Mongabay.co.id

COP28: Dana Iklim Jangan Malah Bebani Negara Berkembang

 

 

 

 

 

 

Organisasi masyarakat sipil meminta pendanaan perubahan iklim harus serius, tepat sasaran dan tak membebani negara berkembang, seperti Indonesia. Pasalnya, selama ini dana yang datang dari negara maju selaku penghasil emisi besar justru banyak berbasiskan pinjaman, bukan hibah.

Negara-negara maju punya komitmen memberikan pendanaan US$1 miliar per tahun dalam mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Untuk itu,  perlu ubah dengan format yang baik, bukan pinjaman, bukan carbon offset maupun dengan perubahan perilaku dari negara dengan emisi besar.

Kalau tidak, pendanaan dengan konsep loss and damage yang jadi perhatian khusus di Konferensi Perubahan Iklim (COP) 28 akan bernasib sama, merugikan negara-negara yang sudah dapat terdampak perubahan iklim.

“Jangan sampai loss and damage ini, sekamnya jatuh lagi-lagi pada skema utang,” kata Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, saat dihubungi Mongabay.

Konsep ini pada dasarnya harus jadi komitmen pertanggungjawaban negara-negara maju untuk memberikan dukungan kepada negara berkembang dalam konteks mitigasi dan adaptasi.

Negara-negara berkembang, katanya, tak bisa lakukan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan maksimal kalau tidak ditopang dukungan negara maju.

Skema pendanaan yang tak tepat dan berujung utang justru akan memberatkan negara-negara berkembang dan tak ada keadilan iklim di dalamnya.

“Keadilan iklim juga harus diwujudkan negara-negara maju dan para perusahaan penghasil emisi diberikan denda karbon tanpa offsetting. Jangan hanya bayar uang tapi mereka tidak mengurangi emisi mereka,” kata Uli.

Hal ini sebenarnya sama dengan dengan konsep REDD yang sempat kena kritik masyarakat sipil. Sosiolog Eko Cahyono saat ditemui dalam kesempatan berbeda menyebut, sempat ada penolakan terhadap REDD karena konsep memberikan uang untuk menjaga hutan di Indonesia tetapi tidak ada perubahan perilaku dari negara penghasil emisi besar.

Dia menganalogikan Indonesia sebagai penjaga paru-paru, sementara negara maju pemberi dana sebagai seorang perokok. “Masa mereka yang merokok, kita yang disuruh jaga paru-parunya? Atau, mereka yang buang air, kita yang cuci toiletnya?”

Dia menyebut upaya yang dilakukan negara maju sebagai upaya perilaku mereka dalam merusak tidak diganggu isu perubahan iklim selama ada dana yang mereka berikan pada negara berkembang.

“Jaga hutanmu, ya! Aku tetap begini, jangan ganggu industriku. Kira-kira seperti itu,” kata Eko.

 

 

Bentang hutan mangrove Aru Tengah. Foto: FWI

 

 

Kontribusi Norwegia

Sementara, dalam perhelatan COP28, Pemerintah Norwegia mengumumkan pemberian kontribusi US$100 juta pada Pemerintah Indonesia. Pengumuman 1 Desember lalu ini merupakan bentuk dukungan upaya berkelanjutan Indonesia dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.

Dalam rilis yang diterima Mongabay, disebutkan kalau kontribusi ini merupakan pembayaran kedua setelah sebelumnya US$56 juta. Pembayaran pertama setelah Indonesia dan Norwegia menandatangani perjanjian bersama untuk memperkuat upaya memerangi perubahan iklim dan perlindungan hutan di Indonesia, September 2022.

Bustar Maitar,  CEO Yayasan EcoNusa, mengatakan, pembayaran US$100 juta ini bukan hadiah melainkan penghargaan atas kerja Pemerintah Indonesia.

“Saya mengikuti kesepakatan bilateral Indonesia-Norwegia sejak ditandatangani pada 2010. Dalam delapan tahun terakhir, Pemerintah Indonesia menunjukkan langkah korektif,” katanya dalam rilis kepada media.

Langkah korektif itu antara lain, penurunan deforestasi.

Arief Wijaya,  Direktur Program World Resources Institute (WRI) Indonesia, menyebut,  keberhasilan Indonesia harus bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mengajak negara lain berkontribusi sama dan pendanaan negara maju.

Kontribusi emisi dari sektor lahan dan hutan, katanya,  cukup tinggi mencapai 11% emisi global.

“Tapi dana atau insentif untuk pengurangan emisi di sektor hutan dan lahan ini sangat minim,” katanya.

Komitmen negara maju, katanya, harus dikejar untuk mendorong pendanaan bagi negara-negara berkembang yang berkontribusi dalam pengurangan emisi. Harus ada aksi nyata, katanya, bukan hanya komitmen politik.

“Ini yang harus kita kejar. Komitmen mereka pun harus diperbesar.”

 

 

Hutan adat milik Suku Jerieng yang masih bertahan. Hutan ini terancam oleh aktifitas HTI, yang kemungkinan besar mulai beraktifitas dengan hadirnya co-firing PLTU Air Anyik. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

‘Tool’ baru?

Pendanaan perubahan iklim berbasiskan proyek karbon kerap sulit dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil di tingkat tapak. Padahal, kerja-kerja mereka di tingkat tapak sangat strategis karena langsung berinteraksi dengan masyarakat adat dan lokal yang memiliki praktik baik dalam menjaga alam.

Untuk mengatasi masalah ini, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Southeast Asia Climate and Nature-based Solutions (SCeNe Coalition) meluncurkan Nature-based Solution (NbS) Tool.

Lewat alat ini, masyarakat sipil dan kelompok masyarakat dapat mengakses data dan mengembangkan dokumen proyek untuk meningkatkan kapasitas mereka.

“Kami mendorong pendekatan Nature-based solutions ini untuk bagian mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satunya dengan bantu teman-teman front line organizations yang terkadang memiliki kapasitas terbatas dalam proyek karbon lewat alat ini,” kata Dewi Ratna Sari,  Nature-based Solutions Financing Senior Program Lead WRI Indonesia, dalam diskusi daring COP28 bertajuk Nature-based Solutions as Path Towards 1.5 Degree World.

Pendanaan perubahan iklim, katanya, kerap ditentukan dengan kemampuan menghitung berapa besar karbon yang bisa terserap. Kondisi ini,  biasa jadi kesulitan bagi organisasi masyarakat sipil di tingkat tapak.

“Padahal,  mereka sudah melakukan konservasi. Karbon pun pasti sudah terserap, tapi support untuk mereka tidak banyak.”

Karena itu, NbS tool yang rilis bertepatan dengan COP28 ini jadi satu alat untuk memudahkan kerja mereka. Ada dua fitur utama dalam NbS tool versi pertama ini. Yaitu,  Interactive Map, yang memberikan analisis kondisi saat ini dari satu wilayah yang akan dibangun suatu proyek karbon. Lalu, project management,  yang memungkinkan pengguna membuat dokumen proyek.

Dengan mengakses laman resminya, siapapun pengguna bisa diperlihatkan apa saja di area yang hendak ada proyek karbon, tak hanya Indonesia, juga Asia Tenggara.

Analisa akan dilakukan secara digital untuk memperlihatkan informasi lokasi, alam, iklim dan masyarakat daerah itu.

Informasi lokasi meliputi topografi, sejarah deforestasi, batas administratif, hingga area lindung. Untuk informasi alam meliputi data gambut, mangrove, keanekaragaman hayati, kondisi tutupan lahan, risiko deforestasi di masa depan dan indeks integritas hutan.

Informasi masyarakat soal populasi dan kawasan masyarakat. Untuk iklim, analisis akan memperlihatkan data setok karbon saat ini di daerah itu dan sejarah kebakaran hutan maupun lahan.

Data yang dipakai untuk analisis ini berasal dari riset yang sudah terpublikasi dan terbukti secara ilmiah serta data resmi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik. Data-data ini terbagi jadi dua jenis, pertama, merupakan pemodelan dari data remote sensing.

Kedua, data dari remote sensing yang sudah terbukti secara ilmiah.

“Data ini berupa keanekaragaman hayati, spesies satwa, masyarakat, serta demografi.”

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version