Mongabay.co.id

Riset WALHI: Perubahan Iklim dan Tambang Pasir Laut Picu Terjadinya Pelanggaran HAM pada Perempuan di Sulsel

 

Krisis iklim tidak hanya memiliki dampak terhadap perubahan lingkungan, namun juga memiliki hubungan timbal balik dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan daya bertahan perempuan. Kehadiran tambang pasir laut di perairan Makassar dan Takalar Sulawesi Selatan juga dinilai memperparah dampak dari perubahan iklim.

Demikian salah satu simpulan dari hasil riset yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, pada kegiatan diseminasi hasil riset berjudul “Identifikasi Pelanggaran HAM dan Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong dalam Menghadapi Perubahan Iklim”, di Makassar, Kamis (23/11/2023).

“Dari riset yang kami lakukan, kami mengidentifikasi pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Kodingareng dan Pesisir Pantai Galesong khususnya pada perempuan sebagai dampak dari perubahan iklim dan aktivitas tambang pasir laut, yaitu ketiadaan peran dan tanggung jawab negara serta korporasi atas aktivitas penambangan dan dampak yang ditimbulkannya,” ungkap Hikmawaty Sabar, peneliti dari WALHI Sulsel.

Dampak lain yang kemudian dirasakan masyarakat, khususnya perempuan, adalah hilangnya akses kehidupan, ekonomi, dan pekerjaan, rusaknya lingkungan dan dampaknya pada kesehatan perempuan, hilangnya hak sosial berupa penyerabutan rasa aman dan keretakan sosial, tidak adanya program mitigasi bencana, pembiaran terhadap masyarakat yang menjadi korban bencana, dan bantuan yang seringkali salah sasaran.

Selain mengidentifikasi bentuk-bentuk pelanggaran HAM, laporan riset WALHI Sulawesi Selatan ini juga mendeskripsikan strategi bertahan hidup para perempuan pesisir Galesong dan Pulau Kodingareng dalam menghadapi perubahan iklim.

“Perempuan di Pulau Kodingareng memilih untuk berdagang, menjalani sistem pinjaman atau berutang, serta memberi akses migrasi pada suami dengan merantau keluar pulau untuk mendapatkan sumber ekonomi yang lebih mencukupi kebutuhan keluarga, atau migrasi tempat tinggal akibat rumah yang telah rusak karena bencana dan akses pekerjaan yang semakin sulit jika harus bertahan di pulau,” jelas Hikmawaty.

baca : Video: Pulau Kodingareng di Tengah Ancaman Perubahan Iklim dan Tambang Pasir Laut

 

Diskusi diseminasi hasil riset WALHI Sulsel berjudul ‘Identifikasi Pelanggaran HAM & Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong Dalam Menghadapi Perubahan Iklim’, di Kopi tiam, Makassar, Kamis (23/11/2023). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Sementara perempuan di Galesong, lanjut Hikmawaty, melakukan upaya seperti beralih profesi, berutang, dan migrasi tempat untuk tetap bertahan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Menanggapi hasil riset ini, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, Muhammad Ilyas menyatakan setuju dengan sebagian hasil riset terkait dampak perubahan iklim berupa kenaikan muka air laut yang kemudian menyebabkan terjadinya abrasi dan banjir rob, namun meragukan jika dikaitkan dengan adanya tambang pasir laut tanpa adanya kajian khusus.

“Kalau dikatakan disebabkan oleh penambangan pasir laut, tentu ini butuh penelitian oseanografi yang mendalam untuk mengeceknya. Pastinya, kami dari pemerintah nantinya akan membuat program untuk masyarakat seperti 100 ribu rumpon untuk mengembalikan habitat ikan, pembuatan terumbu karang buatan, dan beberapa rekayasa engineering sebagai langkah mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.

Muhammad Rijal Idrus, Ketua Pusat Studi Perubahan Iklim Universitas Hasanuddin, juga menekankan perlunya ada riset atau kajian oseanografi sebagai lanjutan dari riset ini, untuk memastikan faktor penyebab dari terjadinya kenaikan ombak dan abrasi ini.

“Kajian ini penting karena secara teoritis, pergerakan pasir di laut akan selalu mencari keseimbangan. Jadi bisa saja apa yang terjadi di Pulau Kodingareng dan Galesong sehubungan dengan adanya abrasi mungkin dipengaruhi oleh adanya lubang yang besar akibat dari aktivitas penambangan pasir laut. Namun, sekali lagi memang ini butuh pendekatan oseanografi fisika untuk melihatnya,” katanya.

Aflina Mustafainah, aktivis dari Yayasan Pemerhati Masalah Perempuan (YPMP) menyatakan bahwa tidak dibutuhkan hal yang bersifat teknis untuk membicarakan soal hak asasi manusia, karena hal yang seharusnya lebih diutamakan ialah fokus pada pengetahuan dan hak warga apa yang kemudian dilanggar.

“Saya kira WALHI Sulawesi Selatan sudah mencoba dengan berani untuk menegaskan ada indikasi pelanggaran HAM baik secara omission maupun commission pada kasus ini. Selain itu, perubahan iklim yang diperparah dengan penambangan pasir laut tentu saja akan sangat berdampak terhadap perempuan utamanya mengenai kesehatan reproduksi dan pengetahuan lokal perempuan. Nah, dalam konteks ini seharusnya pemerintah hadir dalam melindungi dan menghormati warganya,” ujarnya.

baca juga : Strategi Perempuan Kodingareng Bertahan dalam Krisis

 

Aksi penolakan para istri nelayan terhadap kehadiran kapal Boskalis. Foto : Koalisi Save Spermonde

 

Sita, salah seorang perempuan nelayan dari Pulau Kodingareng menceritakan pengalamannya sebagai warga pulau yang terdampak pada perubahan iklim dan penambangan pasir laut beberapa tahun silam.

“Kondisi kami di pulau saat ini, sudah banyak anak-anak yang terpaksa harus putus sekolah dan banyak yang merantau. Kalau untuk abrasi, belakang rumah saya sekarang sudah tidak bisa di tempati satu rumah karena abrasi satu tahun yang lalu. Sampai saat ini pemerintah belum memberikan solusi apapun kepada kami,” ungkapnya.

Keresahan yang sama disampaikan Herlina, perempuan nelayan dari Galesong Selatan, Kabupaten Takalar. Menurutnya, saat ini sudah banyak tetangga mereka yang harus pindah karena rumahnya rusak dan terancam abrasi.

“Sejak ada tambang pasir laut, lingkungan kami itu berubah. Kami sudah banyak pengalaman karena kami sejak kecil tinggal di sana, makanya kami bisa melihat dengan jelas perubahan itu. Galesong sekarang semakin hari semakin parah abrasinya,” katanya.

Terkait hasil riset ini, WALHI Sulsel menyampaikan sejumlah rekomendasi. Pertama, meminta pemerintah untuk menghentikan aktivitas reklamasi dan tambang pasir laut yang telah terbukti menyengsarakan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial, dan juga memperparah kondisi iklim saat ini.

Kedua, meminta pemerintah merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2022-2041 yang masih melegalisasi zona tambang pasir laut dan reklamasi di Sulawesi Selatan.

baca juga : Begini Nasib Perempuan Pulau Kodingareng Setelah Penambangan Pasir Laut Berakhir

 

Kenna, seorang perempuan istri nelayan Pulau Kodingareng kini berjualan minuman dingin di depan rumahnya dengan keuntungan Rp20 ribu Rp30 ribu per hari untuk menutupi kehidupan sehari-hari. Dulunya penghasilan suaminya rerata Rp250 ribu per hari. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Ketiga, meminta pemerintah untuk segera mencabut PP No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut karena dinilai akan mempercepat, memperluas dan melanggengkan kerusakan di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.

Keempat, meminta pemerintah untuk membentuk kelompok kerja perlindungan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam memitigasi dampak krisis iklim yang saat ini tengah dirasakan oleh masyarakat. Kelima, meminta pemerintah untuk segera menyusun skema penyelamatan terhadap desa-desa dan pulau-pulau kecil yang saat ini terancam abrasi, banjir rob, dan perubahan iklim. (***)

 

 

Exit mobile version