Mongabay.co.id

Perusahaan Terjerat Korupsi, Operasi Tambang Sisakan Kerusakan di Pesisir Lombok

 

 

 

 

 

 

Hari itu, akan ada aksi penolakan rencana eksplorasi pasir besi di Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Aksi masyarakat sudah berulang kali, tetapi perusahaan tetap akan beroperasi.

Saat itu, 2010, PN Anugerah Mitra Graha (AMG) sedang mengurus perizinan rencana lokasi tambang pasir besi membentang dari Pantai Ketapang, Kecamatan Pringgabaya, hingga Pantai Korleko, Labuhan Haji seluas lebih 1.000 hektar. Aksi berlangsung damai. Bupati hadir berdialog bersama masyarakat yang menolak.

Dialog pun ‘memanas. Alih-alih menjawab pertanyaan warga terkait tambang pasir besi, bupati banyak membahas krisis listrik, pemadaman hampir tiap hari. Masyarakat mulai emosi.

Tiba-tiba terdengar suara keributan. Teriakan dari berbagai arah. Bupati Lombok Timur dikejar massa, berlari ke rumah dinas camat. Bupati diamankan. Warga melempari dengan batu. Ketegangan itu berakhir setelah pasukan Brimob dan TNI turun mengamankan situasi.

 

Baca juga: Jerat Korupsi Hentikan Tambang Pasir Besi di Lombok

 

Pada 2022, isu korupsi mencuat. Aktivitas perusahaan keruk pasir pun terhenti.

Ada dua tersangka ditetapkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB pada awal kasus ini, yaitu, ZA selaku Kepala Dinas Energi Sumberdaya Mineral (ESDM) NTB dan RAW, Kepala Cabang PT Anugrah Mitra Graha (AMG) yang memegang konsesi tambang pasir besi di pesisir pantai Kecamatan Pringgabaya itu. Kemudian menyusul tersangka PS, Direktur AMG.

Berikutnya tersangka MH,  mantan Kepala Dinas dan SM mantan Kabid Minerba ESDM NTB. Kejati NTB juga menetapkan dua tersangka dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Labuhan Lombok, yaitu SI selaku kepala kantor dan SA adalah ASN di kantor pelabuhan itu.  Terbaru tersangka TRs, merupakan mantan Kabid ESDM NTB. Total ada delapan tersangka. Sebagian sudah masuk persidangan.

“Bayangkan sejak 2009 sampai tahun ini masyarakat Pringgabaya aksi penolakan terhadap pasir besi itu, tapi tetap saja jalan. Akhirnya, terbongkar kasus korupsi ini membuat kita bertanya, jadi selama ini ada apa?’’ kata Muhammad Juaini, aktivis Gema Alam pada Mongabay beberapa waktu lalu.

Juaini adalah aktivis yang sejak awal rencana eksplorasi tambang pasir besi aktif bersuara. Lewat Gema Alam dan Walhi, dia ikut mengadvokasi masyarakat saat itu.

 

Mahasiswi menunjukkan poster penolakan tambang pasir besi saat aksi bersama Walhi NTB dan berbagai organisasi masyarakat sipil di NTB. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Pada 4 Januari 2010, bupati Lombok Timur saat itu HM Sukiman Azmy menerbitkan keputusan nomor 500/18/Eko/2010 tentang Pemberian Ijin Perpanjangan Kuasa Penambangan Eksplorasi Pasir Besi di Dusun Dedalpak Desa Pohgading Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Sejak saa itu Pringgabaya tak pernah sepi dari aksi.

Setiap kali perusahaan mengutus tim mereka ke lapangan, pasti akan terjadi aksi. Saat pemerintah memeriksa kondisi lokasi tambang, akan disertai aksi masyarakat. Aktivis lingkungan Gema Alam dan Walhi aktif menyuarakan penolakan. Pemerintah daerah bergeming.

Penolakan di masyarakat kuat, proses perizinan pun terus berjalan. Bupati Lombok Timur menerbitkan Keputusan Nomor pada 6 Juli 2011 tentang persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi jadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT. Anugrah Mitra Graha.

Setelah mendapatkan izin, perusahaan mulai memobilasi alat-alat berat. Penolakan dianggap angin lalu. Puncaknya, Januari 2014, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan alat-alat berat perusahaan dibakar massa yang marah.

Perusakan basecamp perusahaan dan perusakan kapal yang akan digunakan untuk produksi pasir besi. Selain itu, sebuah mobil yang dicurigai milik aparat juga dibakar masyarakat yang marah.

Masyarakat Pringgabaya pun bertahan. Banyak muncul simpul-simpul perlawanan termasuk anak-anak muda dan mahasiswa.

“Dulu, waktu terjadi pembakaran itu, sampai 48 warga ditangkap polisi. Sebagian besar masyarakat pasti menolak,’’ kata Juaini.

 

Kubangan bekas penambangan pasir besi di Pantai Dedalpak Desa Pohgading Kecamatan Pringgabaya oleh PT AMG. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Ekosistem rusak

AMG gagal ekspolitasi di Pantai Ketapang. Penolakan keras, berujung kerusuhan membuat perusahaan mencari lokasi lain walau masih di dalam konsesi mereka. Mereka masuk ke Pantai Dedalpak, Desa Pohgading. Penolakan juga dilakukan, perusahaan bergeming.

Bermodal izin dari pemerintah, penjagaan ketat dari aparat, perusahaan tetap eksplorasi hingga eksploitasi. Bahkan, tanpa ragu mereka menjual pasir besi walaupun belum mengantongi izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Pantai Dedalpak, sudah tidak bisa dikatakan pantai lagi. Pantai dulu landai kini berubah jadi penuh bukit pasir. Di areal yang sudah dikeruk, muncul kolam cukup dalam. Warga khawatir bahaya runtuhan bukit pasir, maupun tenggelam di kolam tambang. Tak ada reklamasi.

“Semua harus tanggung jawab pemerintah dan perusahaan,’’ kata Takdir, warga Pringgabaya, yang beberapa kali pernah memimpin aksi penolakan tambang pasir besi.

Menurut dia, AMG harus bertanggungjawab penuh untuk rehabilitasi kawasan yang rusak. Mereka sudah menjual pasir besi ke beberapa perusahaan hingga hasilkan Rp45 miliar lebih. Takdir bilang, harus ada langkah hukum, uang hasil penjualan pasir besi ilegal itu kembalikan ke negara untuk memperbaiki ekosistem yang rusak.

Data yang diperoleh Mongabay, AMG sudah beberapa kali melakukan pengiriman pasir besi. Sejak 8 Februari 2021 sampai 27 Maret 2021 ada enam kali pengiriman pasir besi.

Antara lain, Kapal TB. Maiden Cendana/BG. Sentana Abadi mengangkut 7, 756 juta ton pasir besi tujuan Panjang, yang dipesan PT Semen Baturaja, Tbk. Kapal TB. Marina 2211 BG Marine Poiwer 3058 angkut 7, 899 juta ton tujual Manokwari dipesan PT. SDIC Papua Semen.

Ada juga Kapal TB. Lumena 26/BG. LMN 316 mengangkut 8,706 juta ton tujuan Tuban dengan pemesan PT Berkah Putra Mandiri untuk PT Solusi Bangun Indonesia.

Amri Nuryadin, Direktur Eksekutif Walhi NTB mengatakan, eksploitasi AMG kira-kira 10% dari total konsesi mereka tetapi dampak kerusakan cukup besar. Kerusakan pesisir, katanya, perlu waktu lama untuk pemulihan, bahkan kalau tidak ada intervensi bisa permanen.

“Walhi NTB menurunkan tim untuk melihat kerusakan itu,’’ katanya.

 

 

Lingkungan rusak diperparah juga kondisi sosial masyarakat. Di tengah masyarakat terjadi konflik, karena ada sebagian yang setuju dengan tambang pasir besi.

Seluruh tingkatan pemerintahan, mulai desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga pemerintah pusat sekaan tak peduli dengan penolakan keras masyarakat.

Ujungnya, perusahaan menjual pasir besi tanpa sepeser pun masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Alih-alih, uang hasil penjualan dibagi untuk beberapa orang.

Kasus di tambang pasir besi ini, katanya,  bisa jadi pintu bagi aparat penegak hukum memeriksa berbagai usaha tambang di NTB. Penegakan hukum tambang ilegal, kata Amri, masih lemah. Padahal, sudah banyak protes dari masyarakat terdampak aktivitas tambang itu.

“Pasir besi ini hanya satu diantara puluhan aktivitas tambang di NTB, baik legal maupun ilegal,’’ kata Amri.

 

Dulunya, pesisir pantai ini landai, sekarang menjadi pesisir pantai penuh dengan gunungan pasir seperti di foto ini. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

******

 

Exit mobile version