Mongabay.co.id

Melindungi Wilayah Perairan yang Tak Terlindungi Pemerintah

 

Mengelola kawasan ekosistem berbasis perairan selalu menghadapi tantangan berat dan beragam. Pengelolaan yang dilakukan banyak pihak, dengan dipimpin Pemerintah Indonesia, tidak akan selalu berjalan mulus, hingga bisa sukses mempertahankan kesehatan ekosistem.

Tantangan tersebut penting untuk bisa diatasi, mengingat besarnya peran dari ekosistem perairan untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati yang ada di perairan laut dan air tawar. Untuk itu, kegiatan konservasi akan selalu menjadi kebutuhan untuk bisa mempertahankan kesehatan dan kualitas ekosistem.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKHL KKP) Firdaus Agung mengatakan, ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mempertahankan kualitas ekosistem perairan.

Salah satunya, adalah melalui pendekatan Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM), yaitu pendekatan yang menjadi upaya untuk mendukung kegiatan konservasi yang efektif di luar kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah.

Pendekatan OECM melibatkan masyarakat dan para pihak terkait yang bisa berkontribusi secara signifikan terhadap konservasi keanekaragaman hayati, restorasi ekosistem, dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.

Ada pun, kawasan konservasi yang dikelola Pemerintah, mencakup taman nasional, kawasan lindung, atau cagar alam. Kawasan-kawasan tersebut adalah wilayah yang ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Indonesia.

“OECM juga menjadi unsur pendukung dalam pencapaian 30 persen luas wilayah perlindungan laut, dan ini salah satu target Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework,” ungkap dia saat berada di Pontianak, Kalimantan Barat, belum lama ini.

baca : Peran OECM dalam Pencapaian Target 30% Kawasan Konservasi Nasional

 

Sekelompok nelayan tradisional dengan perahu kecilnya sedang menangkap ikan di perairan Maluku. Foto : shutterstock

 

Mengingat OECM adalah pendekatan yang baru di Indonesia, saat ini Pemerintah sedang merumuskan definisi dan kriteria untuk penerapannya nanti di dalam negeri. Kata kunci yang dipersiapkan, adalah wilayah kelola, kelembagaan, bersifat efektif, dan memiliki dampak konservasi jangka panjang.

Besarnya peran yang diemban OECM, membuat perumusan menjadi tantangan yang tidak mudah. Tanpa ragu dia meminta dukungan dan kerja sama dari semua pihak untuk merumuskan definisi dan kriteria OECM.

Sebagai salah satu target dari Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF), penerapan OECM secara global membawa misi untuk memastikan kawasan berada di bawah perencanaan tata ruang yang terpadu, dan inklusif serta partisipatif.

Serta, pengelolaan efektif yang menangani perubahan tata guna lahan dan zona laut, dengan tujuan untuk mengurangi hilangnya kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi. Termasuk ekosistem dengan keutuhan ekologis tinggi, yang diharapkan bisa mendekati nol pada 2030 nanti.

“Seraya menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal,” terang dia.

Selain itu, secara global juga ada target yang diharapkan bisa mendukung upaya untuk melaksanakan restorasi yang efektif terhadap setidaknya 30 persen luas wilayah darat dan laut yang sudah mengalami degradasi daya dukung lingkungan.

“Terutama wilayah yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati serta fungsi dan jasa ekosistem,” tutur dia.

Mengingat tujuan dan target yang sangat besar, penerapan OECM di Indonesia juga dinilai akan mendorong upaya untuk meningkatkan luasan dan pengelolaan efektif kawasan konservasi perairan. Upaya ini akan bermanfaat karena bisa mengatasi keterbatasan lahan dan jarak antara satu kawasan dengan yang lain.

Lalu, bisa meningkatkan kontribusi dan partisipasi pemangku kepentingan. Dia menyebut kalau target kawasan konservasi perairan ditargetkan bisa mencapai 10 persen pada 2030 mendatang. Namun, dia mempertanyakan dengan lahan yang belum terlindungi seluas 90 persen dari total kawasan perairan.

“90 persennya lagi siapa yang melindungi?” ungkap dia.

baca juga : Kejar Tayang Target Kawasan Konservasi “30×30”: Harap dan Ragu Konsep “Kawasan Konservasi Lain”

 

Sekelompok ikan diantara terumbu karang. Foto : shutterstock

 

Alasan berikut kenapa penerapan OECM sangat penting untuk Indonesia, adalah karena ada peran konservasi yang bersifat inklusif dan berkeadilan. Itu berarti, kegiatan konservasi akan menempatkan masyarakat sebagai aktor utama.

“Juga, memperkuat konservasi dengan target spesifik dengan sesuai konteks lokal, dan membangun network perlindungan keanekaragaman hayati laut,” tambah dia.

Akan tetapi, Firdaus Agung tidak mengelak jika penerapan OECM di Indonesia tak akan bisa dilepaskan dari yang namanya tantangan. Secara umum, ada tiga tantangan yang harus dihadapi jika ingin OECM bisa berjalan lancar untuk diterapkan di Indonesia.

Pertama, adalah karena sistem konservasi perairan di Indonesia saat ini masih menggunakan skema negara sebagai aktor tunggal. Kedua, walau upaya melaksanakan konservasi perairan yang dilakukan oleh masyarakat sudah cukup banyak dan beragam, namun itu tata kelolanya belum baik.

Ketiga, upaya melaksanakan konservasi oleh pihak swasta atau pelaku usaha ternyata berpotensi besar. Namun sayang, potensi tersebut hingga sekarang masih belum dimaksimalkan oleh para pihak yang berkaitan.

Akan tetapi, semua tantangan yang dimaksud diyakini bisa diperbaiki asalkan bisa memaksimalkan peran dari Pemerintah yang bisa menjadi kunci kesuksesan penerapan OECM. Peran itu bisa diambil Pemerintah dengan fokus memperbaiki data dan informasi (spasial, tata kelola, dan dampak/manfaat).

Kemudian, melaksanakan penguatan dan pendelegasian otoritas melalui peraturan perundang-undangan; menerapkan manajemen yang fleksibel/adaptif/robust lintas sektor/kegiatan; memperjelas hal definisi/batasan kriteria (kontekstualisasi), dan melaksanakan pembagian peran antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.

baca juga : Siapa Pelindung Utama Keanekaragaman Hayati di Laut Indonesia? 

 

Seorang penyelam dengan penyu. Foto : shutterstock

 

Kunci Pengembangan

Di luar hal yang disebutkan di atas, Firdaus Agung juga menyoroti aksi yang bisa dilakukan untuk menjadi kunci pengembangan OECM di Indonesia. Pertama, adalah dengan melaksanakan harmonisasi kepentingan nasional dan kesepakatan global.

Kedua, melaksanakan identifikasi/mengkaji lokasi-lokasi potensial dan prioritas (gradasi status/level) yang akan didorong menjadi OECM (baru dan/atau efektif). Ketiga, melaksanakan simplifikasi monitoring dan evaluasi (monev) penilaian kelayakan dan kontribusi terhadap keaneakaragaman hayati.

Keempat, menerapkan mekanisme insentif untuk mendorong pengelolaan efektif. Kelima, melaksanakan integrasi dalam sistem pengelolaan kawasan konservasi (kemitraan), tata ruang laut (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut/PKKPRL), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah/Panjang Nasional (RPJM/PN).

“Keenam, melaksanakan adopsi dalam Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) yang baru,” tandas dia.

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa ada hasil konsultasi para pihak yang melahirkan empat strategi utama untuk menerapkan OECM di Indonesia. Pertama, harus ada perlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan tradisional.

Kedua, harus bisa memanfaatkan kolaborasi antar sektor dan lintas skala. Ketiga, harus bisa fokus pada hasil (outcome). Terakhir, penerapan OECM harus dilakukan dengan melaksanakan integrasi ke dalam kerangka hukum di Indonesia.

Agar penerapan OECM bisa dijalankan dengan baik, Pemerintah menggandeng pihak lain, salah satunya Yayasan Pesisir Lestari (YPL). Tujuannya, agar pengelolaan pesisir bisa berkelanjutan dan target untuk melestarikan sumber daya pesisir juga bisa terwujud.

baca juga : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen

 

Keindahan pesisir dengan hutan mangrove dan terumbu karang di Pulau Gam, kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Secara khusus, Firdaus Agung menyebut kalau konservasi laut masuk dalam strategi ekonomi biru dan ditargetkan bisa mencapai luasan 30 persen dari total luas wilayah laut nasional pada 2045 mendatang.

Saat ini, Indonesia sudah memiliki 409 kawasan konservasi dengan luasan total mencapai 28 juta hektare (ha) atau mencakup 10 persen dari total luas wilayah perairan nasional. Dengan sisa waktu 21 tahun ke depan, Indonesia harus berlari untuk bisa mengejar target 30 persen luasan kawasan konservasi.

Menurut dia, Indonesia harus bisa meningkatkan luasan kawasan konservasi hingga tiga kali lipat dari luasan yang sudah terbentuk sekarang. Jika itu bisa dilakukan, maka target 30 persen pada 2045 optimis bisa tercapai.

“Oleh karena itu, upaya perluasan kawasan konservasi 30×45 dapat didukung juga melalui kawasan konservasi di luar KKPD dengan melibatkan semua pihak selain Pemerintah,” pungkas dia.

Salah satu daerah yang melaksanakan pendekatan OECM, adalah Provinsi Sulawesi Utara. Walau konsep OECM baru berkembang beberapa tahun terakhir ini, namun secara tradisional Sulut sudah melaksanakannya sejak lama secara turun temurun.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara Tienneke Adam menjelaskan, kegiatan konservasi di luar wilayah yang resmi ditetapkan Pemerintah Indonesia, sudah dilaksanakan oleh masyarakat di pulau Intata dan pulau Miangas (Kabupaten Kepulauan Talaud), dan pulau Para (Kabupaten Kepulauan Sangihe).

Kegiatan yang dilakukan di pulau Intata, adalah Mane’e yang merupakan upacara adat menangkap ikan secara tradisional dengan menggunakan daun kelapa muda (janur) yang dibentangkan di laut. Kegiatan ini diwariskan secara turun-temurun.

Tradisi ini dilaksanakan untuk memperingati puncak surut air laut ketika masa eha berakhir. Eha adalah periode pelarangan mengambil hasil laut dan darat yang berlangsung antara tiga  hingga enam bulan.

baca juga : Memperkuat Eksistensi Masyarakat Adat Pesisir di Tengah Geliat Pembangunan

 

Sejumlah perahu nelayan tradisional ditambatkan di pantai timur Pangandaran, Jawa Barat. Foto : shutterstock

 

Kemudian, di pulau Miangas, ada kegiatan adat istiadat yang sudah berjalan secara turun temurun. Kegiatan bernama Manami itu adalah mengurung ikan saat air laut mencapai surut terendah, dan dilakukan masyarakat setiap sekali dalam setahun pada Mei.

Manami biasa digelar di Desa Miangas, Kecamatan Khusus Miangas. Praktik Manami adalah tradisi menangkap ikan menggunakan Sami, yaitu janur yang diikatkan pada seutas tali sepanjang minimal 500 meter (m), yang dibentangkan melingkar di tepi pantai.

Kegiatan yang mirip juga sudah berjalan lama di pulau Para. Seke, nama kegiatan tersebut adalah kesadaran menjaga keberlangsungan lingkungan bawah laut dengan menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang ramah lingkungan.

API yang digunakan tersebut berupa anyaman bambu sepanjang 25 m dan lebar 80 sentimeter (cm). Pada setiap sisinya, bambu didirikan dengan janur muda dan ujungnya diikatkan ke perahu. Penangkapan ikan dengan Seke pernah diatur dalam SK Bupati Sangihe Nomor 65, di mana nelayan pulau Para mendapatkan waktu tiga bulan menangkap ikan dan pulau nelayan Mahengetang mendapat waktu tiga bulan, dan enam bulan berikutnya adalah masa konservasi.

Selain kegiatan yang sudah berjalan secara tradisional dan kemudian ada yang diatur resmi oleh aturan daerah, ada juga kegiatan OECM yang bentuknya daerah perlindungan laut (DPL). Terdapat tiga daerah yang menerapkannya, yaitu Kab Kepulauan Sitaro, Kab Minahasa Utara, dan Kab Minahasa.

Pengelolaan DPL adalah perlindungan habitat dan biota langka dengan melibatkan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cakupan DPL adalah kawasan pesisir dan laut yang meliputi terumbu karang, hutan mangrove, lamun dan habitat lainnya.

Secara permanen, 10 persen dari luas daerah ini ditutup dari kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut. Kemudian, pengelolaannya dilakukan secara bersama antara Pemerintah, masyarakat dan pihak lain, mencakup dalam merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pengelolaannya.

Namun, Tienneke Adam menyebut kalau Sulut tetap menghadapi tantangan, karena banyak Kawasan Kelola Masyarakat yang sudah berhasil kemudian menjadi bagian dari proyek seperti Kawasan Konservasi Perairan Percontohan (KKPD).

“Kalau ini berjalan terus, maka jumlah dan luasan OECM, kawasan Kelola masyarakat akan menurun. Kemudian, sampai sekarang juga tantangannya adalah karena belum terbentuk Unit Pengelolaan Kawasan Konservasi di Daerah,” pungkas dia.

 

Exit mobile version