Mongabay.co.id

Selamat Jalan Kuntoro Mangkusubroto, Sosok Peduli Lingkungan dan Masyarakat Adat Ini Berpulang

Kuntoro Mangkusubroto

 

 

 

 

 

 

Indonesia berduka kehilangan sosok yang konsisten,  berkomitmen dalam bekerja dan berintegritas dalam kesederhanaan. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4)  era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, juga Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh, telah berpulang pada dunia Minggu (17/12/23) di RSCM Kencana, Jakarta.

Kerja-kerja pria yang lahir 14 Maret 1947 ini  banyak diakui para pihak.Seperti kerja  Kuntoro dan tim, saat pemulihan Aceh pasca tsunami mendapat banyak pujian. Dia juga sosok yang konsern pada lingkungan dan masyarakat adat.

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami menghancurkan sebagian besar Aceh, rumah dan fasilitas publik hancur, memaksa yang selamat mengungsi. Ia jadi bencana paling mematikan dalam sejarah karena berdampak terhadap 11 negara dan menewaskan lebih 230.000 jiwa.

Aceh dan Kabupaten Nias, Sumatera Utara,  harus dibangun lagi setelah bencana yang meluluhlantakkan daerah itu.

Pada 16 April 2005, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias terbentuk dan Kuntoro menjadi kepalanya.

Tidak mudah membangun kembali Aceh yang luluh lantak karena tsunami, terlebih saat itu di provinsi ini konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia belum berakhir.

“Agar pekerjaan saya tidak terganggu karena konflik bersenjata, saya sampai minta perlindungan politik kepada pemerintah,” kata Kuntoro kala itu.

Untuk mempermudah memimpin pembangunan kembali Aceh, dia harus bertemu pemimpin tertinggi GAM, Hasan Tiro di Swedia.

“Saya harus melakukan ini untuk melindungi orang-orang yang bekerja membangun kembali ke Aceh, termasuk pekerja LSM asing yang membantu Aceh,” ujar Kuntoro.

Kerja-kerja Kuntoro bersama tim ini mendapat perhatian dunia.

Badrul Irfan,   pegiat lingkungan dan Sekretaris Yayasan HaKA mengatakan, saat Kuntoro menjabat Kepala BRR Aceh–Nias, sangat mendukung pelestarian lingkungan dan hutan di Aceh.

“Beliau anggota Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri, saat bekerja di BRR beliau sangat mendukung kerja-kerja pegiat lingkungan,” kata Badrul.

Badrul menyebutkan, pada tahun 2007, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf membentuk Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), saat awal-awal BPKEL dibentuk, Kuntoro banyak membantu.

“BRR saat itu sangat mendukung pembentukan BPKEL, karena menurut Pak Kuntoro, Leuser harus diselamatkan dari kerusakan,” katanya,  yang saat itu bekerja di BPKEL.

Dia masih ingat, saat Kuntoro memimpin pembangunan kembali Aceh, mengingatkan agar rehabilitasi dan rekonstruksi tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, juga lingkungan.

Integritas Kuntoro bekerja di lingkungan pemerintahan yang tidak terpengaruh oleh politik merupakan hal juga membuat kagum. Heru Prasetyo, dulu Deputi UKP4 juga pernah jadi Kepala BP REDD+ mengatakan, Kuntoro tak ragu mengajak bicara dan membentuk tim yang terdiri dari orang non-politik hingga ‘dimusuhi pemerintah’.

Bagi Kuntoro, terpenting bekerja yang bermanfaat jelas.

“Juga di Satgas REDD+, kita bekerja dengan orang-orang dari IPB, CIFOR, Universitas Andalas, dan Universitas Hasanudin untuk mendapat masukan menyusun program dan strategi mengurangi emisi dari deforestasi.”

 

 

Duta Besar untuk Perubahan Iklim Norwegia, Hans Brattskar (tengah), bersama Duta Besar Norwegia untuk Indonesia, Eivind Homme (kiri), dan Ketua Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+, Kuntoro Mangkusubroto (kanan) pada 13 Maret 2012. Foto: Satgas REDD+

 

Keterbukaan Kuntoro terhadap berbagai pihak juga dikenang Bustar Maitar, CEO Yayasan EcoNusa.

Kala di Greenpeace saat itu, Bustar kerap berinteraksi dengan Kuntoro yang di UKP4 salah satu konsern meneguhkan komitmen-komitmen isu hutan.

“Beliau sangat egaliter. Saya masih ingat ketika Greenpeace aksi, saya yang pimpinan kampanye waktu itu justru diajak ngobrol,” katanya.

Aksi dan diskusi bisa berjalan berbarengan tanpa hambatan atau pembubaran. “Tidak banyak pejabat saat kami protes, kritik, tapi kami tidak dibubarkan, malahan dia bilang ‘mari kita duduk untuk saya pahami apa yang anda inginkan,” kenang Bustar.

Dia melihat ada ketulusan dalam diri Kuntoro untuk menegakkan perjuangan, termasuk urusan membela hutan Indonesia jadi menjadi lebih baik.

“Saya melihat beliau ini memiliki ketulusan kuat memperbaiki Indonesia secara keseluruhan.”

Bagi Abdon Nababan, pegiat masyarakat adat, Sekjen AMAN ketika Kuntoro Kepala UKP4, Kuntoro memiliki kemampuan mendengar dan membangun empati terhadap hal-hal yang disampaikan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil.

“Dia memiliki kemampuan komunikasi lintas kepentingan, lintas disiplin, dan lintas ilmu,” katanya.

Latar belakang pendidikan Kuntoro di bidang teknologi, menurut Abdon, ‘kawin’ apik dengan jiwa sosial yang tinggi. Hingga kerap lahir keputusan-keputusan Kuntoro yang mengintegrasikan dengan ilmu sosial.

Dia contohkan, saat Kuntoro mendorong kebijakan satu peta di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu aspek yang diminta Kuntoro, hasil dari pembicaraan dengan Abdon dan berbagai pihak, adalah memasukkan wilayah adat dalam kebijakan itu.

“Buat saya, tidak banyak pejabat tinggi selevel dia, mau menerima gagasan-gagasan yang relatif dianggap anti pembangunan.”

Longgena Ginting, Kepala Greenpeace Indonesia 2013-2016 juga menceritakan kenangan akan sosok Kuntoro.

Pertama kali bertemu Kuntoro, sekitar awal 2013 di Kantor UKP4 “Kantor ini berada di dalam  kompleks Istana Negara namun memiliki akses tersendiri yang tidak harus melalui sekuriti kepresidenan,” katanya.

Kala itu, dia baru duduk sebagai Kepala Greenpeace Indonesia. Saat itu, katanya,  UKP4 adalah salah satu badan strategis pemerintah non sektoral (kementerian) yang jadi mitra strategis Greenpeace.

Kampanye prioritas Greenpeace kala itu adalah hutan dan lahan gambut. Organisasi ini, katanya,  menjalin kerjasama erat dengan UKP4 dalam isu kehutanan dan lahan gambut. “Karena itu saya meminta tim Greenpeace untuk mengajak saya ke kantor Pak Kun.”

Sebelum itu, Longgena sudah mengenal sosok Kuntoro dari karya fenomal pemulihan Tsunami Aceh. Dia sangat terkesan dengan kehangatan Kuntoro.

“Meski baru bertemu rasanya sudah mengenal beliau lama sekali karena keramahan dalam menyambut kami. Beliau bahkan melempar joke dengan memplesetkan nama saya dari Longgena menjadi longevity (panjang umur),” katanya.

Dalam pertemuan itu, mereka  membahas perkembangan moratorium hutan dan lahan gambut. Kampanye ini telah gencar dilakukan Greenpeace dan ornop-ornop Indonesia sejak awal 2000, dan jadi kebijakan nasional pada 2011.

Kuntoro juga Ketua Satgas Persiapan Kelembagaan REDD+ yang resmi jadi Badan Pengelola Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Lahan Gambut (BP REDD).

Dia, katanya,  bukan saja sosok konseptor handal juga implementor piawai. “Mengerti gambaran besar kebijakan dan mengerti hal-hal secara detail. Dalam reformasi kebijakan hutan dan lingkungan Indonesia, namanya  patut dikenang.”

Kuntoro dikenang juga sebagai pejabat yang berpihak pada masyarakat adat. Abdon mengatakan, tak hanya upaya memasukkan wilayah adat dalam kebijakan satu peta, juga kerap berbicara di panel-panel internasional terkait dukungan pada masyarakat adat.

“Pak Kun berhasil meyakinkan dunia internasional bahwa pengelolaan lingkungan, khusus hutan di Indonesia akan bisa jauh lebih baik kalau di tangan masyarakat adat dan komunitas-komunitas lokal,” ucap Abdon.

Bahkan, ada momen paling diingat Abdon ketika Kuntoro sebagai Kepala UKP4, menyelenggarakan konferensi internasional tentang keputusan MK35. Kenangan ini lekat, karena kementerian sektoral saat itu masih menolak keputusan Mahkamah Konstitusi.

Di konferensi itu, Abdon dan berbagai organisasi masyarakat sipil mendapat kesempatan membangun pemahaman holistik. “Sejak saat itu saya jatuh hati dengan Pak Kuntoro,” kenang Abdon.

“Kita bisa mengurai persoalan dengan meletakkan masyarakat adat sebagai pemangku hak, bukan hanya pemangku kepentingan. Ketika itu dilakukan, kita bisa mengurai persoalan besar di negeri ini,” kata Rukka Sombolinggi,  Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), mengenang ucapan Kuntoro Mangkusubroto, saat jadi Kepala UKP4.

Kuntoro,  orang pertama saat jadi Kepala UKP4,  yang menerima peta wilayah adat bersama Kepala Badan Informasi Geospasial.

Momen itu, kata Rukka, sangat bersejarah lantaran baru pertama kali ada pejabat pemerintahan menerima peta wilayah adat.

“Juga dalam berbagai perundingan iklim, beliau banyak sekali mengangkat dan memastikan masalah-masalah masyarakat adat jadi perhatian dalam negosiasi,” katanya.

AMAN,  katanya, bahkan pernah ditunjuk jadi salah satu delegasi Indonesia ketika masuk dalam perundingan internasional. Di dalam negeri pun, Kuntoro jadi sosok yang memastikan masyarakat adat sebagai salah satu safeguard dalam implementasi REDD+.

Keberpihakan pada masyarakat adat ini, kata Rukka, tidak lepas dari pengalaman Kuntoro sejak muda bersentuhan dan berinteraksi langsung dengan Orang Rimba. Dia kira itu jadi menjadi satu ikatan kuat antara Kuntoro dengan masyarakat adat.

 

 

Anak-anak Orang RImba, hidup di dalam rumah mereka, di hutan.  Masyrakat adat merupakan isu yang menjadi perhatian Kuntoro M saat menjadi Kepala UKP4. Foto: Aulia Erlangga/ Warsi

 

Tulus, bekerja terukur

Avi Mahaningtyas, yang masuk dalam tim Kuntoro saat di UKP4 sangat berduka mendalam atas kepergian orang yang dianggapnya seorang pemimpin, bapak, mentor, super bos, kawan diskusi, guru, teman debat, dan sebuah rumah ini.

“Kenapa sebuah rumah? Karena kalo dari mana-mana atau berada dimanapun, di luar tanah air, saya tahu bahwa saya bisa pulang kapanpun ke Pak Kun. Dalam situasi apapun dan keadaan apapun, sebagai siapapun.”

Bagi Avi, Kuntoro mengajarkan dunia selalu berubah, struktur berubah, pola kekuasaan di dunia berubah,  juga nasional.

“Kita harus terus menyesuaikan, penting untuk selalu membuka kepala dengan informasi baru, teknologi baru dan bagaimana memberikan makna terhadap kata ‘resiliensi. Cara kerja kita melayani juga akan berubah.”

Kuntoro, katanya,  mendayagunakan ratusan orang atau pihak di luar untuk membantu memperkuat tim inti di bawah koordinasi UKP4.

“Menurut saya itu adalah keputusan strategis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari sumber daya yang sangat terbatas yang diberikan oleh negara.  Pelibatan orang-orang dan para pihak yang memiliki jaringan serta sumber daya strategis ini sebetulnya sangat membantu merampingkan dan mengefektifkan daya di dalam tim di bawah budget negara,” katanya.

Orang-orang itu, katanya, tentu mempunyai kepentingan dan tujuan berbeda-beda. “Tetapi pada suatu ketika kita pasti melihat sebuah tujuan baik yang bisa dicapai bersama-sama, itu keahlian Pak Kun.”

Kuntoro, katanya, juga mampu mengelola berbagai kepentingan baik politik, bisnis, sosial, ekonomi, yang kadang-kadang saling berbenturan.

“Bagaimana mengelola supaya masing- masing orang mendapatkan apa yang ingin dicapai dengan baik, tentu dengan perpecahan atau benturan yang harus dipertimbangkan dari depan. Jadi ini strategis bukan asal seperti percobaan,” katanya.

Menurut Avi, Kuntoro juga memiliki posisi sangat spesial tentang keberadaan dan kelangsungan hidup suku asli, masyarakat adat, dan masyarakat yang menggantungkan hidup maupun identitas pada alam.

Dia sebutkan satu contoh. Indonesia punya kebijakan moratorium izin hutan primer dan lahan gambut yang rilis pada 2011. Ia merupakan bagian dari kerjasama dengan Pemerintah Indonesia dan Norwegia waktu itu.

Yang menjadi dasar dasar pertimbangan dan keputusan waktu itu, kata Avi,  salah satunya posisi tenurial masyarakat adat dan pemegang hak pengelolaan wilayah hutan dan lahan gambut.

“Ini mungkin bukan hal baru, karena Undang-undang kita memang menjamin, tetapi bahwa itu dinyatakan sebagai sebuah proses yang formal dari seorang pejabat negara yang membuka jalur untuk kemungkinan masyarakat yang memiliki kepentingan ini menyuarakan itu menurut saya perlu kita catat dengan serius.”

Heru mengatakan, Kuntoro sosok yang memiliki banyak spektrum keahlian dan perhatian.

Dari semua spektrum itu, katanya, Kuntoro memiliki tiga sifat yang menjadikan sifat istimewa, yaitu, integritas, compassion, dan decision making.

“Saya anggap Pak Kuntoro sebagai pemimpin, pemandu, mentor, juga sahabat. Seperti saudara saya. Prinsip-prinsip yang dipegang Pak Kun ini sejalan banget dengan saya,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Masih lekat dalam ingatan Heru saat bekerja bersama Kuntoro di Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias (NAD). Ini sebuah badan yang dibentuk karena tsunami tahun 2004.

Saat itu, Kuntoro kepala badan yang dibentuk untuk mengoordinasikan program dan proyek pemulihan di dua daerah yang terdampak tsunami itu.

 

Museum Tsunami. Wisatawan berkunjung ke Museum Tsunami Banda Aceh, Aceh, 29 Desember 2012. Museum Tsunami dibangun Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Ini salah satu tempat menyimpan benda-benda yang menjadi bukti kedasyatan tsunami yang terjadi 26 Desember 2004. Foto: Junaidi Hanafiah

 

Integritas, welas asih dan kemampuan mengambil keputusan pria yang akrab disebut Pak Kun itu membuat pemulihan di Aceh dan Nias bisa berjalan baik.

Heru bilang, tak mudah bekerja dengan banyak organisasi masyarakat sipil dan aliran dana datang dari internasional untuk pemulihan.

Kuntoro, katanya,  bisa mengatur itu semua hingga reputasi dikenal secara global. Keberhasilan BRR NAD-Nias ini juga membuat Kuntoro dipercaya mengelola dana iklim dari Norwegia yang diperoleh dari Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan Norwegia melalui Satgas REDD+.

“Waktu di Aceh, kami membuat satu gerakan tak membolehkan pembangunan perumahan di Aceh pakai kayu dari gunung-gunung yang ilegal,” katanya, seraya bilang, Kuntoro punya reputasi untuk tak semena-mena dengan lingkungan.

Di Satgas REDD+, Kuntoro lagi-lagi menunjukkan integritas dan pengambilan keputusan yang membuat Heru kagum. Dana Norwegia tak boleh masuk dalam APBN.

Kalau dana internasional masuk APBN, katanya, penggunaan bisa dipaksa untuk hal lain ketika keterdesakan menurun.

“Ini yang tegas banget dipegang Pak Kun. Makanya duit Norway ini harus dikelola non-APBN dan internasional, dipilihlah UNDP,” kata Heru.

Tak jauh beda dikatakan  Nirarta Samadhi, dulu juga Deputi UKP4, sekarang Country Director WRI Indonesia mengatakan, Kuntoro mengajarkan selalu menerima tantangan dan manjawab dengan cara tidak standar alias inovatif.

“Kita perlu satu peta” adalah respon beliau ketika mencermati masalah pengelolaan hutan dalam kerangka REDD+ berangkat dari LOI antara Pemerintah Norwegia dengan Indonesia,” katanya.

Respon pendek itu, katanya,  kemudian orang-orang di jajarannya terjemahkan dalam konsep dan pendekatan teknis yang dalam perkembangannya jadi kebijakan satu peta.

Kemampuan Kuntoro mengambil keputusan juga dikagumi Mas Achmad Santosa, dulu Deputi UKP4. Pria yang kini menjabat CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) ini menyebut,  Pak Kun memiliki kemampuan mengambil keputusan dan manajerial yang baik saat mengepalai UKP4.

Kemampuan itu dibalut karisma yang membuat banyak orang bekerja dengan dengannya tak segan memberikan waktu lebih demi mencapai hasil target.

“Kami tidak rugi sama sekali kalau kerja dengan Pak Kun sampai pagi. Kami juga yakin yang dikerjakan Pak Kun itu untuk kebaikan pemerintahan,” kata pria yang akrab disapa Mas Ota itu.

Mas Ota masih ingat kesederhanaan Kuntoro. Saat menjabat sebagai Kepala UKP4, dia tidak pernah sekalipun pakai fasilitas voorijder  (ajudan).

Padahal, Kuntoro menjabat posisi tinggi di pemerintahan karena berada langsung di bawah presiden.

“Dia rela macet-macetan. Dia pakai sopir yang tahu jalan-jalan tikus.”

Kesederhanaan, kejujuran dan integritas Kuntoro membuatnya kerap didengar petinggi lembaga peradilan.

Untuk pembenahan aspek hukum, Kuntoro selalu berinteraksi dengan penegak hukum dan lembaga peradilan. Setiap temuan dan masukan yang dia berikan didengar tanpa membuat tersinggung pimpinan lembaga peradilan.

“Pak Kun ini memiliki ciri khas approach orang, mengajak orang membenahi tata kelola internal.”

Perhatian khusus Kuntoro di bidang lingkungan membuat Mas Ota makin nyambung saat kerja bareng termasuk dalam urusan hukumnya.

Dalam penegakan hukum pun dia anti diskriminatif. “Pernah ada perusahaan sangat dekat dengan kekuasaan, ketika itu ada temuan pelanggaran hukum. Pak Kun bilang ‘teruskan!’

Kuntoro memang pecinta lingkungan. Sejak muda, dia berkiprah sebagai anggota pecinta alam Wanadri.

Pengalaman Kuntoro sebagai Menteri Pertambangan dan Energi sangat mempengaruhi praktik keseimbangan antara ekonomi dan perlindungan alam yang tak hanya sekadar jargon.  Kuntoro merupakan Menteri Pertambangan Kabinet Pembangunan VII pada  1998 dan  Menteri Pertambangan Kabinet Reformasi Pembangunan tahun 1998-1999.

“Beliau meminta kami, stafnya, untuk audit HPH, HTI, dan perkebunan, untuk dilihat apakah memenuhi syarat agar mampu mencegah kebakaran hutan dan lahan.”

 

Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, juga Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh

 

******

 

 

Exit mobile version