Mongabay.co.id

Dampak Perubahan Iklim Dirasakan Nelayan Surabaya

Nelayan tradisional sedang menangkap ikan. Foto : shutterstock

 

 

Dampak perubahan iklim dirasakan kelompok nelayan, yang mengandalkan kehidupan dari hasil laut. Hal ini terungkap dalam “Rembuk Iklim Pesisir” bersama nelayan Nambangan dan Cumpat, di Surabaya, awal Desember 2023.

Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia [KNTI] Surabaya, Ahmad Sukron, mengatakan dampak perubahan iklim telah dirasakan dua tahun terakhir. Persoalan yang paling mengganggu adalah lumpur yang semakin tinggi di pesisir Nambangan dan Cumpat, serta di hampir sepanjang pesisir timur Surabaya.

“Terutama di area Keluarahan Kedungcowek. Tahun ini kami ukur tingginya 1-1,5 meter,” ujarnya.

Menurut nelayan setempat, Mas’ud, meningkatnya sedimentasi lumpur dirasakan setelah adanya pembangunan infrastruktur di kawasan Kejeran.

“Lumpur memang ada, tapi sejak adanya Jembatan Suroboyo, lumpur semakin tinggi,” ungkapnya.

Sukron menambahkan, dugaan lain adalah belum selesainya proyek pengerjaan pintu air sehingga tidak ada arus air yang keluar untuk mengurai lumpur.

“Arus yang ke utara terhalang pembangunan itu,” ujarnya.

Baca: Begini Cara Nelayan NTT Hadapi Dampak Perubahan Iklim

 

Nelayan tradisional tengah menangkap ikan. Foto: Shutterstock

 

Kondisi ini tidak hanya berpengaruh bagi nelayan yang terhambat melaut maupun terhalang cuaca ekstrim. Ibu-ibu nelayan juga merasakan dampaknya, yang tidak bisa lagi mencari kerang bambu atau lorjuk, akibat habitatnya dipenuhi endapan lumpur.

“Sejak dua tahun terakhir, susah cari lorjuk. Tahun 2021 kami masih bisa mencari di bawah jembatan Suramadu agak ke utara, tapi harus mendorong perahu karena lumpurnya sudah ada,” kata Jihan Nafisah, Sekretaris Kesatuan Perempuan Pesisir Indonesia [KPPI] Surabaya.

“Biasanya dapat sampai 20 kilogram satu orang, itu sekitar dua-tiga tahun lalu. Sekarang sudah tidak ada sama sekali,” imbuh Sukron.

Di Nambangan dan Cumpat, terdapat 3 kelompok nelayan, yaitu nelayan tangkap, selam, dan petorosan. Akibat perubahan iklim yang berdampak pada perubahan pola cuaca dan arah angin, nelayan tidak dapat lagi memastikan hasil tangkapan ikan.

Bila kondisi banjir rob disertai angin kencang di penanggalan 15 Jawa, menjadi malapetaka bagi warga di perkampungan pesisir nelayan. Ombak besar menerjang perahu nelayan yang ditambatkan maupun rumah-rumah warga di pinggir pantai.

“Sekitar dua tahun lalu, sekitar 65 perahu nelayan rusak dan tenggelam akibat ombak besar. Air laut juga masuk ke rumah warga,” kata Sukron.

Baca: Pantai Utara Jawa dan Dampak Nyata Perubahan Iklim

 

Nelayan membereskan perahu setelah melaut, sementara para perempuan membantu mengangkut ikan hasil tangkapan. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Perempuan dan anak terdampak perubahan iklim

Bila cuaca ekstrim, nelayan dipastikan tidak melaut, sementara perekonomian keluarga harus berputar.

“Ibu-ibu akhirnya terjebak utang, bahkan tidak sedikit berurusan dengan rentenir. Untuk membayar, akhirnya pinjam uang ke koperasi kami. Bagi anak-anak, kondisi ini dapat mempengaruhi asupan makanan dan kesehatan mereka,” terang Jihan.

KPPI Surabaya memiliki koperasi Nampat Bahari [Nambangan Cumpat]. Di sini, para perempuan belajar mengolah hasil tangkapan nelayan untuk dijual saat cuaca tidak mendukung melaut.

“Kita olah menjadi kerupuk atau krispi bulu ayam, sebagai penghasilan tambahan. Pemasarannya masih terbatas, karena belum tergabung di UMKM atau e-commerce,” terangnya.

Jihan berharap, masyarakat makin sadar lingkungan sehingga mampu beradaptasi dan bertahan terhadap dampak perubahan iklim.

“Kami juga berharap, persoalan lumpur segera teratasi.”

Baca juga: Perubahan Iklim Picu Fenomena Pernikahan Anak di Pesisir Utara Jakarta

 

Ikan bulu ayam yang dijemur butuh panas matahari yang cukup sebelum diolah menjadi krispi ikan bulu ayam. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Pentingnya solusi dan kolaborasi

Aktivis lingkungan yang juga pendamping KNTI Jawa Timur, Bambang Catur Nusantara mengatakan, kajian komprehensif persoalan sedimentasi lumpur perlu dikolaborasikan bersama para pihak guna dicarikan solusinya.

“Perlu diteliti asal lumpur ini dan kemungkinan pembangunan infrastruktur tertentu yang dapat berdampak, karena hal serupa terjadi di tempat lain,” paparnya.

Catur menilai, dampak perubahan iklim harus ditangani secara serius, jika tidak perekonomian masyarakat nelayan makin menurun.

“Rencana pembangunan pemecah ombak yang telah digagas perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah. Usulan nelayan agar dibuatkan jalur melaut, yang selama ini terkendala lumpur, perlu direalilasikan,” ujarnya.

 

Perempuan pesisir menyuarakan dampak perubahan iklim yang harus diatasi bersama. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Lurah Kedungcowek, Ayu Vitasari mengatakan, rembuk nelayan pesisir menjadi media yang tepat, mencari solusi yang dihadapi nelayan akibat perubahan iklim.

“Kami akan lapor ke DKPP [Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian], terkait keluhan warga. Untuk kolaborasi, bisa dilakukan dengan berbagai pihak, Walhi, universitas, dan peneliti terkait kondisi lumpur dan dampaknya pada ekosistem,” terang Ayu.

 

Exit mobile version