Mongabay.co.id

Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Lamun dan Penyu

 

Perubahan iklim dalam segala bentuk telah dirasakan secara nyata di seluruh dunia.  Salah satu yang paling besar dampaknya dirasakan adalah heat wave atau gelombang panas yang banyak terjadi di beberapa negara di Asia bagian selatan, Eropa dan di belahan bumi lainnya. Indonesia dianggap masih relatif aman dari dampak ini, meski peningkatan panas mulai terjadi.

“Alhamdulillah kita di Indonesia belum ada informasi bahwa kita mengalami heat wave tetapi sudah ada terjadi peningkatan, suhu dari rata-rata peningkatan suhu yang sebelumnya. Jadi peningkatan suhu itu sudah mulai ada dan itu bisa berdampak sangat besar bagi berbagai lini kehidupan,” ungkap Dr. Yayu Anugrah La Nafie, Seagrass Ecology Specialist, Marine Plastic Research Group (MPRG) Universitas Hasanuddin, Jumat, (8/12/2023).

Menurut Yayu, perubahan iklim banyak dirasakan dampaknya terhadap kesehatan, keragaman hayati, ketersediaan air, kesehatan ekosistem darat dan kesehatan ekosistem laut, termasuk pada ekosistem lamun.

“Pada lamun itu juga bisa berdampak, padahal kalau kita ketahui salah satu upaya untuk memitigasi perubahan iklim ini adalah dengan mempertahankan tumbuhan yang ada di darat maupun di laut dan tumbuhan yang berada di laut seperti halnya lamun,” katanya.

Menurutnya, salah satu fungsi lamun adalah dia mampu menyerap dan menyimpan karbon, sementara karbon itu sendiri atau karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca.

“Lamun memiliki kemampuan dalam menyerap karbon sehingga meminimalisir efek gas rumah kaca di atmosfer, sehingga upaya konservasi lamun juga termasuk salah satu upaya untuk memitigasi perubahan iklim,” katanya.

baca : Padang Lamun, Si Rumput Laut Pencegah Erosi Pantai dan Penyimpan Karbon

 

Restorasi lamun di Pulau Salissingan sebagai upaya untuk memperbaiki habitat penyu, yang dilakukan oleh peneliti dari MPRG Unhas. Foto: MPRG Unhas.

 

Upaya konservasi lamun sebagai upaya mitigasi perubahan iklim sudah banyak juga dilakukan. Kesadaran akan fungsi lamun itu sudah mulai meningkat, di mana orang sudah mulai tahu bahwa lamun itu banyak fungsi dan bernilai ekonomis.

“Banyak juga ikan-ikan bernilai ekonomis penting yang terdapat di sekitar lamun, tempat hidup berbagai organisme laut, kemudian juga sebagai pelindung pantai dari abrasi meredam gelombang laut.”

Hanya saja, dalam upaya konservasi lamun terkadang mengalami kendala antara lain karena masih rendahnya pengetahuan akan lamun dibanding terumbu karang, sehingga konservasi lebih banyak dilakukan untuk terumbu karang.

“Lamun dianggap sebagai tumbuhan yang tidak punya nilai, padahal lamun sebenarnya banyak sekali fungsi dan nilainya itu tadi, jadi sehingga dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya lamun, sehingga upaya konservasi itu bisa terkendala.”

Hal lain karena peraturan yang kurang diterapkan dalam hal perlindungan ekosistem, utama ekosistem laut yang masih kurang maksimal pelaksanaan daripada peraturan yang ada.

“Kami juga melihat pendanaan untuk lamun masih sangat terbatas. Untuk memperoleh pendanaan ini kadang ada hambatan-hambatan atau kendala-kendala yang dihadapi karena keterbatasan pendanaan untuk lamun ini.”

baca juga : Padang Lamun, Gudang Karbon yang Terancam Punah

 

Seorang penyelam menjelajahi padang lamun dengan terumbu karang di perairan Indonesia. Foto : shutterstock

 

Menurut Yayu, selain faktor alami seperti badai, hujan badai, dan tsunami, kerusakan lamun dipicu oleh faktor manusia.

“Faktor-faktor alami seperti hujan badai itu bisa mengangkat lamun beserta akar-akarnya, sampai ke akar-akarnya, sehingga bisa menyebabkan penurunan luasan dari lamun itu sendiri dan kematian pada lamun.”

Faktor manusia terkait aktivitasnya tidak hanya di wilayah pesisir namun juga di wilayah yang jauh dari pesisir.

“Di daerah yang jauh dari pesisir juga itu bisa menyebabkan terjadinya kerusakan lamun. Misalnya dari daerah perkebunan yang ada mungkin yang jauh dari pantai. Daerah aktivitas perkebunan yang mungkin bisa menyebabkan adanya banyak penggunaan pupuk. Dengan adanya aliran runoff atau aliran dari sungai itu yang membawa pupuk sampai ke laut, perairan yang pada akhirnya merusak lamun.”

 

Dampak Perubahan Iklim pada Penyu

Tidak hanya pada lamun dan terumbu karang, perubahan iklim juga berdampak pada eksistensi penyu.

Menurut Prof. Dr. Chair Rani, Marine Conservationist MPRG Universitas Hasanuddin, terdapat beberapa pengaruh perubahan iklim pada penyu. Pertama, suhu yang tinggi di sarang peneluran akan menghasilkan ‘ketidaksetaraan gender’.

Di Indonesia misalnya, hasil penelitian kalau suhu 29 derajat ke atas maka telur yang ditetaskan menghasilkan tukik yang semuanya betina. Sementara pada suhu di bawah 29 akan banyak menghasilkan jantan.

“Nah kalau nanti climate change suhu meningkat maka sarang penelurannya juga meningkat suhunya. Maka yang banyak terjadi adalah betina yang tak ada pasangannya, betina tua akan mati tanpa menghasilkan telur sehingga populasi yang dibuahi oleh berkurang juga.”

 baca juga : Perubahan Iklim Bisa Sebabkan Penyu Punah  

 

Telur penyu rentan terdampak perubahan iklim dengan semakin tingginya muka air laut. Peningkatan suhu di atas 29 derajat juga berdampak pada pembiakan penyu karena akan didominasi oleh penyu betina. Foto: MPRG Unhas.

 

Pengaruh kedua terkait muka air laut yang naik sehingga daerah peneluran penyu terendam. Dampaknya, telurnya tidak bisa menetas sehingga membusuk.

“Kalau kita perhatikan hasil penelitian, kadar air yang diperlukan di sarang penyu itu tidak bisa lebih dari 3%, harus di bawahnya. Jadi kalau nanti muka air laut naik kena percikan air atau terendam maka pasti gagal untuk menetas.”

Intensitas badai yang tinggi juga akan menyebabkan abrasi yang ketika terjadi di daerah peneluran akan menghancurkan sarang penyu hancur dan hilang.

MPRG Unhas sendiri saat ini tengah mengerjakan proyek restorasi lamun dan terumbu karang sebagai upaya memperbaiki habitat penyu di Pulau Salissingan dan Gusung Durian di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat kolaborasi dengan Mubadala Foundation pada proyek Mubadala ID2.

Tim peneliti MPRG yang terlibat adalah ⁠Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, ⁠Dr. Ir. Shinta Werorilangi, ⁠Dr. Widyastuti Umar, Dr. Yayu Anugrah La Nafie, ⁠Dr. Syafyudin Yusuf, ⁠Prof. Dr. Ir. Chair Rani, dan ⁠Prof. Dr. Ahmad Faizal.

Proyek yang berlangsung dari 2022 ini akan berakhir pada 2024 mendatang. Mereka telah merestorasi lamun dan terumbu karang seluas 0,06 hektar serta melakukan pendampingan dan penyadaran pada masyarakat untuk menjaga kelestarian penyu agar tidak punah.

 

Exit mobile version