Mongabay.co.id

Mengendalikan Ancaman Konflik dari Pengelolaan Ruang Laut

 

Potensi konflik dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya laut menjadi salah satu ancaman yang bisa muncul kapan saja. Hal tersebut menjadi tantangan pengelolaan laut di Indonesia yang berpotensi akan terus meningkat dari waktu ke waktu.

Agar tantangan tersebut bisa dikendalikan dan dikelola dengan baik, maka diperlukan pengelolaan dan pemanfaatan laut secara bijak oleh semua orang. Tujuannya, agar segala manfaat dari laut bisa terus dirasakan oleh generasi yang akan datang.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Kusdiantoro belum lama ini mengatakan bahwa pengelolaan laut yang bijak bisa dilakukan melalui beragam cara. Salah satunya, adalah penggunaan teknologi data.

Penggunaan teknologi tersebut menjadi bagian dari perubahan kolektivitas data secara manual menjadi digital. Pembaruan tersebut dilakukan untuk kemudahan dan pengendalian pemanfaatan laut lebih baik dan cepat.

Selain digitalisasi, pengelolaan laut yang bijak juga dilakukan dengan mengendalikan perizinan setiap pemanfaatan ruang laut. Dia meyakini cara tersebut akan menjadi faktor terpenting dalam mengelola dan memanfaatkan laut.

Sebaliknya, dia meyakini jika tantangan pengelolaan laut semakin meningkat, maka potensi konflik yang baru akan meningkat juga. Jika itu sampai terjadi, maka ancaman terhadap kesehatan laut sudah tidak bisa dihindari lagi.

baca : Dua Kunci Pengelolaan Kelola Ruang Laut Nasional

 

Kawasan pencadangan konservasi laut Kolorai yang indah ini banyak memiliki potensi ikan dan biota lainnya. Sayangnya, saat ini terganggu dengan berbagai aktivitas penangkapan. Abrasi juga mengancam pulau ini. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Ada pun, upaya yang dilakukan Indonesia untuk mencegah munculnya konflik pada pengelolaan laut, adalah dengan melakukan pengalokasian kawasan konservasi, pemanfaatan sumber daya laut, dan jasa lingkungan pada ruang laut dengan berkelanjutan.

Prinsip keberlanjutan menjadi barometer, karena Pemerintah saat ini fokus melakukan penyelamatan ekologi laut secara kontinu dan itu membuat kegiatan seperti menjadi prioritas yang sangat penting. Untuk itu, aturan pengalokasian minimal 30 persen menjadi ketentuan mutlak dalam pengelolaan laut.

Aturan tersebut berlaku untuk kawasan konservasi dan preservasi bagi ekosistem penting yang ada di laut. Lalu, Pemerintah juga fokus untuk mengendalikan perizinan untuk setiap kegiatan pemanfaatan sumber daya dan jasa lingkungan pada ruang laut.

“Perizinan dasar ini mempunyai status hukum yang kuat. Tanpa kepemilikan izin dalam pemanfaatan ruang laut, maka semua perizinan kegiatan berusaha tidak dapat diproses,” ungkap dia.

Mengingat pentingnya pengelolaan laut secara bijak, Pemerintah menyiapkan perencanaan ruang laut dengan mengintegrasikan penggunaan maha data kelautan (ocean big data) dan neraca sumber daya laut (ocean account).

Kusdiantoro menyebut, neraca sumber daya laut menjadi alat penting untuk menjalankan tugas bagi para pembuat kebijakan saat akan mengukur, mengelola, dan meningkatkan sumber daya laut dengan lebih efektif.

Neraca sumber daya laut sendiri adalah program pengelolaan data yang menjelaskan aset sumber daya laut serta interaksi dan perubahan antar waktu di suatu wilayah. Saat menjalankan neraca sumber daya laut, ada tujuh komponen data yang harus dikumpulkan oleh para pihak terkait.

Ketujuhnya adalah aset ekosistem, arus ke ekonomi, arus ke lingkungan, ekonomi kelautan, tata kelola, presentasi kombinasi, dan kekayaan laut. Saat ini, program neraca sumber daya laut masih terbatas penerapannya di perairan laut Indonesia.

baca juga : Bagaimana Mengelola Ruang Laut dengan Bijak dan Transparan?

 

Nelayan di Kepulauan Riau melaut di kawasan perairan Singapura. Perairan ini menjadi salah satu lokasi tambang pasir laut pada tahun 2002 lalu. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Penentuan neraca sumber daya laut melibatkan KKP, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kementerian Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan Badan Informasi Geospasial. Kawasan Konservasi Gili Matra di Nusa Tenggara Barat menjadi percontohan dengan dibiayai Global Ocean Accounts Partnership (GOAP).

Secara garis besar, dia mengungkapkan kalau Pemerintah sudah menyiapkan empat strategi untuk mengembangkan pengelolaan ruang laut (marine spatial planning/MSP). Di antaranya, adalah menerapkan digitalisasi dari perencanaan hingga pengendalian.

Lalu, mendukung pengelolaan kesehatan laut menjadi lebih baik; mendukung penerapan ekonomi biru; dan mengurangi konflik pemanfaatan ruang laut melalui transparansi dan partisipasi masyarakat.

Namun, agar semua strategi bisa dijalankan dengan baik, diperlukan kerja sama dengan banyak pihak, termasuk negara lain. Bentuk kerja sama, bisa berupa pelatihan, lokakarya, serta kegiatan berbagi pengetahuan.

Semuanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM), kerja sama dalam penyiapan pengelolaan ruang laut, dan kerja sama lintas batas dalam pengelolaan ruang laut.

 

Pulau Kecil

Bentuk lain pengendalian pemanfaatan laut adalah dengan mengelola pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dengan mengadopsi prinsip ekonomi biru. Cara tersebut dilakukan untuk pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai dengan tipologi, luasan pulau dan topografi pulau dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya.

Di sisi lain, walau pemanfaatan laut perlu dilakukan pengendalian ekstra ketat, namun masih ada tantangan untuk membangun sektor kelautan dan perikanan. Sebut saja, pencemaran sampah laut, kemiskinan di wilayah pesisir, perubahan iklim, dan praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).

baca juga : Sinergi Penataan Ruang Laut untuk Keseimbangan Ekosistem

 

Padatnya lalu lintas kapal-kapal kargo di Selat Malaka menuju Singapura. Perairan selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Foto : shutterstock

 

Untuk mengatasinya, KKP menjalankan lima program prioritas pembangunan berbasis ekonomi biru, di antaranya memperluas kawasan konservasi laut dengan target perluasan kawasan konservasi hingga 30 persen dari seluruh wilayah perairan Indonesia pada 2045 atau seluas 97,5 juta hektare.

Kemudian, melakukan penangkapan ikan secara terukur berbasis kuota; mengembangkan pembangunan budi daya laut, pesisir, dan darat secara berkelanjutan; pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan pembersihan sampah plastik di laut.

Pemanfaatan ruang laut yang tepat dan terkendali, diyakini akan memberi manfaat banyak, baik secara ekologi mau pun ekonomi. Hal itu sudah dirasakan saat ini, di mana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) sudah mencapai Rp346 miliar.

Untuk bisa meraih capaian tersebut, diperlukan upaya dan sinkronisasi aturan dalam pelaksanaan pelayanan pemanfaatan ruang laut. Termasuk, sejumlah perangkat aturan yang berperan sebagai payung hukum untuk melaksanakan kegiatan tersebut.

Sejumlah aturan itu, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, dan Permen KP Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pengawasan Ruang Laut.

Aturan Permen KP 28/2021 diketahui mengatur tentang materi pokok perencanaan ruang laut, pemanfaatan ruang laut, pengendalian ruang laut, dan pengawasan ruang laut. Aturan tersebut diterbitkan untuk mendukung Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 50 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut.

“Itu diterbitkan untuk mendukung penyelenggaraan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut,” jelas dia.

Pedoman Teknis sendiri memuat tentang pemberian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, penyesuaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, serta perubahan, pencabutan dan pembatalan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut.

baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia

 

Sekelompok ikan diantara terumbu karang. Foto : shutterstock

 

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto mengatakan, tantangan dalam penyelenggaraan KKPRL dinilai cukup besar, karena ada lima isu strategis yang harus diperhatikan.

Sebut saja, pengelolaan pulau-pulau kecil dan pulau sangat kecil yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, penataan kawasan pesisir yang semakin terancam degradasi, pemanfaatan wilayah yurisdiksi implementasi ekonomi biru, dan ekonomi kelautan serta penataan alur kabel bawah laut.

“Perlu penyelarasan antara tata ruang laut dengan tata ruang daratnya. Jika tidak selaras tidak akan tercapai penataan ruang laut yang berkelanjutan,” terang dia.

Tetapi, dia mengingatkan kalau untuk bisa sampai pada tahap integrasi menuju pembangunan yang berkelanjutan, semua pemangku kepentingan harus duduk bersama untuk menyamakan tujuan, kebijakan, strategi dalam proses integrasi struktur ruang dan pola ruang.

Pemerintah Indonesia saat ini memang fokus untuk menata kembali pengelolaan ruang laut secara nasional. Untuk itu, disiapkan dua perangkat yang akan menjadi kunci, yaitu mahadata kelautan dan neraca sumber daya kelautan.

Kedua perangkat kunci tersebut disiapkan, untuk mengelola wilayah laut Indonesia yang luasnya mencapai 6,32 juta kilometer persegi (km2), dengan 17.504 pulau mengitarinya. Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono belum lama ini di Jakarta.

baca juga : Pengelolaan Ruang Laut Bergantung pada Neraca Sumber daya Laut

 

Seorang penyelam dengan penyu. Foto : shutterstock

 

Perangkat Kunci

Pengembangan dua perangkat kunci dilakukan, karena di dalamnya juga ada sumber daya kelautan dan sangat berlimpah dan bernilai ekonomi tinggi. Selain ada ekosistem mangrove yang luasnya mencapai 3,31 juta hektare (ha), ada juga ekosistem terumbu karang seluas 2,53 juta ha, dan padang lamun seluas 293.464 ha.

Angka-angka tersebut, sifatnya ada yang sudah mendekati jumlah sebenarnya, namun ada juga yang masih bisa berkembang. Ekosistem padang lamun misalnya, dari penelitian Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), luasan di atas adalah yang sudah diteliti, atau baru 16-35 persen dari seluruh potensi yang ada.

Fakta-fakta di atas masih bersifat sebagian, karena ada fakta lainnya yang bersifat semakin menegaskan tentang kekayaan laut Indonesia. Sebut saja, 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah perairan.

Kemudian, ada sebanyak 300-500 jenis karang yang menasbihkan Indonesia sebagai pemilik terbanyak spesies dan jenis karang di dunia, ratusan jenis mangrove, dan puluhan jenis lamun. Semua angka tersebut tak lupa menyematkan status Indonesia sebagai pemilik terbanyak, atau terluas di dunia.

Trenggono mengatakan, walau kekayaan laut Indonesia sangat berlimpah, namun kontribusi produk domestik bruto (PDB) maritim nasional masih terbatas jumlahnya. Pada 2021, PDB baru tercatat sebesar 7,6 persen terhadap PDB nasional.

“Itu berasal dari 12 sektor industri maritim yang memanfaatkan ruang dan sumber daya laut secara ekstraktif dan non ekstraktif,” jelas dia.

 

Hiu lemon (Negaprion brevirostris) hidup terutama di habitat pantai dangkal seperti bakau, teluk, dan terumbu karang. Foto : Shutterstock

 

Tentang neraca sumber daya kelautan, itu adalah sistem manajemen data spasial dan non spasial yang terintegrasi, mampu memberikan informasi kekayaan laut Indonesia, dan perubahan neracanya dalam kurun waktu tertentu akibat interaksinya dengan kegiatan ekonomi.

Dia menyebut, neraca sumber daya kelautan bisa memberikan kemampuan pada KKP untuk mengukur setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut, pencemaran dan kerusakan dengan upaya pelestarian konservasi, rehabilitasi dan restorasi sebagai penambah kekayaan laut Indonesia.

Ocean accounting juga akan memprediksi dampak dari setiap perizinan, pemanfaatan ruang laut terhadap kondisi kualitas dan fungsi ekologi laut secara jangka menengah dan panjang,”.

Upaya KKP untuk mengembangkan dua kunci utama, adalah salah satunya karena dilatarbelakangi fakta bahwa laut Indonesia mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing), seperti dilaporkan Bank Dunia. Kondisi itu berdampak pada hilangnya keseimbangan ekosistem di laut.

Untuk menyusun neraca sumber daya laut, diperlukan tujuh neraca kunci. Di antaranya adalah neraca aset ekosistem, neraca aliran ke ekonomi, neraca aliran ke lingkungan, neraca ekonomi kelautan, neraca tata kelola, presentasi kombinasi/semua neraca, dan neraca kekayaan laut.

Besarnya angka potensi kekayaan laut Indonesia, juga berbanding lurus dengan tekanan besar yang harus dihadapi. Ada banyak ancaman di laut yang bisa menghancurkan atau merusak ekosistem yang sudah menjadi tempat bergantung masyarakat pesisir untuk mendapatkan penghasilan rutin.

Tegasnya, menjadi hal penting untuk memiliki tata kelola dan instrumen pengelolaan ruang laut yang tangguh dan dapat diandalkan. Instrumen yang mampu memonitor dan mengukur kualitas serta integritas ekologi untuk mendukung ekonomi maritim yang berkelanjutan.

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beberapa waktu lalu mengatakan, penataan ruang laut adalah kegiatan penting dan mutlak untuk dilakukan, karena bisa mendorong Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.

Menurut dia, cetak biru kedaulatan dan kejayaan maritim Indonesia dimulai dari penataan sistematis ruang laut nasional yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Terintegrasi maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.

Tentang penataan tata ruang dan pembangunan nasional, Direktur Perencanaan Tata Ruang Nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Eko Budi Kurniawan memiliki pandangan sendiri, khususnya tentang pembangunan nasional berwawasan nusantara.

Menurutnya, harus ada integrasi antara perencanaan tata ruang yang ada di wilayah darat dengan wilayah laut. Itu berarti, harus ada sinkronisasi antara semua rencana tata ruang (RTR) yang sudah ada saat ini di wilayah laut.

Sebut saja, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZ WP3K), RZ Kawasan Antar Wilayah (KAW), RZ Kawasan Strategis Nasional (KSN), RZ KSN Tertentu (KSNT), serta tentu saja paling utama adalah RTR Laut (RTRL).

Integrasi antara wilayah darat dengan laut tersebut masuk dalam rencana pembangunan nasional berwawasan nusantara yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah. Contoh paling mudah, adalah integrasi Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara (RTR KPN) dengan laut lepas dan 12 RZ KSNT yang saat ini sudah selesai.

Ke-12 RZ KSNT itu, adalah RZ KSNT Klaster Raya-Rusa, RZ KSNT Klaster Simeulue, RZ KSNT Klaster Nias, RZ KSNT Klaster Mentawai, RZ KSNT Klaster Bengkulu, RZ KSNT Pulau Bertuah, RZ KSNT Klaster Banten, RZ KSNT Klaster Jawa Barat, RZ KSNT Pulau Nusakambangan, RZ KSNT Klaster Jawa Timur, RZ KSNT Pulau Nusa Penida, dan RZ KSNT Gili Sepatang.

Sementara, Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial (BIG) Ing Khafid menjelaskan bahwa penataan ruang yang terjadi pada masa kini memerlukan transformasi digital dengan mengadopsi teknologi mutakhir.

Namun, untuk melakukan proses transformasi digital, itu memerlukan dukungan data dan informasi Geospasial yang mumpuni. Jika proses tersebut berhasil, maka kebijakan satu peta satu data akan bisa terwujud di Indonesia.

“Ada manfaat yang akan dinikmati oleh pembangunan nasional,” jelas dia.

 

Exit mobile version