- Pemerintah menargetkan luasan kawasan konservasi perairan menjadi 30% pada 2045. Untuk itu diperlukan dukungan berbagai pihak
- Pengelolaan kawasan pesisir dan laut termasuk di luar kawasan konservasi, dilakukan tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat, LSM dan pihak swasta untuk mendukung target 30% kawasan konservasi perairan.
- Salah satu bentuk pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang dilakukan pihak nonpemerintah untuk mendukung target 30% kawasan konservasi adalah metode Other Effective Conservation Measure (OECM)
- Dalam side event Konas XI Pengelolaan Sumber Daya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Pontianak, Senin (27/11/2023) dibahas tentang peran para pihak dalam pengelolaan kawasan OECM, termasuk pelaksanaan OECM di tingkat tapak
Pengelolaan kawasan pesisir dan laut yang ada saat ini tidak hanya dikelola oleh Pemerintah (Pusat dan Daerah), namun juga diinisiasi oleh masyarakat, LSM dan pihak swasta. Hal itu menjadi nilai positif bagi pencapaian target 30% kawasan konservasi nasional.
Inisiatif yang dilakukan, baik oleh masyarakat, LSM dan pihak swasta walaupun di luar kawasan konservasi, namun memberikan dampak signifikan bagi perlindungan kawasan pesisir dan laut serta pemanfaatan secara berkelanjutan.
Pemanfaatan suatu ruang laut oleh masyarakat desa pesisir, yang memiliki fungsi atau dampak yang baik terhadap upaya konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan dapat dikemas dalam bentuk LMMA, PAAP, termasuk melalui pendekatan Other Effective Conservation Measure (OECM).
OECM merupakan upaya mendukung konservasi yang efektif di luar kawasan konservasi yang dikelola pemerintah seperti taman nasional, kawasan lindung, atau cagar alam, masyarakat dan pihak terkait lainnya yang dapat berkontribusi secara signifikan terhadap konservasi keanekaragaman hayati, restorasi ekosistem, dan pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Pendekatan ini mencakup pengelolaan ekosistem perairan berkelanjutan, yang berfokus selain pada produksi sumber daya ikan, juga mempertimbangkan kepentingan ekologi dan ector, serta jasa ekosistem lainnya termasuk meningkatkan mata pencaharian nelayan. Hal ini menunjukkan bahwa OECM mempunyai cakupan konservasi yang lebih luas lagi dan memberikan kesempatan bagi masyarakat termasuk masyarakat adat, sektor swasta, dan militer untuk terlibat dalam pelestarian sumber daya alam.
Serangkaian upaya secara kolaboratif telah dilakukan dalam pengembangan OECM di Indonesia. Seperti Forum Akademi yang diselenggarakan pada 8 Juni 2023 yang membahas dan menyepakati definisi OECM di Indonesia, fitur dan kriteria utama OECM yang selaras dengan karakteristik Indonesia, istilah yang tepat dan setara untuk OECM di Indonesia dan memetakan potensi OECM di Indonesia.
Dilanjutkan dengan Multi-stakeholder Workshop OECM yang diselenggarakan pada 12 Oktober 2023 yang bertujuan untuk merumuskan strategi pengembangan OECM di Indonesia baik dari aspek definisi/kriteria OECM, manajemen efektif, landasan hukum, kerangka kelembagaan, pembiayaan dan implemetasi dan pendampingan.
baca : Kejar Tayang Target Kawasan Konservasi “30×30”: Harap dan Ragu Konsep “Kawasan Konservasi Lain”
Inisiasi OECM di Tingkat Tapak
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Ditjen PKRL Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Firdaus Agung, mengatakan Pemerintah memiliki komitmen untuk berkontribusi terhadap perluasan kawasan konservasi 30% pada 2045. Untuk itu diperlukan dukungan berbagai pihak, karena Pemerintah tidak dapat melaksanakan sendiri.
“Program prioritas ekonomi biru dan OECM meliputi penambahan luas kawasan konservasi laut 30%; penangkapan ikan terukur berbasis kuota; pengembangan budi daya laut, pesisir dan darat yang berkelanjutan; pengelolaan dan pengawasan pesisir dan PPK; dan pengelolaan sampah plastik di laut melalui gerakan partisipasi nelayan,” kata Firdaus.
Hal itu diungkapkan Firdaus dalam dalam side event Konferensi Nasional XI Pengelolaan Sumber Daya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (27/11/2023) bertema “Peran Para Pihak dalam Pengelolaan Kawasan OECM” diselenggarakan KKP bersama mitra yaitu Rare, YAPEKA, LINI, YPL dan pihak terkait lainnya.
Firdaus menambahkan bahwa peran kunci pemerintah termasuk memperbaiki data dan informasi, dukungan kebijakan, pengelolaan adaptif, pembagian peran antara pusat, provinsi dan kabupten.
Acara tersebut memang bertujuan untuk mendorong upaya kolaboratif multipihak dalam pengembangan OECM di Indonesia dengan mempromosikan OECM untuk masuk ke dalam bagian strategi upaya konservasi Indonesia mencapai target 30% pada tahun 2045.
baca juga : Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia
Hari Kushardanto selaku Senior Director Program & Policy-Rare, mengungkapkan inisiatif OECM membuat kegiatan konservasi jadi inklusif dimana pihak-pihak selain Pemerintah termasuk kelompok masyarakat dapat mengambil peran yang sama untuk mencapai target ambisius kawasan konservasi seluas 30 persen.
“Namun demikian, pengembangan OECM memiliki tantangan diantaranya terkait standard dan kriteria untuk OECM Indonesia dan landasan hukum bagi OECM juga masih belum ada,” katanya.
Acara itu juga menampilkan pengalaman dari beberapa daerah di Indonesia, seperti dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Utara (Sulut), dan Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB, Muslim mengatakan sangat penting memperkuat regulasi daerah, penataan zonasi dan rencana pengelolaan, peningkatan SDM-sarpras, penguatan kelembagaan masyarakat serta kerjasama antar pihak untuk strategi pengelolaan kawasan.
“Kerjasama antar sektor kelautan dan perikanan dengan mitra (termasuk LSM) sangat diperlukan dalam pengelolaan pesisir dan laut,” ungkap Muslim.
Salah satu yang telah dilakukan ditingkat tapak adalah inisiasi pengelolaan perikanan gurita berbasis masyarakat di Selat Alas dimana sistem pengelolaan dilakukan dengan penutupan sementara kawasan dan pengawasan efektif bersama masyarakat, termasuk juga adanya penerapan awig-awig.
“Kami tidak dapat bekerja sendiri, namun kami didukung oleh mitra-mitra Pemerintah seperti WCS, MSPI, MSC, PT. AMNT, Coremap CTI, Jari, BKSDA, Benteng, Rekam, WRI, YKI”, tambah Muslim.
baca juga : 22 Tahun Lagi, 30 Persen Laut adalah Kawasan Konservasi
Sedangkan Kepala DKP Sulut, Tieneke Adam, menyampaikan pihaknya mendukung inisiatif masyarakat melalui berbagai kebijakan seperti pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu berbasis masyarakat, rencana aksi pengelolaan perikanan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, dan petunjuk teknis pelaksanaan PAAP.
Kearifan lokal sangat berperan dalam turut mendukung pengelolaan pesisir dan laut di wilayah Sulut seperti mane’e, minami, seke dan lainnya. “Sama seperti di NTB, kami juga didukung oleh mitra Pemerintah seperti Rare, YAPEKA, WCS,” ungkap Tieneke.
“Inisiasi OECM ditingkat tapak yang dilaksanakan meliputi daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, perlindungan habitat gurita melalui rumah boboca, kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat dan kawasan PAAP,” lanjutnya.
Sementara itu, Kepala DKP Sultra, La Ode Kardini menyampaikan secara daring, bahwa Sultra memiliki potensi pengembangan OECM dimana PAAP sebagai OECM telah memiliki manfaat yang besar untuk masyarakat dan perbaikan ekosistem pesisir dan laut. Kegiatan yang dilaksanakan di Sulawesi Tenggara ini salah satunya didukung oleh Rare.
“Penerapan OECM di daerah kami telah meningkatkan hasil tangkapan perikanan dan juga ekosistem menjadi lebih baik”, ungkap La Ode Kardini. Dengan ekosistem yang terjaga maka akan meningkatkan pendapatan nelayan. (***)