Mongabay.co.id

Bagaimana Mengendalikan Aliran Lahar Gunung Berapi?

 

 

Setiap kali sebuah gunung berapi erupsi, sering dibarengi aliran lahar yang jumlahnya sangat besar.

Lahar adalah aliran lumpur vulkanik, terdiri campuran air, abu vulkanik, tephra [material piroklastik jatuhan yang tidak terkonsolidasi yang dihasilkan oleh erupsi gunung berapi], pecahan batu, dan bisa juga bongkahan es yang mengalir seperti beton basah.

Lahar biasanya mengalir di lembah sungai dengan kecepatan tinggi. Ia mampu melaju hingga 75-80 kilometer per jam, atau bahkan lebih saat meluncur di lereng curam.

Konsentrasi puing-puing vulkanik dalam lahar bervariasi. Sebagian lahar relatif encer, sementara sebagian lainnya berupa lumpur kental yang dapat mengangkut batu-batu besar.

Dengan kemampuan melajunya yang tinggi, lahar gunung berapi bakal dengan mudah melibas atau mengubur apa saja yang dilaluinya, dengan timbunan tebal.

Oleh sebab itu, aliran lahar vulkanik menimbulkan apa yang diistilahkan sebagai geohazard yang signifikan, lantaran dapat mengalir sangat jauh ke lembah sungai dan berdampak pada pusat-pusat populasi yang jauh dari sekitar gunung berapi.

Baca: Berkah dan Musibah bagi Pemilik Gunung Api Terbanyak di Dunia

 

Aliran lahar yang mengalir saat erupsi gunung merapi di Hawai beberapa waktu lalu. Sumber: USGS/Geology.com

 

Cara menghentikan

Banyak orang bertanya, apakah ada cara yang bisa dilakukan untuk menghentikan atau setidaknya mengubah arah aliran lahar gunung berapi sehingga meminimalisir dampak destruktif yang ditimbulkannya.

Selama bertahun, sebagian orang telah mencoba memperlambat dan juga menghentikan aliran lahar gunung berapi. Ada yang menggunakan doa, menggunakan dinding beton, bahkan serangan bom.

Faktanya, hingga kini, kita masih kesulitan menghentikan lahar gunung berapi. Bahkan, dengan bantuan teknologi sekalipun.

Di luar penggunaan teknologi, ada yang berupaya menghentikan lahar gunung berapi dengan doa-doa. Contohnya, pada 1881, Gubernur Hawaii berinisiatif menggelar doa secara massal untuk menghentikan lahar Gunung Mauna Loa yang saat itu meluncur menuju Kota Hilo. Namun, lahar tetap saja meluncur deras.

Ada juga upaya menghentikan lahar dengan membom lubang kawah gunung berapi. Hal ini pernah dilakukan saat Mauna Loa kembali erupsi pada 2021. Satu skuadron kecil pesawat biplanet Keystone B3 dan B4 terbang di atas aliran lahar Mauna Loa dan menjatuhkan 20 bom, dengan total 3,6 ton TNT. Tapi, sejumlah pakar meragukan bahwa pemboman akan efektif menghentikan aliran lahar.

Kealoha Pisciotta, praktisi budaya asli Hawaii, mengatakan pemahaman bahwa kita harus mampu mengalihkan lahar secara fisik adalah ide orang-orang Barat yang didasarkan pada pemikiran bahwa manusia harus mengendalikan segalanya.

Padahal, menurut Pisciotta, kita yang justru perlu berubah dan bukan aliran lahar yang perlu kita ubah. “Kita tidak terpisah dari alam,” katanya. “Kita adalah bagian dari alam,” tambahnya lagi.

Baca : Gunung Marapi Sumbar Erupsi, 11 Pendaki Tewas

 

Kondisi Gunung Api Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, NTT saat erupsi 27/11/2020 lalu. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Empat kategori dasar

Lantas, bagaimana mengatasi potensi destruktif lahar gunung berapi?

Menurut Pierson et al, yang menulis kajian bertajuk Reducing Risk from Lahar Hazards: Concepts, Case Studies, and Roles for Scientists, strategi untuk mengurangi potensi kerusakan atau kerugian akibat lahar terbagi empat kategori dasar.

Pertama, penghindaran bahaya lahar melalui perencanaan penggunaan lahan. Kedua, melakukan modifikasi bahaya lahar melalui struktur perlindungan yang direkayasa. Ketiga, membangun sistem peringatan bahaya lahar yang memungkinkan evakuasi. Keempat, respons yang efektif terhadap bencana lahar beserta proses pemulihan ketika bencana lahar benar-benar terjadi.

Baca juga: Erupsi Gunung Api Ile Lewotolok di Lembata. Bagaimana Mitigasi dan Dampaknya?

 

Erupsi Gunung Marapi, Sumatera Barat, 3 Desember 2023. Foto: Tim SAR Padang

 

Pierson et al berpendapat bahwa keberhasilan penerapan salah satu strategi tersebut membutuhkan pemahaman dan penilaian yang akurat tentang bahaya, keterbatasan cara, serta perencanaan menyeluruh.

“Komponen manusia dan kelembagaan yang mengarah pada penerapan yang berhasil, dapat menjadi lebih penting lagi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan bencana dan perencanaan pengurangan risiko bencana. Komunikasi yang baik mengenai informasi bahaya dan risiko di antara para ilmuwan, manajer kedaruratan bencana, pejabat terkait, dan masyarakat yang terdampak selama masa krisis dan non-krisis; pelatihan tanggap darurat yang berkesinambungan; dan pendanaan yang memadai untuk upaya pengurangan risiko merupakan hal penting yang harus diperhatikan,” paparnya.

Pierson et al menyimpulkan bahwa pengurangan risiko bahaya lahar tidak dapat dicapai secara efektif tanpa keterlibatan aktif dan tidak memihak dari para ilmuwan gunung berapi, yang bersedia untuk mengambil peran edukatif, interpretatif, serta advokatif dan bekerja dalam kemitraan dengan pejabat terkait, manajer kedaruratan bencana, serta masyarakat yang rentan terdampak.

 

*Djoko Subinarto, penulis lepas, tinggal di Bandung, Jawa Barat. 

 

Referensi:

Audrey McAvoy. 2022. Prayers? Bombs? Hawaii History Shows stopping Lava Not Easy.

Jessica Ball. 2023. Volcanic Hazards, Many Types of Hazards Are Associated with volcanoes.

Olivia Munson. 2023. What Is Lava? How Hot Is It? Information on the Molten Rock that Comes from Volcanoes.

Thomas C Pierson et al. 2014. Reducing Risk from Lahar Hazards: Concepts, Case Studies, and Roles for Scientists.

 

Exit mobile version