Mongabay.co.id

Asa Baru bagi Penyu di Pulau Salissingan Mamuju

Penyu hijau [Chelonia mydas] di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pulau Salissingan yang berada di Desa Balabalakang, Kecamatan Kepulauan Balabalakang, Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat, dikenal sebagai surga bagi penyu.

Namun dalam lima tahun terakhir populasi penyu mulai menurun akibat perburuan liar. Dagingnya untuk konsumsi, sementara cangkangnya digunakan untuk perhiasan. Habitat penyu juga terganggu akibat banyak faktor, baik itu perubahan iklim maupun ulah manusia.

Kondisi ini perlahan berubah, setidaknya ada harapan untuk lebih baik. Sejumlah peneliti dari Marine Plastic Research Group (MPRG) Universitas Hasanuddin kolaborasi dengan Mubadala Foundation melakukan upaya konservasi berupa perbaikan ekosistem lamun dan terumbu karang sejak 2022 silam. Populasi penyu diharapkan akan terus meningkat seiring membaiknya habitatnya.

“Jadi yang pertama kita lakukan adalah memperbaiki habitat penyu yang ada di Pulau Salissingan dan Gusung Durian melalui transplantasi karang dan lamun untuk menumbuhkan kembali karang dan lamun yang ada sekitar situ,” ungkap Dr. Ir. Shinta Werorilangi, Program Manager Mubadala ID2, di Makassar, Senin (4/12/2023).

Menurut Shinta, perbaikan ekosistem lamun sangat penting karena merupakan habitat penyu yang kondisinya telah mengalami degradasi yang cukup parah.

“Diharapkan penyu yang dalam lima tahun terakhir populasinya berkurang akan muncul kembali,” katanya.

baca : Nasib Miris Penyu di Banggai untuk Konsumsi sampai Suvenir

 

 

Kepulauan Balabalakang sendiri merupakan salah satu jalur migrasi penyu di Indonesia. Dari 7 jenis penyu yang ada di dunia, tiga jenis yang ada di Kepulauan Balabalakang, khususnya Pulau Salissingan dan Gusung Durian, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu belimbing (Dermochelis coriaceae), meski hanya dua jenis yang sering ditemukan yaitu penyu sisik dan penyu hijau.

“Kita melihat lamun yang merupakan daerah feeding ground atau daerah reproduksi penyu, daerah tempat persembunyian penyu dari predator, itu sudah mulai berkurang. Sehingga akhirnya kita melihat bahwa daerah Pulau Salissingan ini perlu dilakukan restorasi terumbu karang dan lamun untuk mengembalikan penyu lebih banyak lagi terlihat di daerah tersebut,” ujar Shinta.

Selain perbaikan habitat penyu mereka juga melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pemberian bantuan untuk nelayan dan perempuan, maupun melalui pelatihan untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

“Kita memberikan bantuan berupa alat tangkap, lalu ada pelatihan olahan produk perikanan yang berbahan baku ikan, seperti abon ikan, mie dan bakso ikan. Kami berharap ini bisa meningkatkan dari sisi ekonomi masyarakat, khususnya bagi ibu-ibu agar tidak lagi bergantung pada suami.”

Agar upaya konservasi ini bisa berkelanjutan, maka didorong pelibatan masyarakat dengan mengembangkan kawasan ini sebagai kawasan khusus pariwisata penyu.

baca juga : ShellBank, Aplikasi untuk Memutus Perburuan dan Perdagangan Penyu Ilegal

 

Pemberian bantuan bubu kepada nelayan Pulau Salissingan, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam program Mubadala ID2 yang dilaksanakan MPRG Universitas Hasanuddin Bersama Mubadala Foundation. Foto: MPRG Universitas Hasanuddin.

 

Restorasi Terumbu Karang

Untuk perbaikan terumbu karang, telah dilakukan restorasi di sekitar wilayah Pulau Salissingan dan Gusung Durian. Mereka menanam 600 unit media yang disebut rangka spider MARRS, sebuah rangka besi laba-laba berdiameter 1 meter yang dicat dengan, dibungkus dengan resin fiber, kemudian dibungkus lagi dengan pasir yang berfungsi sebagai media tanam.

Menurut Dr. Syafyudin Yusuf, sebagai Coral Ecology Specialist dalam program ini, setelah setahun dilakukannya restorasi mereka telah melihat perkembangan yang positif bagi pertumbuhan karang dan ekosistem sekitarnya.

“Melalui restorasi ini, kita mampu memperbaiki kerusakan terumbu karang yang dulunya mencapai 70 persen. Sudah ada sekitar 60 persen yang sudah diperbaiki di Pulau Salissingan, sementara di Pulau Gusung Durian sudah mencapai 100 persen,” ungkap Syafyudin.

Membaiknya terumbu karang diiringi dengan membaiknya ekosistem sekitar. Tidak hanya berguna bagi penyu yang kemudian memiliki ketersediaan makanan berupa spons, karang lunak dan alga, tapi bagi biota-biota laut lainnya juga ikut bernaung di dalam terumbu karang yang sudah direstorasi.

“Saya kaget juga melihat ada binatang lain yang sudah dilindungi yaitu lola. Lola itu bahasa ilmiahnya itu Trochus niloticus yang banyak dieksploitasi orang, khususnya lola merah. Kami temukan lola di bawah terumbu karang yang sudah direstorasi. Ini semacam efek ganda adanya restorasi ini,” tambahnya.

baca juga : Inisiatif Anas dan Harapan Baru Konservasi Penyu di Pulau Lanjukang

 

Penyu dengan mudah ditemukan di Pulau Salissingan Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, meski populasinya sempat menurun. Populasinya diharapkan meningkat seiring dilaksanakannya program Mubadala ID2 di pulau ini. Foto: MPRG Universitas Hasanuddin.

 

Penurunan Populasi dan Upaya Konservasi Penyu

Menurut Prof. Dr. Chair Rani, Marine Conservationist dari program ini, kondisi penyu di Indonesia saat ini, seperti halnya tren global, mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian WWF menunjukkan bahwa selama 15 tahun setelah tahun 1999, terjadi penurunan sarang penyu 4 hingga lima kali dari 13 ribu sarang penyu kini jumlahnya hanya sekitar 2.900-an.

“Itu menunjukkan bahwa populasi penyu menurun bukan saja di Indonesia, tapi hampir di seluruh daerah sebaran penyu. Itu terjadi penurunan yang drastis,” jelasnya.

Perburuan penyu bukan hanya berupa penyu hidup, tapi semua turunannya, termasuk daging dan sisik.

“Jadi dari segi aturan, itu kita sudah punya. Sekarang tinggal bagaimana implementasi dari aturan itu. Kendalanya kita sebaran penyu kan sangat luas. Sementara sumber daya dalam hal ini, jagawana di kawasan konservasi hanya sedikit. Hampir tidak mungkin untuk menjangkau semua, sehingga dalam konservasi penyu perlu kita libatkan masyarakat di sekitar tempat adanya penyu,” ujarnya

Menurutnya, upaya perlindungan penyu sudah lama dilakukan. Sejak tahun 1978 Indonesia sudah meratifikasi aturan the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna andil Flora (CITES) untuk perlindungan penyu. Kemudian di tingkat nasional telah ada PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pelestarian Spesies Tumbuhan dan Hewan.

Aturan lain adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, serta Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 106 Tahun 2018 tentang perubahan atas Keputusan No. 20 Tahun 2018 yang menyebutkan enam jenis penyu tergolong hewan yang dilindungi undang-undang.

Hanya saja, meski telah ada sejumlah aturan, masih ditemukan tantangan lain bagi perlindungan penyu, seperti adanya budaya konsumsi penyu di sejumlah daerah. Jika dulunya ada pembatasan perburuan penyu, namun kini tidak lagi sehingga populasinya semakin menurun. Jumlah telur juga semakin menurun untuk dikonsumsi.

“Jadi tingkat eksploitasinya bukan saja penyunya tapi juga telurnya. Itu yang sangat memengaruhi penurunan populasi. Mungkin yang lain adalah kerusakan habitatnya. Abrasi di pantai sehingga sarang telurnya juga ikut terkikis. Itu faktor yang utama yang perlu kita perhatikan dalam perlindungan penyu.” (***)

 

ilustrasi. Penyu hijau [Chelonia mydas], hewan purba penjelajah yang ada di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Foto: Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version