- Indonesia sedang mengejar banyak target program dan pembangun yang diharapkan bisa terwujud saat merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-100 pada 2045 nanti. Target yang disebut Indonesia Emas itu, mencakup juga kegiatan yang berjalan pada sektor kelautan dan perikanan
- Di antara target yang sedang dikejar saat ini, adalah merampungkan perangkat yang akan menjadi kunci pengelolaan ruang laut secara nasional, yaitu mahadata kelautan (ocean big data) dan neraca sumber daya kelautan (ocean accounting)
- Melalui pengembangan dua perangkat kunci, diharapkan pengelolaan bisa lebih maksimal dilakukan. Namun, di saat yang sama juga bisa dilakukan pelestarian alam yang ada pada wilayah laut dan pesisir di seluruh Indonesia
- Agar lebih bagus, pengembangan dilakukan dengan melaksanakan integrasi rencana tata ruang yang ada di wilayah darat, laut, dan udara. Semua itu akan berujung pada terwujudnya kebijakan satu peta dan satu data
Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan dua perangkat yang akan menjadi kunci pengelolaan ruang laut secara nasional. Keduanya adalah mahadata kelautan (ocean big data) dan neraca sumber daya kelautan (ocean accounting).
Kedua perangkat kunci tersebut disiapkan, untuk mengelola wilayah laut Indonesia yang luasnya mencapai 6,32 juta kilometer persegi (km2), dengan 17.504 pulau mengitarinya. Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono belum lama ini di Jakarta.
Pengembangan dua perangkat kunci dilakukan, karena di dalamnya juga ada sumber daya kelautan dan sangat berlimpah dan bernilai ekonomi tinggi. Selain ada ekosistem mangrove yang luasnya mencapai 3,31 juta hektare (ha), ada juga ekosistem terumbu karang seluas 2,53 juta ha, dan padang lamun seluas 293.464 ha.
Angka-angka tersebut, sifatnya ada yang sudah mendekati jumlah sebenarnya, namun ada juga yang masih bisa berkembang. Ekosistem padang lamun misanya, dari penelitian Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), luasan di atas adalah yang sudah diteliti, atau baru 16-35 persen dari seluruh potensi yang ada.
Fakta-fakta di atas masih bersifat sebagian, karena ada fakta lainnya yang bersifat semakin menegaskan tentang kekayaan laut Indonesia. Sebut saja, 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah perairan.
Kemudian, ada sebanyak 300-500 jenis karang yang menasbihkan Indonesia sebagai pemilik terbanyak spesies dan jenis karang di dunia, ratusan jenis mangrove, dan puluhan jenis lamun. Semua angka tersebut tak lupa menyematkan status Indonesia sebagai pemilik terbanyak, atau terluas di dunia.
Trenggono mengatakan, walau kekayaan laut Indonesia sangat berlimpah, namun kontribusi produk domestik bruto (PDB) maritim nasional masih terbatas jumlahnya. Pada 2021, PDB baru tercatat sebesar 7,6 persen terhadap PDB nasional.
“Itu berasal dari 12 sektor industri maritim yang memanfaatkan ruang dan sumber daya laut secara ekstraktif dan non ekstraktif,” jelas dia.
baca : Bagaimana Mengelola Ruang Laut dengan Bijak dan Transparan?
Tak hanya potensi kekayaan laut, dia juga menyebut wilayah pesisir memerlukan perhatian, karena ada 281 kabupaten/kota dan lebih dari 12 ribu desa yang berlokasi di sana dan ada masyarakat pesisir yang sudah bergantung sejak lama pada laut dan sumber daya di dalamnya.
Semua fakta tersebut mengandung makna bahwa potensi besar bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran Indonesia. Namun, di sisi lain ada tantangan yang harus dilewati, yaitu bagaimana melaksanakan tata kelola wilayah laut dengan segala potensinya.
Jawaban dari semua itu, menurut Trenggono adalah dua perangkat kunci yang disebut di atas. Termasuk, bagaimana membangun mahadata kelautan dengan baik, tepat, dan efisien. Rencananya, pengembangan dilakukan melalui perangkat berbasis teknologi pesisir laut dan udara.
“Seperti radar sensor-sensor yang mengukur kualitas perairan dan laut, drone bawah air, drone udara dan nanosatellite untuk memetakan aktivitas yang terjadi di laut, serta kondisi laut dan habitatnya,” terang dia.
Salah satu contohnya, adalah bagaimana kapal-kapal perikanan yang terdaftar penerima kuota kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) dan sedang beroperasi di laut bisa mengirimkan data secara daring dan riil dengan menggunakan aplikasi e-PIT.
Kemudian, ada juga pemanfaatan 20 nanosatellite yang akan dioperasikan mulai 2024 bersamaan dengan dimulainya operasional PIT. Penggunaan teknologi dan kecerdasan buatan (AI), diharapkan bisa mempercepat terwujudnya mahadata kelautan.
“Serta kondisi pesisir dan laut ter-update secara reguler yang dapat menjadi decision support system dalam membantu pengelolaan dan pemantauan sumber daya ekosistem pesisir serta laut secara continue,” jelas dia.
Penggunaan mahadata juga akan diterapkan untuk menentukan lahan yang bisa dipakai untuk kegiatan perikanan budi daya. Juga, penentuan untuk lokasi penangkapan ikan, serta bagaimana menentukan perluasan kawasan konservasi.
“Selanjutnya ocean big data akan menjadi data masukan untuk tools kedua, yaitu ocean accounting,” tambah dia.
baca juga : Sinergi Penataan Ruang Laut untuk Keseimbangan Ekosistem
Neraca Sumber daya Laut
Tentang neraca sumber daya kelautan, Trenggono menjelaskan bahwa itu adalah sistem manajemen data spasial dan non spasial yang terintegrasi, mampu memberikan informasi kekayaan laut Indonesia, dan perubahan neracanya dalam kurun waktu tertentu akibat interaksinya dengan kegiatan ekonomi.
Dia menyebut, neraca sumber daya kelautan bisa memberikan kemampuan pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengukur setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut, pencemaran dan kerusakan dengan upaya pelestarian konservasi, rehabilitasi dan restorasi sebagai penambah kekayaan laut Indonesia.
“Ocean accounting juga akan memprediksi dampak dari setiap perizinan, pemanfaatan ruang laut terhadap kondisi kualitas dan fungsi ekologi laut secara jangka menengah dan panjang,”.
Upaya KKP untuk mengembangkan dua kunci utama, adalah salah satunya karena dilatarbelakangi fakta bahwa laut Indonesia mengalami penangkapan ikan berlebih (overfishing), seperti dilaporkan Bank Dunia. Kondisi itu berdampak pada hilangnya keseimbangan ekosistem di laut.
Untuk menyusun neraca sumber daya laut, diperlukan tujuh neraca kunci. Di antaranya adalah neraca aset ekosistem, neraca aliran ke ekonomi, neraca aliran ke lingkungan, neraca ekonomi kelautan, neraca tata kelola, presentasi kombinasi/semua neraca, dan neraca kekayaan laut.
Trenggono menambahkan, besarnya angka potensi kekayaan laut Indonesia, juga berbanding lurus dengan tekanan besar yang harus dihadapi. Ada banyak ancaman di laut yang bisa menghancurkan atau merusak ekosistem yang sudah menjadi tempat bergantung masyarakat pesisir untuk mendapatkan penghasilan rutin.
Tegasnya, menjadi hal penting untuk memiliki tata kelola dan instrumen pengelolaan ruang laut yang tangguh dan dapat diandalkan. Instrumen yang mampu memonitor dan mengukur kualitas serta integritas ekologi untuk mendukung ekonomi maritim yang berkelanjutan.
Dia mengatakan, kualitas pembangunan kelautan nasional bisa dilihat dari dampaknya terhadap neraca sumber daya laut, yang menjadi upaya Pemerintah menjaga ekologi laut. Dari situ, implementasi kebijakan blue ekonomi diharapkan akan terus menyediakan barang dan jasa bagi kebutuhan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat.
baca juga : Ini Target Pemerintah Selesaikan Rencana Zonasi Pemanfaatan Ruang Laut Indonesia
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan kesempatan yang sama mengatakan, penataan ruang laut adalah kegiatan penting dan mutlak untuk dilakukan, karena bisa mendorong Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia.
“Dengan mengoptimalkan potensi sumber daya maritim, menjadi poros penting pelayaran dunia, jalur utama telekomunikasi nasional dan global, pusat blue carbon dan energi terbarukan dari laut menjadi aspek penting dalam mewujudkan kedaulatan dan kejayaan maritim Indonesia,” tutur dia.
Menurut dia, cetak biru kedaulatan dan kejayaan maritim Indonesia dimulai dari penataan sistematis ruang laut nasional yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Terintegrasi maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045.
Tentang penataan tata ruang dan pembangunan nasional, Direktur Perencanaan Tata Ruang Nasional Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Eko Budi Kurniawan memiliki pandangan sendiri. Khususnya tentang pembangunan nasional berwawasan nusantara.
Menurutnya, harus ada integrasi antara perencanaan tata ruang yang ada di wilayah darat dengan wilayah laut. Itu berarti, harus ada sinkronisasi antara semua rencana tata ruang (RTR) yang sudah ada saat ini di wilayah laut.
Sebut saja, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZ WP3K), RZ Kawasan Antar Wilayah (KAW), RZ Kawasan Strategis Nasional (KSN), RZ KSN Tertentu (KSNT), serta tentu saja paling utama adalah RTR Laut (RTRL).
Integrasi antara wilayah darat dengan laut tersebut masuk dalam rencana pembangunan nasional berwawasan nusantara yang saat ini diterapkan oleh Pemerintah. Contoh paling mudah, adalah integrasi Rencana Tata Ruang Kawasan Perbatasan Negara (RTR KPN) dengan laut lepas dan 12 RZ KSNT yang saat ini sudah selesai.
Ke-12 RZ KSNT itu, adalah RZ KSNT Klaster Raya-Rusa, RZ KSNT Klaster Simeulue, RZ KSNT Klaster Nias, RZ KSNT Klaster Mentawai, RZ KSNT Klaster Bengkulu, RZ KSNT Pulau Bertuah, RZ KSNT Klaster Banten, RZ KSNT Klaster Jawa Barat, RZ KSNT Pulau Nusakambangan, RZ KSNT Klaster Jawa Timur, RZ KSNT Pulau Nusa Penida, dan RZ KSNT Gili Sepatang.
Sementara, Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial (BIG) Ing Khafid menjelaskan bahwa penataan ruang yang terjadi pada masa kini memerlukan transformasi digital dengan mengadopsi teknologi mutakhir.
Namun, untuk melakukan proses transformasi digital, itu memerlukan dukungan data dan informasi Geospasial yang mumpuni. Jika proses tersebut berhasil, maka kebijakan satu peta satu data akan bisa terwujud di Indonesia.
“Ada manfaat yang akan dinikmati oleh pembangunan nasional,” jelas dia.