Mongabay.co.id

COP28: Organisasi Masyarakat Sipil Serukan Keseriusan Komitmen dan Aksi Iklim

 

 

 

 

 

Kini berlangsung pertemuan para pihak dalam konferensi perubahan iklim iklim (Conference of the Parties (COP) 28 di Dubai, Uni Emirat Arab. Dalam KTT iklim yang berlangsung 30 November-12 Desember ini, berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyerukan  kepada Pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengeluarkan komitmen politik dan mandat tegas guna meningkatkan aksi iklim secara berkeadilan.

“Dampak krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan masyarakat Indonesia, seperti frekuensi dan intensitas banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, dan cuaca ekstrem lain meningkat.  Termasuk kebakaran hutan dan lahan yang melalap 1 juta hektar pada 2023, gagal panen, penyakit dan pandemi baru, kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut, hingga hilangnya pulau-pulau dan daerah di Indonesia,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengutip seruan yang rilis 30 November lalu.

Indonesia, katanya,  merupakan negara kepulauan di wilayah tropis hingga kerentanan terhadap dampak krisis iklim tinggi. Data Bank Dunia 2021, Indonesia, berada pada nomer tiga risiko tertinggi di dunia.

Untuk menghindarkan bahaya krisis iklim, dunia perlu aksi iklim segera. “Kesempatan terakhir untuk bertindak di dekade ini, 2020-2030. Aksi yang diambil akan menentukan nasib bumi, manusia, dan segala makhluk di dalamnya selama ribuan tahun ke depan,” katanya.

 

 

Seruan itu sebutkan, tak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi), negara-negara juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat bertahan di tengah krisis iklim (adaptasi) serta mengatasi kehilangan maupun kerusakan akibat krisis iklim (loss & damage).

“Aksi iklim harus adil. Artinya,  berupaya menghilangkan ketidakadilan ekologis, sosial-ekonomi, dan politik saat ini serta mencegah timbulnya ketidakadilan-ketidakadilan baru akibat aksi iklim itu sendiri.”

Nadia nilai, komitmen dan aksi global masih jauh dari cukup untuk menghindarkan dunia dari bahaya krisis iklim. Data WRI menyebutkan, global stocktake pertama yang dikeluarkan UNFCCC pada 8 September lalu menemukan, emisi global masih terus naik, komitmen pendanaan dari negara-negara maju belum terpenuhi. Dukungan untuk adaptasi sangat jauh dari memadai.

Untuk itu,  berbagai organisasi msyarakat sipil di Indonesia, memberikan poin-poin seruan kepada Indonesia dan dunia, pertama, asistensi bagi negara-negara dan komunitas yang paling terdampak serta memiliki kapasitas terendah dalam merespon krisis iklim.

Kedua, perkuat komitmen iklim nationally determined contributions (NDCs) sesuai hasil global stocktake. Ketiga, adopsi target global untuk menutup semua sumber energi fosil (phasing out all fossil fuels).

Keempat, adopsi target global untuk menghentikan kerusakan dan memulihkan seluruh ekosistem alam termasuk hutan, pesisir, mangrove, dan laut pada 2030. Kelima, perubahan sistemik yang radikal dalam hal produksi pangan, energi, penggunaan hutan dan lahan, dan pembangunan.

Keenam, rekognisi peran dan hak masyarakat adat dan lokal serta solusi lokal perubahan iklim. Ketujuh, mengakui kegagalan kepemimpinan negara-negara kaya dalam mencegah kerusakan bumi.

 

Baca juga: Jokowi Sebut Percepatan Transisi Energi Perlu Kolaborasi, Apa Kata Organisasi Masyarakat Sipil?

 

Hak masyarakat

Climate Rights International (CRI) dalam rilis  mereka menyatakan, negosiasi dalam COP28 harus mengedepankan pembahasan hak masyarakat adat, komunitas atau kelompok rentan, masyarakat sipil dan pejuang lingkungan.

Selain itu, kenaikan signifikan pendanaan dari negara-negara kaya dengan emisi besar untuk adaptasi perubahan iklim dan kerugian serta kerusakan (loss and damage) akibat perubahan iklim perlu didorong. Begitu juga akuntabilitas dan keadilan dampak perubahan iklim.

“Perubahan iklim merupakan bentuk krisis kemanusiaan terbesar dalam sejarah kita. Menyebabkan orang-orang kehilangan tempat tinggal, perubahan hidup di masyarakat, memaksa orang pindah dan kematian di tiap sisi dunia,” kata Brad Adams,  Direktur Eksekutif CRI dalam rilis, pekan lalu.

Untuk itu, hak, kesetaraan dan keadilan harus jadi pusat negosiasi dan hasil dari CoP28. Pemerintah dan perusahaan, katanya,  merupakan pihak yang bertanggungjawab secara hukum atas kerugian iklim yang terus terjadi di masa depan.

Sebelumnya, pembahasan tentang hak masyarakat kerap dilupakan. Padahal, sebut CRI,  Kesepakatan Paris pada 2015 jelas menyebut kalau setiap pihak harus menghargai, mengedepankan, dan menyadari kewajiban mereka akan hak asasi manusia dalam menjalankan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Indonesia tidak lepas dari bencana dampak perubahan iklim. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut,  99,2% dari 3.544 kejadian bencana pada 2022 masuk dalam kategori bencana hidrometeorologi.

Rinciannya, 1.531 banjir, 1.068 cuaca ekstrem, 634 tanah longsor, 252 kebakaran hutan dan lahan, dan 28 gempabumi. Kemudian,  26 berupa gelombang pasang dan abrasi, serta empat kekeringan. Lebih 6 juta jiwa menjadi korban karena menderita dan mengungsi.

Walhi pun menyuarakan hal sama dengan CRI, meminta hak masyarakat jadi perhatian utama dalam penanganan perubahan iklim. Menurut Walhi, Indonesia masih lemah karena pengakuan atas hak lahan masyarakat masih minim. Pun demikian dengan regulasi perlindungan terhadap masyarakat adat.

“Padahal,  yang bisa menjaga hutan atau alam tersisa adalah masyarakat, bukan pemerintah,” kata Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Artha Siagian, yang tengah berada di Dubai.

Pasal 7 Kesepakatan Paris, kata Uli, menyebut adaptasi perubahan iklim bisa berbasis pengetahuan masyarakat lokal, dan tradisi-tradisi masyarakat adat.  Untuk itu, mengakui hak masyarakat atas wilayah, pengetahuan, dan cara-cara tradisional dalam aksi iklim harus bisa dilakukan dalam forum internasional seperti COP.

 

Hutan Bati, ruang hidup Masyarakat Adat Bati. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Pengakuan hak masyarakat termasuk masyarakat adat, katanya,  penting dalam aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Meskipun begitu, kata Uli, tidak boleh ada komodifikasi atas hutan dengan karbon tinggi yang sudah dijaga masyarakat ini,

Dia soroti soal carbon offset, cara untuk memastikan perusahaan penghasil emisi bisa jalankan bisnis seperti biasa asalkan membayar insentif pembelian karbon di wilayah lain. Di Indonesia, katanya, mekanisme ini sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98/2021.

“Parahnya, industri keuangan dan lembaga kapital memberi banyak modal bagi perusahaan-perusahaan ini,” kata Uli.

Kondisi ini menunjukkan,  aksi mitigasi perubahan iklim pun tidak lepas dari upaya komodifikasi. Krisis iklim yang saat ini terjadi justru dimanfaatkan untuk perdagangan dan menguntungkan perusahaan-perusahaan dengan emisi tinggi.

“Ini menjadi pertarungan teman-teman CSO (masyarakat sipil). Karena kita berusaha menghentikan para negosiator dari perusahaan itu di forum-forum internasional seperti COP28 ini.”

Senada diucapkan Iqbal Damanik,  Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, juga saat ini berada di Dubai. Dia bilang, pendekatan insentif karbon offset  dengan mekanisme non-market.

Pendekatan ini, katanya,  bisa jalan asalkan perlindungan terhadap hutan dan membangun kemampuan masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan.

Perusahaan dan negara penghasil emisi, katanya, bisa memberi insentif, tetapi tidak boleh mengambil hak untuk berpolusi dari hutan yang dijaga masyarakat.

“Greenpeace dan teman-teman CSO lain selalu berada dalam posisi menolak offseting dan carbon maket mechanism.”

 

Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI.

 

OPEC hutan hujan

Menurut Iqbal, Indonesia bisa berperan mendorong mekanisme non pasar (non-market mechanism) dalam insentif karbon lewat kerjasama dengan Brazil dan Kongo. Kolaborasi negara dengan hutan hujan yang luas ini bisa memaksa negara maju dan perusahaan untuk bertindak serius dalam mengantisipasi dan penanganan perubahan iklim maupun memberikan pendanaan untuk menjaga hutan tersisa.

Kerjasama tiga negara ini sebenarnya sudah lama disuarakan. Presiden Brazil, Luiz Inácio Lula da Silva sempat menggulirkan wacana pembentukan OPEC Hutan Hujan dan membentuk carbon fund untuk mendanai perlindungan hutan.

Sayangnya, belum ada kejelasan soal pembentukan organisasi ini. Indonesia pun sebut Iqbal tak datang ke Three Basins Summit yang khusus membahas kerjasama ini, yang dihelat di Kongo, 26-28 Oktober lalu.

Indikasi ini, katanya, menunjukkan lemahnya komitmen Indonesia dalam perlindungan hutan. Apalagi, masih ada kuota deforestasi yang masuk dalam dokumen forest and other land use  (FoLU) Net Sink 2030.

“Brazil sudah clear mau nol deforestasi. Indonesia tidak berani. Tidak ikut pembahasan terkait OPEC Hutan Hujan ini menunjukkan kalau Indonesia tidak clear dalam upaya perlindungan hutan.”

Pemerintah Indonesia enggan memberikan tanggapan soal OPEC Hutan Hujan ini. Mongabay mencoba menghubungi Wakil Menteri Alue Dohong lewat telepon dan aplikasi pesan, tetapi tidak mendapat respons.

 

 

 

Arief Wijaya, Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia, saat dihubungi pun menyayangkan belum ada realisasi kerjasama tiga negara ini. Menurut dia, Indonesia memiliki peran strategis untuk mendorong kerjasama ini dan memaksa negara penghasil emisi besar memberikan insentif perlindungan hutan.

“Saya sepakat wacana ini untuk dihidupkan lagi. Jangan hanya komitmen politik, harus ada aksi nyata dan membuat upaya pengurangan deforestasi dan konservasi hutan lebih ambisius,” kata Arief.

Dia bilang, klaim pemerintah yang selama ini menyebut deforestasi terus menurun seharusnya bisa menjadi modal memaksa negara maju berkontribusi dalam perlindungan hutan. Selain itu, pemerintah juga memiliki pekerjaan rumah buat menjelaskan pada dunia internasional peruntukan kuota deforestasi terencana.

“Biar kita dan dunia internasional tahu, kalau deforestasi yang dilakukan bermanfaat. Bukan untuk ekstensifikasi industri yang seharusnya bisa dialihkan dengan intensifikasi,” katanya.

 

Pohon sebesar ini masih ditemukan di hutan Ketambe. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version