Mongabay.co.id

Usaha Gula Aren Menjanjikan di Halmahera

 

 

 

 

 

 

Laode La Puasa, pernah jadi pekerja di perusahaan tambang nikel karena tergiur cerita ‘penghasilan besar’. Setelah bekerja di perusahaan tambang sekitar lima bulan, bayangan ‘enak’ bekerja di perusahaan tambang pun sirna. Dia pun memilih berhenti dan pulang kampung ke Pulau Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Dia memilih mengelola tanaman enau jadi gula aren.

Pada penghujung Oktober lalu, di Kampung Makean, Pulau Bacan,  ini Laode baru selesai ambil air saguer (nira).

Saguer sudah tertampung dalam galon yang tergantung di bawah tangkai buah aren yang dipotong  dan  mengeluarkan nira.

Hari itu, Laode panjat 13 pohon untuk mengambil saguer. Nira diambil airnya. Setiap tangkai buah terisi  5-7 liter air nira.

“Hasilnya, berbeda-beda. Semalam ada yang  dapat 5-8 liter, tergantung enau yang diolah,” katanya.

Hari itu, nira tertampung sekitar 80 liter. Setelah  terkumpul dari beberapa tempat  saguer langsung masuk wajan besar  untuk proses jadi gula aren.

Laode  menyalakan api dan memasak nira hingga mengental. Dia ambil satu per satu batang kayu kering untuk dibakar di tungku.

“Jika sudah jadi gula gampang jualnya. Ada langganan  siap ambil. Ibu saya biasa jual ke langganan dengan harga per buah Rp7.000. Dijual para pedagang itu di pasar harga Rp10.000,” katanya.

Dia begitu menikmati menjalani rutinitas bikin gula aren ini.

 

Laode mengangkut kayu untuk merebus air saguer. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Kapok bekerja di tambang

Sebelum jadi perajin gula aren, Laode sempat tergoda dengan pertambangan nikel.

Pada masa remaja, sebelum tamat SMA, dia berkeinginan bekerja di perusahaan tambang yang   ada di Maluku Utara. “Ada banyak perusahaan, di Pulau Obi Halmahera Selatan, Weda, Halmahera Tengah dan Halmahera Timur ,” katanya.

Dia tertarik bekerja di tambang karena dengar cerita kerja tambang banyak uang. Dia ingin membantu ekonomi orangtuanya.

Tamat SMA, awal 2022, dia adu peruntungan dengan bekerja di perusahaan tambang nikel di Halmahera Tengah.

“Tamat SMA pada 2019. Karena ingin menopang ekonomi orangtua, setelah  tamat saya berangkat ke Weda dan melamar di perusahaan tambang nikel. Saya sudah masuk bekerja kurang lebih lima bulan. Tak lama minta berhenti. Pulang ke Bacan,” katanya.

Dia bilang, banyak cerita miris bekerja di perusahaan itu hingga tidak mampu melanjutkan kontrak  kerja.

Laode cerita, awal-awal kerja di bagian tungku pembakaran batubara. Dia rasakan penuh risiko. “Selain ancaman kecelakaan juga banyak debu. Saya tidak mampu, akhirnya memilih berhenti,” katanya.

Selain debu mengancam kesehatan, katanya, kalau tak hati-hati bisa terbakar. Setelah berhenti, Laode berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan baru. Dia pun pulang kampung mengelola kebun orangtua dan jadi pembuat gula aren.

“Lahan ini saya sewa tiga hektar. Per bulan Rp400.000. Saya mengontrak enaunya saja, tanaman lain tetap dikelola pemilik lahan.”

Dia sudah  belajar mengolah enau dan membuat gula aren dari orangtuanya sejak SMA. Dia pun bisa memproses sendiri. Mulai dari mengiris tangkai buah aren agar bisa mengeluarkan nira, menurunkan air yang ditampung satu hari atau satu malam hingga menyiapkan kayu bakar maupun membekukan nira jadi gula.

“Semua sudah dilakukan, karena itu ketika berhenti dari tambang dan mengolah  gula sudah terbiasa,” katanya.

Dia bilang, mengolah gula aren  memang bukan pekerjaan mudah, tetapi hasil juga sebanding. Dalam dua hari, dia bisa mengolah saguer yang sampai 200 buah batang. Dalam dua hari, dia bisa mendapatkan uang berkisar Rp1-Rp1,5 juta.

Laode berharap,  para pemuda tergerak tetap menjaga dan mengelola kebun dan hutan. Banyak sumber hidup dari alam sekitar dengan sekaligus menjaganya, salah satu dengan memanfaatkan tanaman enau yang banyak tumbuh di Halmahera Selatan maupun daerah Maluku Utara yang lain.

“Pohon enau banyak. Hasil juga menjanjikan.”

 

Air nira yang ditampung dalam wajan dan siap direbus. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Menguntungkan, dan berkelanjutan

Riset  Mahdi Tamrin, Leti Sundawati, Nurheni Wijayanto  dari Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) berjudul “Strategi Pengelolaan Agroforestri  Berbasis Aren di Pulau  Bacan, Halmahera  Selatan,” menyebutkan,  petani terapkan praktik agroforestri  di Desa Kampung Makian.

Pola ini,  dengan kelola lahan untuk memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial.

Riset itu menyebutkan, pemanfaatan aren untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menjamin ketersediaan pangan cukup.

Sistem agroforestri di Maluku Utara, sebut riset ini, mencampurkan banyak jenis tanaman, dengan aren (Arenga pinnata Merr) sebagai tanaman utama.

Desa Makian, Bacan Selatan, salah satunya.  Penelitian ini menunjukkan, pengelolaan agroforestri berbasis aren dapat memberi kontribusi 99.29% terhadap pendapatan rumah tangga Desa Makian.

“Pengelolaan kebun agroforestri, petani lebih banyak gunakan pengalaman  dari orangtua maupun hasil pertukaran antar petani.”

Mereka pun pakai alat sederhana, yaitu bambu sebagai penampung nira, kuali atau wajan untuk masak, pengaduk dan tungku kayu bakar untuk pemanasan.

Nira hasil sadapan pagi dan sore ditampung dengan kuali selama empat hari di tungku dengan panas relatif kecil, sambil menampung nira.  Lama pemasakan nira aren hingga dicetak sekitar 3–4 jam dengan rata–rata produksi  150–200 butir atau sekitar 75–80 kg dengan frekuensi produksi lima hari.

 

Proses pengolahan gula aren Laode. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Walhi Maluku Utara  juga lakukan pendampingan petani di Halmahera Selatan. Masyarakat memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti aren ini  dengan prinsip  secara ekonomi menghidupkan masyarakat dan keberlanjutan.

“Manfaat secara ekonomi tak hanya keluarga yang mengelola juga rantai pasar selanjutnya. Mereka semua dapatkan keuntungan. Petani, pedagang pengumpul sampai konsumen secara langsung,” kata Nursyahid dari Walhi Malut.

Tak sampai di situ,  pengelolaan juga berkelanjutan karena para petani tak hanya memanfaatkan tanaman yang tumbuh alami juga berpikir budidaya.

Berarti, katanya, kondisi ekologi tetap tejaga.

Dia membandingkan perajin aren dan bekerja di tambang. Perajin aren, katanya, tak seperti pekerja tambang yang diperas tenaganya siang malam dengan ancaman kecelakaan tinggi dan  kesehatan tak terjamin.

Pada industri tambang keuntungan vertikal karena akan berakhir ke pemilik modal. Industri juga jauh dari keberlanjutan.

“Setelah sumberdaya tersedia habis dikelola, yang ditinggalkan kerusakan alam dan ancaman kemiskinan berkepanjangan  terutama masyarakat sekitar industri,” katanya.

Dia contohkan, 40 tahun nikel terkuras di Pulau Gebe, hasilnya saat ini masyarakat pulau itu merana. Tenaga kerja yang mendapatkan pesangon juga hanya habis  untuk berobat. Setelah berhenti dari pekerjaan, rata-rata sakit.

“Di perusahaan tambang nikel di Pulau Gebe, dulu ada  kasus, setelah karyawan pensiun,  dari 10 kasus  sakit  yang diderita mantan karyawan itu  rata rata sakit ginjal. Akhirnya, pesangon mereka habis untuk biaya pengobatan.”

 

Pohon enau yang diambil saguer atau niranya oleh Laode. Satu galon diletakkan di bawah tangkai pohon itu untuk menampung air saguer. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version