- Sejak lama Indonesia dikenal sebagai negara produsen hiu dan pari dalam jumlah banyak. Setiap tahunnya, produksi hiu dan pari berlangsung di hampir seluruh Indonesia dengan menjadikan produk turunan dan olahan seperti sirip hiu kering
- Produksi hiu dan pari tersebut, kemudian diperdagangkan secara bebas ke pasar domestik dan internasional melalui jalur ekspor. Negara yang menjadi tujuan utama, di antaranya adalah Cina, Singapura, Hong Kong, Sri Lanka, dan Taiwan
- Di sisi lain, perburuan yang tak terkendali juga bisa mengancam keberlanjutan populasi kedua spesies tersebut, karena saat ini jumlahnya terus menyusut dari tahun ke tahun. Saat ini, sebanyak 36 persen dari lebih 1.200 spesies hiu dan pari sudah terancam punah
- Untuk mengendalikan penurunan populasi hiu yang sudah mencapai 71 persen sejak era 1970-an, Pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2021. Namun, regulasi tersebut juga belum memperlihatkan hasil maksimal
Perlindungan spesies hiu dan pari menjadi fokus yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam lima tahun terakhir ini. Upaya tersebut didukung oleh regulasi yang kuat dan dilaksanakan lintas instansi yang ada. Salah satu tujuannya, agar pemanfaatan hiu dan pari bisa dikendalikan lebih baik lagi.
Di antara regulasi yang dinilai ikut mendukung upaya perlindungan tersebut, adalah Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2021 tentang Kuota Pengambilan untuk Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi Terbatas Berdasarkan Ketentuan Nasional dan Jenis Ikan dalam Appendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora.
Namun demikian, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mendapatkan fakta bahwa pengendalian pemanfaatan hiu dan pari, khususnya hiu, masih belum berjalan baik. Hal tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya perburuan hiu oleh nelayan di kawasan perairan Laut Aru.
Koordinator DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, dalam kurun waktu selama tiga tahun dari 2018 hingga 2020, Laut Aru berhasil memproduksi sirip hiu kering hingga sebanyak 56 ton. Jumlah tersebut dicatat secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Rincinya, setiap tahun Laut Aru menghasilkan produksi sirip hiu kering sebanyak 18,6 ton dengan ukuran beragam. Jumlah produksi tersebut ditaksir bisa menghasilkan nilai ekonomi sekitar Rp11,3 miliar dan akan terus bertambah lagi nilainya jika volume produksi juga meningkat.
“Volume dan nilai ini sirip hiu akan bertambah tinggi jika menambahkan transaksi perdagangan lainnya seperti daging, kulit, tengkorak, dan rahang hiu,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.
baca : Ada Apa dengan Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia?
Faktanya, dalam tiga tahun terakhir memang volume produksi untuk daging, kulit, tengkorak, dan rahang hiu memang mencapai angka fantastis, yakni hingga 805 ton. Angka tersebut semakin besar lagi jika ditambahkan dari hasil eksploitasi dan penangkapan ikan Pari Kikir atau Kekeh.
Dalam kurun waktu tiga tahun antara 2018-2020, produksi Pari Kikir di Laut Aru sudah mencapai angka 7,5 ton. Angka tersebut menegaskan bahwa eksploitasi terhadap pari juga terus berlangsung, bersamaan dengan eksploitasi hiu.
“Angka eksploitasi hiu dan pari akan lebih tinggi jika ditambahkan dengan kegiatan penangkapan hiu yang tidak dilaporkan,” tambah dia.
Moh Abdi Suhufan menerangkan, masih tingginya kegiatan eksploitasi dan penangkapan hiu di Kab Kepulauan Aru, disebabkan karena masih ada perizinan kegiatan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku kepada kapal-kapal rawai (longline) pencari hiu berukuran di bawah 30 gros ton (GT).
Lebih parahnya lagi, kapal-kapal yang mendapatkan izin untuk melaksanakan penangkapan hiu tersebut, masih mendapatkan kebebasan untuk melakukan produksi sesuai jumlah yang mereka inginkan. Ketiadaan sistem kuota penangkapan tersebut membuat laju eksploitasi semakin sulit untuk dikendalikan.
Selain tidak ada kebijakan sistem kuota, eksploitasi hiu semakin sulit dibendung karena nelayan lokal yang menangkap hiu dan pari biasanya tidak menetapkan target khusus spesies tertentu. Demikian juga, alat penangkapan ikan (API) yang digunakan adalah rawai dasar dan jaring dasar tetap.
Bagi dia, ketiadaan target khusus spesies hiu dan pari yang ditangkap, juga menjadi salah satu kendala bagi otoritas terkait saat melaksanakan penelusuran (tracing) jenis hiu yang ditangkap oleh para nelayan. Biasanya, saat ditelusuri, hiu yang didaratkan sudah dalam kondisi tidak utuh.
baca juga : Kisah Sebenarnya di Balik Kabar Hiu dan Pari yang Sempat Viral
Menurut Moh Abdi Suhufan, para nelayan yang biasa menargetkan hiu sebagai buruan, adalah mereka yang berasal dari sekitar Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka menangkap dengan menggunakan kapal ikan berukruan 5 GT hingga 20 GT.
Para nelayan bersama kapal mereka biasanya bersandar di perairan sekitar Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru. Dalam berburu hiu, mereka biasanya akan mendatangi pusat penangkapan ikan di sekitar Suaka Alam Perairan (SAP) Aru bagian Tenggara, sekitar pulau Babi, dan Perairan Aru bagian utara.
Selain fakta perburuan, DFW Indonesia juga menyoroti komitmen Pemerintah Indonesia dalam mengendalikan penangkapan hiu dan pari. Menurut mereka, kebijakan pendukung untuk pengendalian perburuan hiu dan pari dinilai masih belum efektif sampai sekarang.
Meskipun, ada dua kebijakan dan regulasi yang diterapkan untuk mendukung pengendalian penangkapan hiu dan pari. Keduanya adalah Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi dan Pengelolaan hiu dan Pari 2016-220, serta Kepmen KP 21/2021.
Regulasi Efektif
Menurut Peneliti DFW Indonesia Asrul Setyadi, penilaian tidak efektif muncul, karena dokumen RAN 2016-2020 tidak memuat secara lengkap peran dan tanggung jawab para pihak yang berkaitan, kerangka waktu, dan pendanaan yang rinci.
“Sehingga sulit untuk mengevaluasi pelaksanaannya. Akhirnya, setelah berakhir pada 2020, belum ada dokumen RAN terbaru yang dirilis oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan,” jelas dia.
Di sisi lain, kehadiran Kepmen KP 21/2021 juga menjadi angin segar di tengah kebuntuan pengendalian penangkapan hiu dan pari. Regulasi tersebut menjadi inisiatif dan sekaligus terobosan yang dilakukan KKP untuk mengendalikan penangkapan dua spesies berharga tersebut.
Bagi Asrul Setyadi, implementasi Kepmen KP 21/2021 akan menghadapi tantangan pada aspek pengawasan dan pencatatan hasil produksi yang berasal dari nelayan. Selama ini, tahapan tersebut yang masih sulit dilakukan oleh petugas pengawasan dan pencatatan.
“Petugas kesulitan melakukan identifikasi jenis hiu yang ditangkap dan sudah diolah,” terang dia.
baca juga : Kemampuan Identifikasi Jadi Kunci Penyelamatan Hiu dan Pari di Alam
Kemudian, hal lain yang juga masih dinilai belum bagus, adalah tentang besaran dan penentuan kuota penangkapan kepada provinsi yang dinilai belum proporsional. Misalnya, Provinsi DKI Jakarta yang diketahui mendapatkan kuota terbanyak di antara provinsi lain di Indonesia.
Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat, karena Asrul Setyadi menilai kalau potensi dan penangkapan hiu yang dilakukan DKI tidak dilaksanakan di wilayah perairan laut mereka. Kondisi tersebut bisa dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk mendatangkan hasil tangkapan dari luar Jakarta dan menetapkannya sebagai data di Jakarta.
Dengan fakta-fakta di atas, dia menduga bahwa upaya pengendalian melalui Kepmen 21/2021 tersebut adalah cara KKP untuk mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemberian kuota tangkap. Jika memang benar dugaan tersebut, maka sangat disayangkan, karena dampak eksploitasi akan menyebabkan kerugian sangat besar dan tidak sebanding dengan pemasukan PNBP.
Fakta lainnya, Asrul Setyadi menyebutkan kalau patroli pengawasan terhadap pemanfaatan hiu dan pari di Kabupaten Kepulauan Aru yang dilakukan oleh petugas Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, hingga saat ini masih belum maksimal.
“Anggaran pengawasan terbatas, operasional kapal patroli PSDKP hanya 42 hari dalam setahun. Dibanding luas wilayah penangkapan WPP 718 dan keberadaan SAP Aru bagian Tenggara yang memerlukan pengawasan intensif, ini merupakan hal yang memprihatinkan,” pungkas dia.
perlu dibaca : Diantara Pasar dan Jaminan Kebijakan: Mencermati Ancaman Eksistensi Hiu dan Pari di Indonesia
Terpisah, Shark and Ray Conservation Specialist WWF Indonesia Ranny R Yunaeni menerangkan kalau populasi hiu dan pari secara global memang telah mengalami penurunan hingga 71 persen sejak 1970-an. Sementara, saat ini sebanyak 36 persen dari lebih 1.200 spesies hiu dan pari juga sudah terancam punah.
Di Indonesia, jenis hiu dan pari yang biasa diburu nelayan dan kemudian diperdagangkan secara bebas, mencakup semuanya atau sebanyak 117 jenis hiu dan 106 pari. Semua jenis tersebut dimanfaatkan untuk menjadi produk turuan dan bentuk olahan lainnya.
Adapun, perburuan masih banyak dilakuan di seluruh daerah yang mewakili 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), terutama di lokasi yang menjadi pengepul besar. Adapun, WWF memberikan dukungan data kepada KKP di Muncar dan Lamongan (Jawa Timur), Bangka Belitung, Berau (Kalimantan Timur), Bali, dan Teluk Bintuni (Papua Barat).
Sementara, untuk sentra produksi hiu dan pari ada di setiap WPPNRI, dan khususnya di Pantai Pantura, Muncar, Lamongan, Tanjung Luar (Nusa Tenggara Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Sungai Kakap (Kalimantan Barat), Aceh, dan daerah lainnya.
“Masih banyak di daerah-daerah, ada yang menurun maupun meningkat saat pandemi COVID-19,” jelas dia.
Menurut Ranny R Yunaeni, pemanfaatan masih dilakukan sebagai tangkapan target dengan API jenis rawai, dan juga sebagai tangkapan sampingan (bycatch) dengan API jenis gillnet, purse sein, dan sebagainya.
“Walau bisa juga sebaliknya target menjadi bycatch, bycatch menjadi target, dan pemanfaatannya digunakan untuk pemanfaatan dalam dan luar negeri dalam bentuk banyak produk olahan,” tambah dia.
Produk yang dihasilkan dari hiu dan pari, sebagian besar diperdagangkan ke luar negeri, dengan negara tujuan utama seperti Cina, Hong Kong, Sri Lanka, Singapura, dan Taiwan. Kemudian, ada juga Brasil, Spanyol, Italia, Portugal, dan Uruguay yang mengimpor dari Indonesia.
baca juga : Penelitian Ungkap Pengaruh Penangkapan terhadap Populasi Pari Kekeh di Alam
Masih terus berlangsungnya perburuan hiu dan pari hingga sekarang, bisa menjadi indikator bahwa kesadaran masyarakat pesisir terhadap dua spesies tersebut belum bagus. Meski sudah ada peningkatan, namun terus menurunnya populasi hiu dan pari, bisa menjadi indikator bahwa perubahan belum banyak terjadi.
Menurut Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan (P2O LIPI) Fahmi, sosialisasi masih harus terus dilakukan dan ditingkatkan, agar kesadaran masyarakat pesisir juga terus meningkat. Khusus untuk daerah yang biasa menangkap hiu dan pari sebagai target, sosialisasi harus lebih giat lagi dilakukan.
“Dengan tujuan, agar bisa memberikan batasan-batasan pada nelayan, mana yang boleh ditangkap, dan mana yang tidak boleh, dan harus diatur ukuran tangkapannya,” sebut dia.
Seperti diketahui, Indonesia menjadi negara yang dikenal sebagai pusat biodiversitas dunia. Salah satu buktinya, adalah ditemukannya keragaman jenis hiu dan pari di perairan Indonesia, yakni sebanyak 117 jenis hiu dan 106 adalah pari.
Namun demikian, ancaman atas biodiversitas dan kelimpahan ini makin nyata karena tingginya eksploitasi dan penangkapan hiu dan pari. Salah satu perairan yang merupakan lokasi favorit penangkapan dan eksploitasi ikan hiu dan pari di Indonesia adalah laut Arafura (Aru).
Organisasi nirlaba The Wildlife Trade Monitoring Network (TRAFFIC) pernah merilis data tentang pemanfaatan hiu di dunia selama periode waktu 2007 hingga 2017. Dari data tersebut, Indonesia menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan hasil tangkapan mencapai 110.737 ton per tahun.
Terus meningkatnya perburuan hiu, bisa mengancam kesehatan ekosistem di laut. Hal itu, karena keberadaan hiu menandakan lingkungan di sekitar area jelajahnya dalam kondisi baik. Satwa kharismatik ini mengendalikan populasi hewan laut dalam rantai makanan, karena memangsa ikan-ikan karnivora. Itu akan menjamin terjaganya kelimpahan ikan-ikan kecil yang bisa dikonsumsi manusia.