- Penyu di Banggai, Sulawesi Tengah, makin terancam karena banyak diburu untuk konsumsi. Cangkang penyu pun jadi kerajinan seperti cincin dan gelang.
- Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar benarkan eksploitasi penyu di Banggai masih sangat tinggi. BPSPL banyak menerima informasi dari laporan masyarakat bahkan di media sosial. Salah satunya, tempat penjualan aksesoris berbahan dasar penyu di Pagimana, Banggai.
- Sejak Januari hingga Juni 2023, Yayasan Penyu Indonesia (YPI) melakukan survei monitoring penyu di Perairan Pagimana, Banggai, dan sekitar. Mereka menemukan ada enam penyu ditangkap nelayan. Penyu itu terdiri dari tiga lekang (Lepidochelys olivacea), dua sisik (Eretmochelys imbricata), dan satu penyu hijau (Chelonia mydas).
- Pada 2020, hasil survei pasar Yayasan Penyu Indonesia di 16 lokasi di kabupaten/kota tersebar di sembilan provinsi di Indonesia, menunjukkan ada 105 toko yang masih menjual produk berbahan dasar penyu dalam bentuk aksesoris ataupun suvenir.
Seorang remaja laki-laki menembus barisan para penumpang yang bersantai di anjungan kapal feri di Pelabuhan Pagimana, Banggai, Sulawesi Tengah, menuju Gorontalo.
Dia menjajakan jualan kepada siapa saja yang ditemui. Produk yang dia tawarkan berbeda dengan para penjual lain mayoritas makanan dan minuman. Remaja ini menjual cincin dan gelang. Mirisnya, ini cincin dan gelang dari cangkang penyu!
“Ini dari penyu, banyak orang yang beli,” katanya.
Bak jadi hal lumrah berada di Pelabuhan Pagimana, akan ada orang menawarkan jualan aksesoris berbahan dasar penyu seperti gelang dan cincin. Bahkan, sangat mudah menemukan aksesoris model ini di pusat penjualan oleh-oleh ikan asin yang tidak begitu jauh dari pelabuhan.
Tempatnya berada di bahu jalan dan berhadapan langsung dengan jalan masuk menuju Desa Jayabakti, Pagimana. Sepintas kalau dilihat dari jalan raya, tempat ini surga bagi penggemar ikan laut kering asin.
Saat mendekat, beberapa tumpukan rak jualan bukan hanya ikan asin, tetapi cincin dan gelang berwarna coklat, hitam, dan hijau kehitaman. Tumpukan cincin atau gelang itu diikat tali rapia berjejer rapi di atas meja.
“Ini cincin dan gelang dari penyu,” kata penjual memperjelas.
Di beberapa desa di Banggai, sudah jadi rahasia umum penyu diburu untuk konsumsi, lalu sisik dan karapas untuk jadi aksesoris berupa cincin dan gelang. Aksesoris ini diperjualbelikan bebas di tempat umum sebagai suvenir.
Penyu merupakan satwa dilindungi penuh melalui aturan pemerintah pada 1999. Perlindungan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Juga, Peraturan Pemerintah Nomor 7/2009 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam kebijakan itu menegaskan, dasar regulasi segala pemanfaatan penyu dilarang, kecuali untuk penelitian yang harus mendapatkan izin sesuai ketentuan berlaku.
Kebijakan peraturan ini kemudian juga diperkuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan melalui surat edaran MKP No.526 2015 soal pelaksanaan perlindungan penyu, telur, bagian tubuh dan, atau produk turunan.
Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar benarkan eksploitasi penyu di Banggai masih sangat tinggi. BPSPL banyak menerima informasi dari laporan masyarakat bahkan di media sosial. Salah satunya, tempat penjualan aksesoris berbahan dasar penyu di Pagimana, Banggai.
“BPSPL Makassar sudah sering sosialisasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah baik langsung maupun pembagian poster-poster terkait dengan larangan pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi,” kata Getreda M. Hehanusa, Kepala BPSPL Makassar, saat dihubungi Mongabay.
Dia bilang, BPSPL sudah melakukan koordinasi terkait laporan penjualan aksesoris penyu marak di Pagimana. Salah satunya, berkoordinasi dengan Pangkalan Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Bitung Wilayah Kerja Banggai hingga bisa monitoring komprehensif terhadap perdagangan karapas penyu di sana.
“Informasi yang diterima langsung ditindaklanjuti dengan meneruskan informasi ke PSDKP sebagai institusi yang mempunyai kewenangan untuk pengawasan dan penindakan pemanfaatan ekosistem laut termasuk pemanfaatan biota laut yang dilindungi,” katanya.
Kerajinan
Pada 2020, hasil survei pasar YPI di 16 lokasi di kabupaten/kota tersebar di Sembilan provinsi di Indonesia, menunjukkan ada 105 toko yang masih menjual produk berbahan dasar penyu dalam bentuk aksesoris ataupun suvenir.
Dari data yang dibeberkan YPI, ada empat kabupaten/kota dengan produk berbahan penyu terbesar yaitu Kupang, Banggai, Makassar, dan Nias. Di Kabupaten Banggai, ditemukan penjualan produk berbahan dasar penyu dijual terbuka.
Penjualannya, tersebar di berbagai tempat, ada di toko oleh-oleh, yang dijual dipinggir jalan, berkeliling, bahkan dalam acara pameran terbuka untuk umum.
“Di Banggai produk berbahan penyu ini memang tidak terlalu bervariatif karena hanya berupa cincin dan gelang sederhana dan dijual dengan relatif murah,” kata Jayuli.
Dalam temuan YPI, produk berbahan dasar penyu yang dijual itu tidak sedikit, terdata 12.541 dengan estimasi penjualan Rp1, 058 miliar.
Nominal besar ini, katanya, berbanding terbalik dengan upaya konservasi dalam menekan laju penurunan populasi penyu di alam.
Menurut Jayuli, penting memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tak lagi membeli produk dari sisik penyu. Selain karena dilindungi Undang-undang, masyarakat juga perlu tahu betapa kejamnya proses pengambilan sisik penyu jadi bahan baku perhiasan
“Sejak 2019, Yayasan Penyu Indonesia meluncurkan kampanye bertajuk ‘Keren Tanpa Sisik’ untuk menyerukan kepada masyarakat bahwa memakai produk sisik adalah kuno,tidak modern, kejam, dan tidak keren.”
Hasil identifikasi KPHK Bakiriang juga menemukan hal sama dengan YPI. Temuan mereka berupa penjualan aksesoris berbahan dasar penyu di Luwuk, Banggai.
“Kami pernah menemukan dua toko yang menjual di Luwuk, setelah kami surati mereka tidak menjual lagi,” ujar I Nyoman Ardika, KPHK Bakiriang, BKSDA, Sulteng kepada Mongabay belum lama ini.
Dia bilang, hal penting mencari sumber utama dalam perdagangan sisik atau aksesoris penyu itu agar bisa menjawab alur proses transaksinya.
“Para penjual di Pagimana itu adalah hilirnya, kita perlu masih mencari informasi siapa dalang atau yang menjadi hulu dari pemasok bahan-bahan sisik penyu untuk jadi suvenir. Sampai saat ini kami masih kesulitan mencarinya.”
Diburu
Sejak Januari hingga Juni 2023, Yayasan Penyu Indonesia (YPI) melakukan survei monitoring penyu di Perairan Pagimana, Banggai, dan sekitar. Mereka menemukan ada enam penyu ditangkap nelayan. Penyu itu terdiri dari tiga lekang (Lepidochelys olivacea), dua sisik (Eretmochelys imbricata), dan satu penyu hijau (Chelonia mydas).
“Penyu menjadi tangkapan sampingan nelayan. Di Banggai, khusus di pesisir dan kepulauan sekitar Kecamatan Pagimana, tak ada informasi. Jadi, penyu-penyu itu ditangkap di tengah laut, bukan ketika mereka bertelur di pantai,” kata Muhamad Jayuli, Program Manajer YPI.
YPI adalah organisasi non pemerintah yang fokus pada isu konservasi dan perlindungan penyu di Indonesia. Saat ini, mereka lagi pemantauan penyu di Banggai, khsusus Kecamatan Pagimana.
Jayuli bilang, sudah banyak penelitian menyebutkan populasi penyu di alam sangat mengkhawatirkan dan mengalamani penurunan drastis 90-100%. Untuk membuktikan penurunan populasi di Pagimana, YPI bersama 17 nelayan melakukan pemantauan di perairan Pagimana dan sekitar, untuk tahu sebaran biota laut dari permukaan.
Hasilnya, ada 24 temuan, yang paling banyak ditemui nelayan adalah lumba-lumba, diikuti penyu hijau, lekang. Sedangkan penyu sisik cukup kecil, hanya tiga kali temuan sepanjang pengamatan.
Lalu, pada pengamatan menggunakan scuba diving maupun snorkeling sebanyak 33 kali di lokasi dan waktu berbeda. Temuannya, hanya bisa melihat lima penyu, dua sisik, sisanya penyu hijau.
Jayuli menyimpulkan, perburuan berlebihan dan ditunjang kerusakan habitat menjadi dugaan kuat berkurangnya populasi penyu di Perairan Pagimana, Banggai. Selain itu, sebagian ekosistem terumbu karang rusak akibat praktik destruktif fishing yang membuat penyu tak betah dan keluar mencari makan di tempat lain.
“Jika kondisi alam sudah tidak bagus, penyu sudah tidak bisa lagi tinggal di area itu. Itu yang terjadi pada populasi penyu sisik di Banggai. Minimnya sumber makanan yang membuat frekuensi perbedaan temuan penyu di laut Pagimana,” ujar Jayuli.
Menurut dia, Banggai jadi habitat beragam jenis penyu, yang terdata hanya ada tiga jenis saat ini, yaitu penyu hijau, sisik, dan lekang.
Dia khawatir, keragaman hayati yang dimiliki wilayah pesisir Banggai akan terganggu dengan makin tergerus ekosistem perairan karena abrasi. Paling parah, ada perubahan pesisir yang disulap menjadi tempat wisata yang merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan hidup penyu selain perburuan.
Erwin Wuniarto, Dekan Fakultas Perikanan, Universitas Muhamadiyah Luwuk, Banggai, angkat bicara terkait penjualan aksesoris berbahan dasar penyu di Banggai dan tingkat konsumsi terhadap daging penyu yang cukup tinggi.
Dia bilang, perilaku ini dapat mendorong penurunan populasi terhadap penyu. Harus ada langkah tegas menindaklanjutinya, baik memberikan edukasi terkait status perlindungan penyu dan memberikan hukuman bagi yang melanggar.
“Pelanggaran perburuan penyu bukan hanya terjadi di Pagimana, tapi di beberapa wilayah tetangga Kabupaten Banggai. Seperti di Desa Liang, Kabupaten Banggai Kepulauan yang masih sering ditemukan nelayan menangkap penyu serta dipelihara di bawah kolong rumah warga,” kata Erwin saat dihubungi Mongabay.
Dosen dan peneliti itu mengatakan, keberadaan penyu sama seperti ikan dan biota laut lainnya yang punya peranan penting dalam suatu ekosistem. Tingginya penangkapan penyu akan membuat dampak buruk pada ekosistem perairan. Misal, terjadi blooming atau membludaknya ubur-ubur dan padang lamun yang makin berlimpah karena penyu yang bertugas memakan lamun telah hilang di perairan sekitar.
Dia bilang, kurangnya kampanye perlindungan dan sebaran informasi adalah salah satu kelemahan dan turut mendorong perburuan aktif terhadap penyu, apalagi secara geografi Banggai merupakan daerah pesisir yang sangat dekat dengan kehidupan lautnya.
“Harus ada upaya mengalihkan pekerjaan sebagai perajin sisik penyu ke komoditi lain sebagai alternatif mata pencaharian untuk menunjang pendapatan ekonomi masyarakat,” kata Erwin.
Sejauh ini, IUCN– lembaga Internasional melalui uni internasional untuk konservasi alam memasukkan tujuh jenis penyu ke dalam daftar merah yang statusnya terancam punah. Sedangkan CITES, lembaga Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar dan Spesies Terancam memasukkan tujuh spesies itu ke dalam kelompok Apendiks 1 atau melarang sepenuhnya spesies penyu diperdagangkan dalam bentuk apapun di dunia.
Enam dari tujuh spesies yang dijaga penuh itu ada di Indonesia antara lain penyu hijau (Chelonia mydas), sisik (Eretmochelys imbricata), lekang (Lepidochelys olivacea), belimbing (Dermochelys coriacea), tempayan (Caretta caretta), dan penyu pipih (Natator depressus).
********