Mongabay.co.id

WALHI: Hentikan Operasi dan Pembangunan PLTU Captive di Sulawesi

 

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dari tiga region di Sulawesi, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam Aliansi Sulawesi Terbarukan merilis policy paper setebal 22 halaman berjudul “Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi”, di Makassar, Senin (13/11/2023).

Aliansi selain menyampaikan fakta yang terjadi terkait tren pembangunan PLTU Captive dan dampaknya pada masyarakat dan lingkungan, juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah.

Menurut Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik, WALHI Sulawesi Selatan, mewakili aliansi, saat ini kebijakan dan komitmen pemerintah terkait dekarbonisasi masih belum ada transparansi dan potret sebaran emisi dari penggunaan pembangkit listrik batubara yang terintegrasi langsung ke area industri atau sering disebut dengan PLTU Captive.

“Kebijakan yang ada saat ini melalui Perpres No.112/2022 masih memberikan ruang dan karpet merah terhadap pembangunan dan operasi PLTU Captive, yang kemudian menimbulkan adanya praktik ‘booming PLTU Captive’ di area yang menjadi pusat hilirisasi nikel seperti yang terjadi di Pulau Sulawesi,” katanya.

Menurut Slamet, pasca booming PLTU Captive, kebutuhan dan permintaan batubara di Pulau Sulawesi meningkat drastis. Dari jumlah kapasitas pembangkit captive yang sedang tahap operasi di Sulawesi Tengah dan Tenggara dengan total kapasitas 5.665 MW setidaknya membutuhkan sekitar 22,6 juta ton batubara/tahun.

baca : Riset WALHI Sulsel Ungkap Dampak Buruk PLTU Jeneponto untuk Warga dan Lingkungan

 

Aliansi Sulawesi Terbarukan rilis policy paper setebal 22 halaman berjudul “Booming PLTU Captive: Ironi Transisi Energi, Kehancuran Ekologi, dan Hilangnya Sumber Penghidupan Masyarakat di Pulau Sulawesi”, di Makassar, Senin (13/11/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Besarnya konsumsi batubara pada tiap kawasan industri pengolahan nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara dinilai akan menghasilkan emisi CO2. Jika pembakaran satu ton batubara mampu menghasilkan sekitar 2,3 ton CO2, maka secara perhitungan rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan dari keberadaan PLTU Captive di Pulau Sulawesi yakni sebesar 52,1 Juta ton CO2.

“Dengan melihat bahaya penggunaan batubara sebagai bahan bakar PLTU Captive ditambah dengan fakta meningkatnya penggunaan batubara di kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, maka sudah sangat jelas bahwa keberadaan PLTU Captive tidak hanya mematikan sumber penghidupan dan mencemari lingkungan, tetapi juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi CO2 yang mendorong terjadinya krisis iklim,” ujar Slamet.

 

Tiga Kasus

Ada tiga kasus PLTU Captive yang dipaparkan dalam policy paper ini. Pertama, PLTU Captive di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Morowali, milik PT Metal Smeltindo Selaras, Indonesia Wanjia Ferro Nickel Co Ltd., Sulawesi Mining Investment, Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry, Indonesia Tsingshan Stainless Steel Co, Indonesia Morowali Power Co; dan PT Wanxiang Steel Indonesia.

Temuan dalam laporan ini menunjukkan bahwa dampak pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa, di mana warna laut berubah menjadi hitam karena tumpahan batubara dari stockpile yang berada di sekitar jetty IMIP dan limbah lainnya.

Kasus kedua, di kawasan Stardust Estate Investment (SEI) Morowali Utara, yang dimiliki PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), berada di Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara.

baca juga : Menyoal Daya Rusak PLTU Batubara dalam Kawasan Industri, Apa Temuan Aliansi?

 

Pencemaran dari PLTU Captive IMIP antara lain terjadi di Desa Kurisa, di mana warna laut berubah menjadi hitam karena tumpahan batubara dari stockpile yang berada di sekitar jetty IMIP dan limbah lainnya. Gambar diambil per 24 Oktober 2023. Foto: Aliansi Sulawesi Terbarukan.

 

Menurut Slamet, masalah lingkungan mulai muncul di awal pembangunan PLTU Captive PT GNI seluas 712,80 hektar ketika perusahaan membendung Sungai Lampi tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan sekitar sungai. Ketika hujan, air sungai meluap merendam sawah dan pemukiman.

Tidak hanya itu, lanjut Slamet, lokasi PLTU hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari pemukiman warga sehingga udara di Desa Bunta disinyalir diselimuti gas sulfur dioksida yang merupakan gas beracun hasil pembakaran batubara PLTU Captive.

“Akibatnya warga sekitar PLTU harus lebih aktif menutup pintu dan jendela rumah agar terhindar debu hitam dari pembakaran batubara,” tambahnya.

Kasus ketiga terjadi di kawasan Industri Morosi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, di mana terdapat dua perusahaan PLTU Captive yakni PT Obsidian Stainless Steel (PT OSS) dengan total 10 unit pembangkit tahap operasi dan PLTU Captive milik Dian Swastatika Sentosa Power Kendari yang memiliki dua unit pembangkit sedang tahap operasi.

WALHI Sulawesi Tenggara mencatat aktivitas pembakaran batubara di Morosi telah mencemari lahan masyarakat seluas 151 ha yang sebelumnya difungsikan sebagai tambak, namun kini tambak tersebut tidak bisa digunakan lagi.

 

Pola Pelanggaran HAM

Menurut Slamet, terdapat sejumlah hak yang tidak dapat dipenuhi akibat dari PLTU Captive, yaitu hak warga untuk mengakses air bersih, hak warga untuk mendapatkan lingkungan dengan udara yang sehat, serta hak warga untuk mengonsumsi dan menghasilkan pendapatan dari sumber daya perairan.

Selain itu, hak atas berpartisipasi dan mengakses informasi di seluruh wilayah terdampak PLTU Captive di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara terus terganjal, baik dari pihak pelaku bisnis maupun pemerintah.

“Keseluruhan PLTU Captive yang berdiri dibangun tanpa adanya partisipasi aktif dari masyarakat yang terdampak dan hak partisipasi mereka dalam proses pengambilan keputusan terkait dampak yang mereka alami. Upaya pembendungan sungai untuk mendukung pembangunan PLTU Captive dari batubara dilakukan tanpa sepengetahuan warga dan pemilik lahan di sekitar sungai.”

baca juga : Catatan Akhir Tahun WALHI Region Sulawesi: Industri Nikel Ancam Sulawesi

 

Pencari kerang meti di Sungai Lee, sungai yang kini tercemar logam berat limbah PLTU Captive PT GNI. Gambar diambil per 22 Oktober 2023. Foto: Aliansi Sulawesi Terbarukan

 

Terkait fakta dan analisis yang ada, aliansi kemudian menyampaikan tiga rekomendasi kepada pemerintah.

“Pertama, kami menyerukan agar phase out energi listrik fosil batubara harus segera dilakukan tanpa pandang bulu, khususnya pada PLTU Captive yang digunakan untuk kebutuhan proyek hilirisasi.”

Dalam hal ini, pemerintah harus segera memasukkan PLTU Captive dalam rencana phase out, khususnya PLTU Captive yang ada di Sulawesi dengan total kapasitas pembangkit sebesar 5.665 MW atau 52% dari total kapasitas pembangkit PLTU Captive di Indonesia, dengan rincian 3.665 MW  sebanyak 21 unit di Sulawesi Tengah dan 2.000 MW sebanyak 14 unit di Sulawesi Tenggara.

Kedua, pemerintah diharapkan merevisi pengecualian/pelonggaran PLTU Captive dalam Peraturan Presiden No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Ketiga, pemerintah dituntut menghentikan pembangunan PLTU Captive baru di Pulau Sulawesi. Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan PLTU Captive yang saat ini tahap konstruksi di Sulawesi Tengah sebanyak 13 unit PLTU Captive dengan total kapasitas 4.315 MW.

“Penambahan unit hanya akan membuat program transisi energi menjadi omong kosong sebab penggunaan batubara akan tetap bertambah di sektor industri nikel, hal ini bertentangan dengan komitmen transisi energi bersih dan berkeadilan.” (***)

 

Exit mobile version