- Dalam Simposium ke-3 Hiu dan Pari di Indonesia, terangkum riset terkait hiu dan pari dinilai makin berkembang, termasuk lokasi-lokasi baru.
- Sejumlah peneliti muda cukup mendominasi untuk mempresentasikan hasil penelitiannya tentang pari dan hiu dari berbagai lokasi di Indonesia
- Namun, di tingkat masyarakat, masih banyak berita tidak akurat yang cenderung bombastis tentang hiu dan pari, karena kurangnya pengetahuan, seperti tentang hiu air tawar di Sentani, Papua
- Simposium hiu dan pari selama 2 hari ini menghasilkan sejumlah rekomendasi dan kesimpulan seperti perlu peningkatan kolaborasi peneliti dan LSM, dan skema sharing informasi melalui jejaring hiu pari
Simposium ke-3 Hiu dan Pari di Indonesia yang digelar minggu kemarin dan berlangsung di tengah pandemi COVID-19 ini selain jadi etalase pengetahuan, juga cek fakta di balik kabar-kabar yang disebut viral.
Fahmi, peneliti oseanografi biologi LIPI yang fokus di hiu dan pari membagi sudut pandangnya tentang pengelompokkan jenis penelitian. Misalnya di riset berbasis sains tentang pemasangan internal acoustic tag pada hiu tikus pertama di dunia, untuk mengetahui posisinya di perairan.
Sedangkan penelitian diseminasi bisa dilakukan dengan poster misal dampak konsumsi sirip hiu. Ada juga penelitian berbasis pengukuran estimasi seperti jumlah populasi. Namun studi-studi ini kalah viral dengan kabar yang dibalut bumbu mistis di seputar hiu dan pari di Indonesia.
Ia mencontohkan dua hal. Pertama, kehebohan di media sosial sampai dipublikasikan di jurnal ilmiah akibat kurangnya akurasi dan verifikasi data. Sejumlah hiu ditemukan di dataran tinggi Sentani, Papua. Hal ini menurutnya diintepresentasikan beragam, misal terkait legenda masa lalu, adaptasi hiu laut jadi hiu air tawar. “Bahkan ada yang publikasi di jurnal, disebut hiu karang spesies baru. Setelah diricek, peliharaan nelayan dan terbawa banjir, ditemukan dalam keadaan mati,” kisah Fahmi.
baca : Hiu Ditemukan Pasca Banjir di Sentani, Apakah Hiu Langka Air Tawar?
Kehebohan lain, sebuah video viral tahun 2000-an, seekor pari mati nampak dibuat berdiri sehingga terlihat ada penampakan wajah ketika difoto. Konten yang beredar, seseorang yang dikutuk jadi pari karena seperti berwajah manusia. Hiu berwajah mirip manusia di NTT pada awal 2021, demikian judul disinformasi ini. Menurut Fahmi, ini bukti karena pengatahuan kurang, sehingga jarang yang bisa memberikan klarifikasi. Padahal semua pari jika difoto dari bagian bawah sesuai pose yang tepat, bisa menampakkan roman wajah.
Fahmi mengingatkan, untuk tujuan sains, data dan analisis harus akurat. Jika tujuannya untuk edukasi harus mengacu sumber valid. Sementara diseminasi, perlu akurasi didasari bukti ilmiah.
Prof. Ngurah N. Wiadnyana, Peneliti Utama Badan Riset Sumber Daya Manusia (BRSDM) KP yang beberapa kali jadi moderator simposium menyebut makin banyaknya ikan yang dilindungi bukan tanda keberhasilan karena harusnya tidak bertambah. Kalau daftar satwa dilindungi makin banyak artinya habitat dan populasinya makin kritis.
“Baru 10 spesies yang dapat perlindungan. Jangan sampai nambah lagi. Sinergi diperkuat. Juvenil dan anak-anaknya yang perlu dilindungi,” sebutnya.
Pembicara kunci simposium ini di antaranya Kepala BRSDM Sjarief Widjaja, dan CEO/Executive Director Yayasan WWF Indonesia Dicky P. Simorangkir, peneliti LIPI, Traffic, dan Global Shark Trend Team.
baca juga : Hiu Berwajah Mirip Manusia Ditemukan di Rote Ndao. Jenis Hiu Apa?
Peneliti Muda Hiu dan Pari
Sejumlah peneliti muda menyampaikan hasil risetnya dengan menarik. Pada hari ke-2 simposium, Sila Kartika Sari dari Mobula Project Indonesia membagi hasil riset sementara tentang penilaian mortalitas Pari Mobula pasca pelepasan langsung dari aktivitas perikanan. Riset masih berjalan, namun sudah bisa menunjukkan apa faktor yang mempengaruhi tingkat bertahan hidup pari yang kena jaring by-catch oleh nelayan.
Terlebih ada asumsi permintaan insang pari manta di perdagangan internasional.
Empat jenis mobula yaitu Mobula mobular, M. tarapacana, M. thurstoni, dan M. kuhlii belum dilindungi tapi sudah berstatus hewan terancam (endangered) dalam daftar merah IUCN. Pelepasan pasca by-catch menurutnya belum banyak dipahami. Seberapa tinggikah tingkat kematian yang terjerat jaring lalu dilepaskan kembali? Terutama jaring insang.
Variabel apa saja yang berpengaruh untuk ketahanan hidupnya pasca terjaring? Untuk menilai riset ini, pemasangan satelit tagging direncanakan pada10 sampel pari mobula di Selat Bali, hotspot pari mobula karena upwelling, pada November 2020 sampai saat ini. Peneliti mengikuti nelayan, kalau ada bycatch baru di-tagging.
Informasi yang dikumpulkan adalah lokasi memancing, durasi, panjang dan mata jaring, dan tagging. Estimasi waktu ketika dijerat sampai dirilis.
Sejauh ini, peneliti sudah pasang 5 tagging. Pertama, pada Mobula thurstoni, diduga kematiannya satu hari setelah dirilis pada 27 November 2020. Diduga tenggelam. Kedua, pari yang tercatat di data muncul di Laut Banda, diperkirakan selamat, karena pelepasan alat setelah 30 hari.
Tagging ketiga, tercatat muncul di Laut Sumbawa, namun sehari setelah pemasangan, diduga alat lepas. Ada juga sampel tagging yang bertahan lebih dari 60 hari, paling lama, tercatat di dekat Pulau Sempu, Jawa Timur.
Penelitian ini diharapkan bisa identifikasi habitat penting mobula, tingkat lulus hidup yang dilepaskan, dan praktik terbaik. Integrasi dengan praktik perikanan agar lulus hidupnya lebih tinggi. Misalnya memberi biaya kerusakan jaring bagi nelayan yang melepaskan dan melatih kecakapan nelayan agar melepas dengan efisien.
baca juga : Pari Kekeh dan Pari Kikir Kini Terancam Langka
Sebelumnya di hari pertama, ada Dia Marganita mewakili rekan-rekan penelitinya dari GAIA Conservation yang menyampaikan Studi Hasil Tangkapan Elasmobranchii Berdasarkan Alat Tangkap dan Kondisi Nelayan di Demaan, Jepara.
Gia mengingatkan tingginya pemanfaatan populasi hiu dan pari di Indonesia, sebuah data yang dikutip menyebutkan pada 2013 produksi mencapai 101.991 ton.
Karena itu, lokasi riset yang dilakukan tim ini di Jepara, karena menurut Gia belum pernah dilakukan. Pendataan mencatat ada sekitar 700 nelayan, dan wawancara dilakukan pada 70 orang pada 2018-2019. Hasilnya penangkapan tertinggi kawasan ini di Perairan Jepara 61%, Karimunjawa 18%, PLTU 9%, dan Laut Jawa 7%.
Alat tangkapnya jaring 59%, Arad 12%, dan bubu 27%, hiu dan pari kebanyakan by-catch. Biaya operasional nelayan antara Rp10 ribu-10 juta. Sedangkan pendapatan sekitar Rp40 ribu-13 juta, Kesimpulannya, ada 13 jenis hiu dan 9 jenis pari pernah tertangkap jaring dan arad.
baca juga : Populasi Turun Drastis, KKP Terbitkan RAN Konservasi Hiu
By-cacth Pari di Muncar
Peneliti muda lain, Muhammad Ghozaly Salim mewakili rekannya dari Mobula Project Indonesia mempresentasikan makalah berjudul Karakteristik dan Tren Perikanan Pari Mobula di Jawa Timur untuk Pengambilan Keputusan Pengelolaan.
Ghozaly menyebut ada ketimpangan, Pari Mobula belum dapat perlindungan penuh. Peraturan perlindungan hanya untuk 2 spesies mobula, dan ini akan mempengaruhi perlindungan.
Lokasi penelitiannya di Muncar, pelabuhan perikanan terbesar di Jawa Timur, karena lokasi penangkapan by-catch yang besar, dan ada permintaan daging untuk pasar lokal. Menurutnya hampir 90% dijualbelikan di sekitar Banyuwangi.
Peneliti memantau tren pendaratan, aspek kegiatan penangkapan, dan kaji aspek biologis, umur dan reproduksi. Metodeloginya adalah pendataan harian, identifikasi jenis, wawancara mendalam, dan analisis data dengan R.
Variasi spesies di Muncar kebanyakan 3 jenis. Namun data yang dikumpulkan pada 2019 tidak bisa keseluruhan, karena riset baru intens dilakukan akhir 2019-2020. Peningkatan pendaratan terjadi akhir tahun. Jenisnya Mobula alfredi, M. birostris, M. mobular, M. tarapacana, dan M. thurstoni.
Kebanyakan pari yang didaratkan belum matang secara seksual. Hampir tiap tahun ukurannya relatif sama. Kebanyakan betina. Sekitar 97% hasil tangkapan samping ini dari kapal kecil (1-2 GT) menggunakan jaring insang debgan target marlin dan tenggiri. Jumlah nelayan dinilai cukup banyak, sehigga tekanan makin besar pada populasi pari karena by-catch.
perlu dibaca : Pari Raksasa Langka Beratnya Ratusan Kilogram Dipotong-potong dan Dijual
Isu sup hiu juga masih populer. Salah satu kampanye yang pernah dicoba adalah WWF Sharkulator. Merupakan inisiasi WWF Global (sharks.panda.org) sebagai aplikasi web kalkulator terbaru untuk menghitung berapa banyak hiu yang bisa diselamatkan. Ketika orang memilih tidak mengonsumsi sup sirip hiu dengan memasukkan jumlah mangkuk sup sirip hiu yang tak jadi dimakan.
Berdasarkan riset, Shakulator dinilai dapat menjadi tools yang dapat menjadi dasar pertimbangan guna meyakinkan publik untuk tidak mengonsumsi sup sirip hiu.
Pada dasarnya kebanyakan konsumen tidak mengetahui asal-usul dan keterlacakan (traceability) produk hiu yang dikonsumsinya. Hiu dan pari dengan produktivitas lebih tinggi, dan populasinya yang tidak terancam punah dapat ditangkap secara berkelanjutan.
Karya terbaik
Simposium ke-3 Hiu dan Pari di Indonesia ini dihelat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Yayasan WWF Indonesia untuk mengumpulkan masukan ilmiah bagi kebijakan konservasi hiu dan pari di Indonesia.
Fahmi, peneliti LIPI di akhir simposium menyampaikan rangkumannya. Sebanyak 110 makalah yang masuk, namun yang dipresentasikan dalam 2 hari sebanyak 99 makalah. Sekitar 78 terkait hiu, 62 pari, dan 3 lainnya topik campuran.
Berdasar aspek pembahasan, aspek geologi dan ekologi mendominasi 53%, sosial dan ekonomi 23%, dan pengelolaan dan konservasi 22%. Variasi lokasi penelitian dinilai makin banyak seperti meneliti di Sumatera.
Dibanding simposium ke-2, ada 166 makalah tapi lebih fokus di lokasi Indonesia Tengah. Sedangkan simposium pertama ada 70 makalah.
Rangkuman pembahasan dari tema biologi-ekologi di antaranya topik didominasi penangkapan dari pendaratan hiu pari. Meningkatnya penelitian terkait genetik hiu pari, dan terdapat informasi hiu-pari perlindungan penuh di lokasi yang belum terdata di penelitian sebelumnya. Selain itu perlu ada kajian informasi habitat kritis yang mendukung pengelolaan konservasi.
Sedangkan di topik rumusan sosial ekonomi, penelitian tingkat pemanfaatan lebih banyak difokuskan pada jenis-jenis dalam CITES. Ada juga pemanfaatan hiu pari dalam keadaan hidup untuk aquaria.
Sementara di isu pengelolaan dan konservasi, rangkumannya adalah perlu ada pengukuran dalam manajemen pengelolaan untuk jenis hiu dan pari. Selain itu, DNA barcoding dalam pengawasan dan penegakan hukum, dan manfaat ekonomi lebih tinggi saat hidup dalam melindungi spesies dari pemanfaatan ekstraktif berlebih.
Rekomendasi simposium ini di antaranya perlu ringkasan yang bermuara pada dukungan riset dan pengukuran sehingga dapat digunakan KKP. Perlu peningkatan kolaborasi peneliti dan LSM, dan skema sharing informasi melalui jejaring hiu pari. Hal lain, fokus pada spesies prioritas sehingga penyebaran informasi hingga pelosok.
Aspek pemanfaatan juga perlu didetailkan sehingga alur pedagangan di sentra pendaratan lebih jelas. Juga perlu kajian habitat kritis terutama spesies yang terancam punah.
Ada juga pemilihan poster terbaik dan pemakalah terbaik. Lima makalah dan pembicara terbaik sepanjang simposium 2021 ini adalah Sihar Aditia dkk, dengan judul Penilaian Pertama Status Pari Gergaji di Laut Arfura menggunakan pengetahuan ekologi dari nelayan.
Kedua, Regina Rosa dkk, Assesment on the Domestic Utilization oh Hammerhead Sharks in Muncar Banyuwangi.
Ketiga, Adrianus Sembiring dkk, Hiu dalam Menu: Ketelusuran Menggunakan Teknik DNA Barcoding. Keempat, Muhammad Ichsan dan Herman, berjudul Perikanan Hiu Lanjaman di Kabupaten Aceh Barat Daya. Kelima, Sevia Tebay dkk, dengan judul Kajian Pemanfaatan Sosial Ekonomi Hiu dan Pari di Kabupaten Sorong Selatan dan Teluk Bintuni.