Mongabay.co.id

Jelang Debat Capres: Bagaimana Keseriusan Para Kandidat untuk Reforma Agraria?

 

 

 

 

 

 

Debat calon presiden dan wakil presiden mulai Selasa (12/12/23) yang akan membahas tema ‘hukum, hak asasi manusia (HAM), pemerintahan, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi.’  Kalangan organisasi masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pesimis kalau melihat visi-misi para kandidat yang akan ‘berkontes’ belum menunjukkan langkah progresif dalam menanggapi masalah agraria yang banyak menimbulkan masalah HAM di negeri ini.

Ada lima catatan KPA terkait visi-misi para kandidat. Pertama, para kandidat belum menempatkan reforma agraria sebagai landasan utama pembangunan nasional bidang agraria dan pedesaan. Padahal,  cita-cita keadilan dan kedaulatan agraria mewujud di dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan diterjemahkan lebih jauh melalui UU Pokok Agraria tahun1960.

“Seharusnya para kandidat memiliki visi-misi mengembalikan agenda reforma agraria sesuai aspirasi rakyat. Untuk mewujudkan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa atas sumber-sumber agraria,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam konferensi pers Menuju Debat Capres-Cawapres,  Senin (11/12/23).

Kedua, para kandidat belum menempatkan reforma agraria sebagai peta jalan penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan pemulihan hak atas tanah bagi petani.

KPA menilai, hak atas tanah untuk kaum petani dan rakyat kecil belum jadi bagian dari pemenuhan dan pemulihan HAM.

Krisis agraria di Indonesia sarat dengan konflik, perampasan tanah, penggusuran dan jatuh korban. Tidak heran ribuan konflik meletus di masa pemerintahan Joko Widodo dan jadi warisan pemerintahan selanjutnya.

“Para kandidat harus mengubah paradigma ekonomi-politik agraria nasional hingga hak rakyat atas tanah sebagai hak konstitusional dapat dijamin sepenuhnya oleh negara,” katanya.

Ketiga, reforma agraria yang diusung kandidat masih memandang urusan sebatas tanah, ditempatkan sebagai program terpisah dari kebijakan di bidang pangan, pertanian dan kesejahteraan petani.

 

 

Sumber: Tekad Garuda

 

Berdasarkan hasil sensus pertanian 2023, lanjut Dewi, petani gurem bertambah menjadi 16,89 juta rumah tangga petani dari sebelumnya 14,25 juta pada 2013. Data BPS juga menunjukkan selama periode 2014-2019 terjadi penyusutan lahan pertanian hingga 1 juta hektar akibat konversi lahan.

“Guremisasi petani menunjukkan, agenda reforma agraria gagal dilaksanakan, sebab dijalankan parsial dan sempit, bukan untuk mengangkat derajat hidup petani,” kata Dewi.

Keempat, reforma agraria mustahil jika tanpa kelembagaan pelaksana yang otoritatif dan bersifat lintas sektor, langsung dipimpin presiden. Hal ini tidak disinggung oleh masing-masing kandidat.

Pengalaman selama hampir satu dekade kebijakan reforma agraria menyimpulkan, kalau hanya dipimpin otoritas setingkat menteri koordinator dan menteri lain telah menyebabkan tujuan tidak jalan. “

“Idealnya, reforma agraria secara nasional harus dipimpin langsung presiden dengan membentuk Badan Otorita Reforma Agraria.”

Kelima, rencana reforma agraria dalam visi-misi para kandidat tidak konsekuen dan konsisten, masih lip-service dan kontradiktif dengan rencana pembangunan lainnya.

Menurut Dewi, reforma agraria hanya seperti pemanis atau tempelan program untuk menarik pemilih utamanya dari kaum tani dan gerakan sosial.

Sebab, banyak agenda-agenda pembangunan yang kontra-produktif bagi reforma agraria dalam dokumen visi-misi para kandidat.

Salah satunya, masih ada kebijakan food estate dan contract farming, sampai melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang kontroversial dengan pemberian 190 tahun HGU dan 160 tahun HGB.

KPA juga mengkritisi program sertifikasi tanah sebagai agenda reforma agraria, bukan mengoreksi ketimpangan dan penuntasan konflik agraria. Ada juga bank tanah yang dinilai sebagai mesin konsolidasi tanah untuk kepentingan investor dan menyelewengkan agenda reforma agraria.

“Atas dasar itu kami mengingatkan kembali pada presiden-wakil presiden dan DPR yang terpilih untuk menempatkan agenda reforma agraria sebagai landasan pembangunan nasional.”

Untuk mewujudkan hal itu, ada empat agenda pembaruan agraria penting berjalan oleh para pemimpin terpilih nanti. Yaitu meluruskan dan mengoreksi paradigma kebijakan praktik reforma agraria di nasional, reformasi kelembagaan bidang agraria-sumber daya alam. Juga, reformasi sistem administrasi tanah dan sumber daya alam. Juga, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan yang memperjuangkan hak atas tanah di wilayah hidup mereka.

 

Warga Desa Dukuh, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, protes rencana kehadiran tambang emas di wilayah mereka. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tidak berpihak pada masyarakat

Agenda debat capres-cawapres untuk pemilu 2024-2029 yang pertama tidak menyinggung tema agraria dan sumber daya alam secara spesifik. Namun, masalah politik dan hukum yang jadi agenda debat pertama ini memiliki keterkaitan erat dengan masalah di sektor agraria dan sumber daya alam.

Arman Muhammad, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat dihubungi Mongabay menyebut,  para kandidat tak cukup kuat menunjukkan keberpihakan pada masyarakat adat dan penyelesaian konflik agraria maupun sumber daya alam. Kondisi ini, katanya,  bisa terlihat dari isu hukum yang tidak menyinggung pencabutan Undang-undang Cipta Kerja.

“Karena kita tahu Undang-undang ini mengancam keberadaan dari masyarakat adat dan lokal, serta pembuatannya pun tidak melibatkan partisipasi mereka yang bisa terdampak,” katanya.

Arman menyerukan,  isu hukum dan HAM bisa memberi ruang pembahasan terhadap masyarakat adat yang selama ini sulit mendapat pengakuan secara legal. Kondisi ini karena urung lahir Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Akibatnya, masyarakat adat di pedesaan dan wilayah marjinal kerap menjadi korban atas kegiatan perekonomian negara mulai dari perkebunan hingga pertambangan.

Dalam catatan AMAN, sepanjang 2023, terjadi 50 kasus melibatkan perampasan wilayah adat dan berkelanjutan.

“Padahal, Indonesia sudah banyak meratifikasi hukum internasional juga yang memastikan hak-hak masyarakat adat,” kata Arman.

Bagi Dewi, melihat tidak ada yang berarti dari visi-misi capres dan cawapres bukan berarti harus mengendurkan perjuangan.

Semangat mendorong perubahan kebijakan akan terus dilakukan untuk mengantisipasi ancaman tinggi dari UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya.

“Salah satunya, mendorong RUU Reforma Agraria yang sudah kita suarakan lama.”

Proyek pembangunan calon istana kepresidenan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Foto: Muhammad Razil Fauzan

 

******

 

Exit mobile version