Mongabay.co.id

Produk Turunan Hiu-Pari Marak Diperjualbelikan

 

Sebuah iklan terbaca jelas di sebuah group Facebook, 12 Oktober 2022 lalu. GIGI HIU, sang pemilik akun tengah mencari tulang gigi hiu dalam jumlah besar. Ia bahkan berani membeli dengan harga tinggi.

Sontak, hanya dalam hitungan jam, tawaran GIGI HIU itu langsung disambut anggota grup lain. Mereka yang mengaku memiliki barang mencoba bernegosiasi. Ada juga yang menawarkan sirip hiu dan pari dari berbagai jenis dan ukuran. Setelah itu, obrolan berlanjut melalui perpesanan langsung (inbox).

Adanya perbincangan itu seolah menegaskan bahwa praktik perdagangan hiu dan produk turunannya tak pernah mati. Melalui ruang-ruang media sosial, jual beli produk turunan spesies yang terancam punah tersebut jaman ditemui, sejalan praktik yang terjadi di lapangan.

Penelusuran Mongabay mendapati bahwa penangkapan hiu dan pari terjadi hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Seperti Laut Jawa, Maluku hingga Papua. Hiu-Pari yang sebagian masuk dalam Apendix CITES itu kemudian dikirim secara rutin ke beberapa pelabuhan di sepanjang Pesisir Jawa. Seperti di PPN Brondong, Lamongan; PPP Tasikagung, Rembang serta PPP Tegalsari, Tegal.

Masalahnya, sebagian hiu-pari yang ditangkap merupakan spesies lindung. Seperti hiu martil (Sphyrna lewini), hiu lanjaman (Carcharhirus falciformis), Pari Kikir (Rhina ancylostoma), Pari Lontar/Pari Liongbun (Rhyncobatus sp), Pari Gitar (Glaucostegus typus), Pari Sungai Tutul (Himantura oxyrhincha) dan beberapa jenis lain.

baca : Ini yang Dilakukan Pemerintah Lindungi Hiu dan Pari Terancam Punah

 

Dompet berbahan kulit pari buatan Ardiyansyah di Rembang, Jateng. Ia banyak mengirim kulit pari ke luar negeri. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Di Lamongan, ada beberapa pemain yang secara rutin memperdagangkan hiu pari. Mereka adalah H. Arif, Wawan dan juga Rizal. Tingginya nilai ekonomi menjadikan ketiganya tetap melakoni bisnis ini, kendati mengancam konservasi.

Wawan, salah satu pengepul mengaku mengirim rutin daging dan sirip pari ke Surabaya. Namun, karena belum memiliki dokumen kelengkapan, pengiriman dilakukan dengan menggunakan bendara orang lain. “Lewat orang lain, karena kan tidak bisa kalau tidak punya izin,” katanya saat ditemui di pelabuhan.

Wawan bilang, untuk sirip biasa ia jual hingga Rp1,2 juta per kilonya, bergantung ukuran. Sedangkan kulit, dijual kiloan atau lembaran untuk dimanfaatkan berbagai produk siap pakai. Seperti dompet, ikat pinggang, hingga tas.

Mongabay sempat menemui Ardyansyah, salah satu pengepul, sekaligus perajin dari bahan kulit pari yang tinggal di Rembang, Jawa Tengah. Ia mengaku sudah hampir 10 tahun ini melakoni bisnis tersebut. “Tidak banyak pemainnya,” katanya. Bahan-bahan kulit pari ia peroleh dari berbagai tempat. Termasuk Lamongan.

Ardyansyah mengatakan, di antara beberapa spesies yang ada, spesies pari duren adalah yang paling dicari. Pari ini dicirikan dengan permukaan kulitnya yang penuh oleh bebatauan (mutiara) di seluruh bidang kulit. Oleh para perajin, batu-batu itu biasanya dipoles agar mengkilap. Tidak mengherankan bila kulit pari jenis ini merupakan yang paling mahal dibanding pari jenis lain.

Ia mengungkapkan, setiap satu lembar dengan ukuran 22 inci misalnya, bisa mencapai Rp800 ribu. Pun demikian dengan produk jadinya. Satu buah dompet berukuran kecil bisa laku Rp500 ribu. Sebuah produk mebeler yang dilapisi kulit bahkan pernah laku hingga Rp45 juta.

Namun demikian, ada juga beberapa jenis kulit pari yang dijual kiloan. Seperti Pari Macan, Pari Sapi. Ardiyansyah mengaku, beberapa produk kulit parinya dijual hingga ke Tiongkok, Asia Tengah. Ia bahkan memiliki buyer tetap asal negeri Tirai Bambu itu.

baca juga : Perburuan Hiu-Pari yang Tak Pernah Mati

 

Tulang hiu dan pari yang dikeringkan sebelum dijual ke eksportir. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Namun demikian, aktivitas ekspor tidak ia lakukan sendiri karena belum memiliki dokumen kelengkapan seperti Certificate of Origin (CoO). Ia membayar jasa eksportir untuk membawa produknya keluar negeri. “Urus sendiri prosesnya lama dan ribet. Saya sewa jasa forwarder, bisa layani kiloan maupun tonase”.

Selain mengekspor sendiri, lelaki asal Kabupaten Blitar ini juga memasok beberapa pengusaha kulit pari untuk di ekspor. Dua di antaranya berada di Cilacap dan juga CV. KD yang berlokasi di Kabupaten Pasuruan.

‘Saya rutin mengirim ke sana. Bisa sampai 300 lembar per bulan, kebetulan CV ini ambil mentahan, bukan barang jadi,” katanya. Bahkan, beberapa hari sebelum wawancara dilakukan, Ardyansyah juga mengirim pari duren dan pari macan dalam bentuk hard skin.

Dikatakan Ardiyansyah, beberapa negara Asia memang menjadi tujuan ekspor kulit pari. Tak terkecuali Jepang yang menjadi salah satu pasar terbesar di Asia. Kulit-kulit pari itu diolah untuk dimanfaatkan sebagai aksesoris atau sarung pedang samurai.

Selain Indonesia, beberapa negara lain yang tercatat sebagai pemain besar kulit pari antara lain Thailand dan juga Vietnam. Bahkan, sebagian komoditas yang diekspor melalui Thailand, kata Ardiyansyah, dipasok dari Indonesia karena keterbatasan sumber daya.

Ardiyansyah menepis bila sebagian kulit pari yang diperdagangkannya termasuk dalam kategori lindung. Ia mengaku hanya memanfaatkan kulit pari non lindung. Karena itu, ia pun menepis bila usaha yang dijalankannya dapat mengancam masa depan spesies pari.

“Semua yang kami manfaatkan masih boleh (untuk ditangkap, Red). Kalau lindung, saya tidak berani,” ujarnya. Meski begitu, Ardyansyah tak mengelak kemungkinan terjadinya kebocoran disana-sini.

baca juga : Mencari Formula Efektif untuk Pengendalian Perburuan Hiu dan Pari

 

Tulang hiu dan pari yang dikeringkan sebelum dijual ke eksportir. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Dikatakan Ardiyansyah, perairan Laut Jawa memang menjadi salah satu habitat ikan pari. Laut yang tak terlalu dalam hingga tertembus cahaya matahari dinilainya cocok bagi ikan pari yang menggemari dasar laut berlumpur. Karena itu, tidak mengherankan bila kegiatan pendaratan pari di pelabuhan-pelabuhan di sepanjang Pantura Jawa begitu marak.

Bahkan, beberapa pengepul di tempat lain, seperti Cilacap, Yogyakarta, menurut Ardiyansyah mendapat pasokan dari Pantura ini. “Karena kalau di laut selatan, kondisi perairannya banyak palung, sehingga sulit dijangkau nelayan,” jelasnya.

Ardyansyah mengatakan, untuk kulit, ada dua tipe yang biasa dijualnya: mentah dan setengah jadi. Untuk setengah jadi, ia bisa menjual hingga 250 lembar setiap bulannya untuk yang jenis premium.

Selain dirinya, ada beberapa temannya yang juga melakoni bisnis ini. Di Yogyakarta, seorang koleganya sempat menjual satu unit meja dengan aksesoris kulit pari ke Jepang. “Cuma Karena bahan sulit, saya yang memasok bahan ke dia,” katanya tanpa menyebut nama koleganya dimaksud.

Menurut Ardiyansyah, tidak semua pari bisa dipakai untuk kerajinan. Ia bilang, dari ratusan jenis pari, hanya ada 8-10 jenis pari yang ia tahu bisa dimanfaatkan karena memiliki tekstur kulit yang kuat.

Beberapa di antaranya pari batu halus, cingir atau betina, mondol, duri, duren, macan, pari sapi, pari dadap, pari kikir. “Cuma itu (pari kikir) dilindungi. Jadi kalau mau kirim, pake dokumen CITES ,” ujarnya.

Menurut Ardyansah, para pembeli menyukai produk bahan pari karena kekuatannya. Lebih kuat dibanding kulit sapi. Saking kuatnya, bahkan bisa bertahan hingga puluhan tahun. Orang-orang zaman dulu memakai kulit pari untuk kertas gosok.

baca juga : Ada Apa dengan Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia?

 

Tulang hiu dan pari yang dikeringkan sebelum dijual ke eksportir. Foto : A Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Di sisi lain, dompet dari kulit pari bukanlah satu-satunya produk turunan yang banyak diperjualbelikan. Tetapi, ada juga tulang hiu.

Di Pasuruan, seorang pengepul banyak menerima pasokan tulang hiu dan pari dari berbagai tempat di Jawa Timur. Olehnya, tulang belulang itu kemudian dikeringkan sebelum akhirnya dikirim ke eksportir.

Kasinah, salah satu pengepul tersebut mengaku semua jenis tulang hiu ia terima. Namun begitu, ia tak tahu pasti menahu untuk apa tulang-tulang itu dibeli. “Hampir sebulan sekali kirim,” jelas perempuan yang sudah puluhan tahun melakoni bisnis ini. Ia menolak menyebutkan nama atau lokasi pengiriman dimaksud.

Peneliti Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI), Okta Tejo Darmono mengatakan, para pelaku acapkali memanfaatkan  celah regulasi untuk memperdagangkan spesies yang terancam punah ini. “Karena pengawasan di lapangan, terutama di jalur rantai pasok juga lemah,” jelas Tejo, sapaannya.

Pejabat Loka SPL Serang, Anjar Rusdi mengakui maraknya perdagangan hiu pari, berikut produk turunannya. Namun demikian, ia menyebut bila tidak semua hiu pari yang dimanfaatkan masuk kategori lindung.

Rusdi katakan, Permen KKP Nomor 61 Tahun 2018 pun telah mengatur ketat bagi pelaku usaha yang ingin memanfaatkan hiu pari. Termasuk, mewajibkan pelaku usaha memiliki izin pemanfaatan jenis ikan (SAPJI) dan surat angkutan jenis ikan (SAJI). ‘Untuk yang tidak dilindungi, tetap memerlukan rekomendasi guna memastikan ketelusurannya,” jelas dia. (*)

 

Exit mobile version