Mongabay.co.id

Elang Bondol, Maskot Jakarta yang Kian Pudar

 

Keberadaan burung elang bondol di wilayah DKI Jakarta dari waktu ke waktu dinilai semakin sulit dijumpai. Salah satu penyebabnya yaitu tempatnya untuk beristirahat dan berkembang biak semakin menyusut karena berganti menjadi pemukiman-pemukiman yang semakin padat penduduk.

Hal ini diungkapkan Achmad Ridha Junaid, Biodiversity Officer Burung Indonesia. Selain ruang hidupnya kian menyusut, katanya, menurunnya populasi burung elang bondol di Ibukota Indonesia itu juga dinilai karena perburuan liar masih marak. Bahkan, di marketplace masih banyak ditemukan anakan burung elang yang diperjualbelikan.

Kondisi tersebut, lanjut dia, berbeda dengan 10-15 tahun lalu. Ketika itu, pada saat dia melakukan pengamatan di pesisir Jakarta, ia masih kerapkali menjumpai burung dari subfilum vertebarata dari famili Accipitridae ini. Namun, seiring berjalannya waktu burung bersayap lebar ini semakin sulit ditemukan.

“Keberadaan elang bondol ini kan salah satunya bergantung pada pohon bakau. Jika pohon bakaunya berkurang karena tergantikan oleh pembangunan-pembangunan. Maka, dimana mereka akan tinggal? Bisa jadi mereka bergeser ke pulau-pulau yang minim dengan aktifitas manusia,” terang Ridha, pertengahan November 2023 lalu.

Ridha pun menyayangkan kian asingnya burung elang bondol di provinsi yang memiliki sebelas pulau itu. Sebab, jika dilihat dari segi peranannya, di alam burung elang bondol mempunyai tugas yang signifikan sebagai penyeimbang ekosistem yaitu sebagai puncak predator.

baca : Elang Bondol, Si Pemangsa yang Berwibawa di Udara

 

Untuk bisa terbang, burung elang bondol memerlukan prasyarat yaitu memanfaatkan udara panas yang terbentuk karena pemanasan udara oleh bumi. Foto: Ari Noviono

 

Sebagai City Branding

Terlebih, kata Ridha, sejak tahun 1989 burung yang memiliki nama ilmiah Haliastur indus ini bahkan sudah ditetapkan menjadi salah satu maskot kota terbesar di Indonesia itu.

Dipilihnya elang bondol sebagai city branding Jakarta ini bukan tanpa alasan, bila merujuk pada Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.1796 Tahun 1989 penetapan tersebut dikarenakan usia burung elang bondol ini bisa panjang, jangka waktu hidupnya bisa mencapai 70 tahun.

Alasan lainnya, karena elang bondol mempunyai karakter yang kuat dan tangguh, mampu mengarungi langit dalam berbagai kondisi cuaca, serta penguasa di udara.

“Dengan dijadikannya elang bondol sebagai maskot, barangkali kota ini diharapkan bisa menjadi kota yang tangguh, eksistensinya bisa terus dipertahankan,” imbuh dia.

Meskipun sudah ditetapkan sebagai maskot Jakarta sejak hampir empat dekade lalu. Namun, Diean Arjuna dan Waridah Muti’ah juga menilai, di kalangan masyarakat eksistensi burung elang bondol masih minim.

Kurang popularitasnya burung elang di masyarakat, terang akademisi dari Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Desain dan Seni Kreatif, Universitas Mercu Buana itu, dipastikan karena diakibatkan menurunnya populasi elang bondol di kawasan Jakarta sendiri.

“Dapat disinyalir sebagai dampak rusaknya habitat burung elang itu oleh pembangunan,” jelasnya dalam penelitiannya bertajuk Kajian Representasi Maskot DKI Jakarta “Elang Bondol” dalam Media (Studi Kasus “Momo”-Asian Para Games 2018).

baca juga : Elang Bondol: Sang Pemangsa Tersingkir oleh Hutan Beton Jakarta

 

Burung elang bondol bertengger di ranting kayu yang kering. Bak burung pemburu lainnya, indra penglihatan burung yang bersudut pandang 300 derajat ini selalu mengarah lurus ke depan memberikan pandangan binokuler. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dilain sisi, kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap maskot ini bisa juga diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi yang dilakukan melalui representasi maskot ini dalam objek desain yang dekat dengan masyarakat.

Padahal, sebelumnya eksistensi elang bondol ini pernah ditampilkan dalam tugu serta logo obyek yang berhubungan dengan publik, seperti transportasi umum TransJakarta. Selain itu, maskot ini juga pernah muncul dalam batik Betawi dan poster-poster perhelatan yang diadakan DKI Jakarta. Namun, sekarang ini maskot ini sudah jarang ditampilkan dalam desain ranah publik.

“Terakhir, representasi terbaru hewan ini adalah sebagai Momo, maskot dalam perhelatan Asian Games 2018 lalu,” terang mereka.

 

Langkah Pelestarian

Sementara itu, saat dihubungi Tresna Noviandi, Kepala Resort Pulau Kotok Besar, Taman Nasional Kepulauan Seribu mengatakan, menyadari pentingnya keberadaan elang bondol baik dari segi lingkungan maupun sebagai maskot, bersama berbagai stakeholder pihaknya telah melakukan berbagai upaya penyelamatan.

Program penyelamatan dan rehabilitasi elang ini dilakukan di Pulau Kotok Besar yang masih masuk dalam zona pemanfaatan wisata Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS), DKI Jakarta.

Lanjut Tresna, upaya konservasi tersebut dilakukan sejak tahun 2015. Hingga sekarang burung hasil rehabilitasi yang berhasil dilepasliarkan sudah mencapai 91 ekor. Rinciannya, 77 ekor diantaranya yaitu burung elang bondol, sedangkan 14 ekornya adalah burung elang laut.

“Burung yang direhabilitasi berasal dari penyerahan masyarakat maupun dari hasil sitaan dari wilayah Tangerang, Jakarta juga Bekasi,” jelas dia, belum lama ini.

baca juga : Elang, Penguasa Langit yang Terancam Perburuan

 

Sekelompok burung elang bondol. Foto : Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Untuk saat ini, kata dia, masih ada sekitar 40-an ekor di kandang rehabilitasi. Kondisinya, sebagian memang sudah tidak bisa dilepasliarkan lagi. Hal ini dikarenakan kondisinya sudah cacat permanen saat diserahkan oleh masyarakat, dan ini sudah tidak bisa disembuhkan lagi.

Sosok pria yang pernah bertugas di Taman Nasional Komodo ini meneruskan, untuk rehabilitasi ini prosesnya juga tidak mudah, harus melalui beberapa mekanisme yang ketat.

Pertama, burung hasil sitaan maupun penyerahan dari masyarakat ini terlebih dulu dimasukkan di kandang karantina untuk diperiksa kesehatannya baik itu dari sisi fisik maupun medis melalui pengambilan sampel darahnya.

Kedua, bila kondisinya sudah dipastikan sehat dan tidak berpenyakit elang kemudian akan ditempatkan di kandang observasi untuk diamati prilakunya. Setelah diketahui perilakunya, tahap berikutnya baru elang dipindahkan ke kandang rehabilitasi.

“Karena burung-burung elang yang akan direhabilitasi ini kan umumnya sudah ketergantungan pada manusia baik itu prilaku makan juga cara terbangnya. Sehingga prilaku liarnya perlu dikembalikan,” katanya.

Untuk itu, melalui kandang rehabilitasi ini perilaku terbang, cara makan maupun berburu perlahan di rubah dari ketergantungan menjadi liar kembali. Sedangkan, untuk mengembalikan perilaku selayaknya satwa liar lain ini memerlukan waktu yang cukup lama, minimal setahun.

Apabila perilakunya sudah baik, baru elang akan dihabituasi di habitat aslinya, lalu kemudian dilepasliarkan. Sebelumnya, tempat yang akan digunakan untuk pelepasliaran terlebih dulu disurvei, dilihat bagaimana ketersediaan pakan juga habitatnya.

“Selain rehabilitasi, kami juga rutin melakukan patroli di kawasan,” pungkas dia.

 

Exit mobile version