy Nexus Indonesia, startup teknologi energi bersih biasanya menemui kesulitan pendanaan dan sulit bertahan hidup setelah 12 bulan pertama sejak berdiri. Laju pertumbuhan startup-startup itu selama lima tahun terakhir sangat buruk, minus 7,5%.

Penelitian sama menunjukkan,  90% perusahaan energi bersih mengandalkan tabungan dan dana pendiri untuk tetap beroperasi.

Dari 50 responden dalam penelitian New Energy Nexus Indonesia itu, hanya satu startup berhasil mendapatkan pendanaan, sisanya masih perjuangan mendapatkan pendanaan eksternal.

“Banyak startup cleantech gagal melewati lembah kematian,” kata Pamela Simamora, peneliti New Nexus Indonesia saat peluncuran laporan ini September lalu.

Dia bilang, hanya sekitar 78% startup cleantech ini yang mendapatkan penghasilan dari bisnis mereka. Sisanya, 28% berhasil mencapai keuntungan.

Padahal, kata Pamela, startup cleantech dapat membuka lapangan pekerjaan hijau (green jobs) dan jadi penggerak roda ekonomi di Indonesia.

Dengan hanya mengambil 1% dari potensi valuasi pasar teknologi energi bersih global, katanya, industri di Indonesia, dapat bernilai miliaran dolar Amerika Serikat.

Laporan dari International Energy Agency pada 2021 mencatat,  valuasi pasar teknologi energi bersih global bisa US$870 miliar pada 2030.

Sisi lain, meskipun tren investasi segmen startup tahap awal terus meningkat, yang banyak bergulir masih didominasi untuk perusahaan yang dianggap sudah matang.

“Tren ini kurang ideal bagi ekosistem startup cleantech di Indonesia yang mayoritas masih dalam early stage,” kata Pamela.

 

 

Mada Ayu H dan timnya: dokumen pribadi

 

Perempuan bantu perempuan

Beda dengan kebanyakan sektor energi yang masih didominasi laki-laki, industri energi terbarukan diisi orang-orang lebih beragam dari segi usia dan gender. Penelitian New Energy Nexus memperlihatkan, 70% dari keseluruhan startup dipimpin orang-orang berusia di bawah 40 tahun. Sekitar 45% dari startup dipimpin perempuan.

Hening Parlan,  Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah aktif mengadvokasi penerapan energi terbarukan di dalam organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia itu. Salah satu usaha yang dilakukan, katanya,  khotbah-khotbah agama yang mengkampanyekan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara.

Hening juga memperjuangkan pemasangan panel surya untuk listrik di bangunan-bangunan yang dimiliki dan dioperasikan Muhammadiyah.

Dia bertemu Mada baru-baru ini, berujung diskusi rencana Muhammadiyah memasang panel surya pada lebih 4,000 sekolah organisasi itu di seluruh Indonesia.

Pemasangan panel surya ini, katanya, dapat jadi awal pendirian usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sektor energi.

Berkat pengantar dari Hening, Mada mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan kepada Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah keuntungan dari pemasangan tenaga surya, termasuk kontribusi lapangan kerja.

Hening mengatakan,  telah bertemu banyak perempuan yang mengadvokasikan masa depan energi terbarukan di Indonesia. Namun, katanya, hanya sedikit perempuan bekerja di sektor bisnis itu sendiri seperti Mada.

“Urusan transisi energi ini bukan cuma urusan kabel, tapi attitude, bagaimana meyakinkan orang bahwa isu ini penting,” kata Hening.

“Saya berharap ada Mada kedua, ketiga dan seterusnya.”

 

 

********

 

*Artikel ini diproduksi dengan dukungan Climate Tracker dan Oxfam Pilipinas

 

 

 

 

Exit mobile version