Mongabay.co.id

Potret Konflik Lahan Tambang Emas di Pahuwato [2]

 

 

 

 

 

 

Persoalan tambang di Pahuwato, Gorontalo, tak sekadar  masalah konflik lahan dan sumber daya alam antara masyarakat dan perusahaan seperti ricuh pada 21 September lalu. Konsesi perusahaan tambang PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PETS) dan PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM) diduga berada di Cagar Alam Panua. Merujuk peta geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), kontrak karya GSM masuk kawasan konservasi di Gorontalo itu.

Tarmizi Abas, Koordinator Peneliti Institute for Human and Ecological Studies (Inhides), saat riset soal pertambangan emas di Gorontalo menemukan, konsesi kontrak karya GSM masuk Cagar Alam Panua.

“Luas konsesi Gorontalo Sejahtera Mining, sebenarnya di dalam Cagar Alam Bumi Panua. Harusnya kritik tajam dari gerakan aksi massa juga menyasar GSM, alih- alih fokus ke PETS,” katanya saat dihubungi Mongabay.

Dia bilang, praktik pengelolaan kawasan yang tumpang tindih antara wilayah kelola perusahaan dan kawasan konservasi seakan hal lumrah.

Kalau melihat RTRW Gorontalo secara seksama, katanya, banyak pelepasan kawasan lindung hanya untuk kebutuhan wilayah perusahaan. “Dalam arti lain memenuhi kebutuhan investasi dan pemodal.”

Kepentingan pelestarian lingkungan, masyarakat, dan kepastian penghidupan, malah terpinggirkan bahkan terjadi benturan hingga berisiko muncul konflik sosial.

“Wacana perebutan ruang dalam konteks operasi ekstrakif, pada akhirnya tentang kelangsungan dan keberlanjutan ekosistem ekologis yang menunjang aktivitas kehidupan dan penghidupan masyarakat lokal,” katanya.

Ketika ekstraktif muncul dan ekspansi, akan ada implikasi serius, yakni, kehilangan kehati, sungai, laut dan tanah tercemar karena limbah. Juga penggunaan unsur kimia dalam proses pengolahan emas.

Belum lagi, kata Tarmizi,  dampak pada kesehatan masyarakat, dan konflik horizontal antara masyarakat. “Yang harusnya dilihat sebagai satu kesatuan dari alam semesta, bukan hal terpisah,” katanya.

PETS dan GSM, melalui siaran pers menyebutkan,  proyek PGP berdasarkan izin-izin yang diperoleh dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah punya IUP dan kontrak karya sah.

Praktik bisnis dan operasional,  mereka sebut sesuai peraturan dan hukum berlaku, serta menerapkan prinsip enviroment social and governance (ESG). Dalam siaran pers perusahaan bilang, operasi produksi mereka jauh dari pelanggaran atau merambah kawasan dilindungi.

 

Baca juga: Potret Konflik Lahan Tambang Emas di Pahuwato [1]

Kantor Bupati Pahuwato jadi sasaran kekesalan massa September lalu. Foto: Sartjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Syamsu Hadju, Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) wilayah II Gorontalo, juga menerangkan hal sama. Konsesi perusahaan tambang di  Gunung Pani tak masuk kawasan dilindungi, termasuk Cagar Alam Panua.

“Sebagian wilayah Cagar Alam Panua di Pohuwato masuk dalam kawasan pertambangan, tapi wilayah pertambangan rakyat, bukan perusahaan,” terang Syamsu saat dikonfirmasi via telepon.

Tak hanya dugaan tambang masuk dalam kawasan konservasi, air pun mulai tercemar. Riset  Ramli, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Gorontalo pada 2015, memperlihatkan terjadi pencemaran.

Riset dari beberapa sampel biota perairan dari area hilir sungai di Kecamatan Marisa dan Randangan, ditemukan ada kandungan merkuri. Di hulu sungai ada pertambangan emas.

Biota perairan yang terpapar merkuri, terdiri dari lima spesies ikan, dua gastropoda, enam pelecypoda, empat crustacea  serta lima spesies mangrove.

Kandungan merkuri itu sudah melalui uji lab dan jadi indikator pencemaran atas aktivitas pertambangan.

Solidaritas Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekologis (Somasi) juga sepakat, pemberian kontrak kerja kepada GSM sesungguhnya bentuk pelanggaran terhadap kebijakan pembangunan berkelanjutan.

“Cagar Alam Panua memiliki kekayaan biodiversitas melimpah. Panua juga jadi rumah bagi satwa langka seperti maleo dan julang Sulawesi yang kini dalam keadaan kritis dan terancam punah,” tulis Somasi dalam pernyataan sikapnya.

Somasi adalah koalisi dari masyarakat sipil terdiri dari beberapa organisasi, komunitas, mahasiswa, organisasi jurnalis. Mereka sepakat merespon permasalahan pertambangan di Pohuwato yang berujung pada kericuhan.

Somasi meminta pertanggungjawaban pemerintah daerah untuk peninjauan kembali kepada perusahaan yang mendapatkan izin pinjam pakai kawasan pertambangan di Pohuwato.  Juga menuntut BKSDA menjalankan peran memperbaiki dan memastikan kelestarian ekosistem lingkungan di Pohuwato.

 

Bentuk Sungai Taluduyunu yang mengalami kekeruhan dan berwarna kecoklatan ialah dampak dari aktivitas pertambangan yang dilakukan di bagian hulu. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Dugaan pelanggaran HAM

Sementara itu, dari aksi massa berujung ‘panas’ pada  21 September lalu itu ada dugaan pelanggaran oleh kepolisian dalam melakukan pengamanan. Ada yang dihajar hingga babak belur, hingga ada warga yang tidak ikut aksi justru ditangkap dan dianiaya oleh oknum polisi.

Ahmad Hafiz, Kuasa Hukum Rein Suleman, orator dalam aksi itu mengatakan, oknum-oknum polisi menganiaya demonstran yang ditangkap, termasuk termasuk Rein. Dia bilang, Rein mengalami luka dalam dan luka luar, yaitu,  lebam pada sekitar mata, bibir pecah, dada sakit dan terkadang sesak napas, serta sakit di telinga bagian belakang.

Hal serupa juga dirasakan Abdul Rizal Lasantu dan Ramin Igrisa, juga orator dalam aksi itu. Menurut Ali Rajab, kuasa hukum mereka, keduanya babak belur saat diamankan polisi. Keluarga  korban pun sempat dilarang polisi menjenguk karena kondisi keduanya tidak sehat.

“Kami sempat protes ke polisi karena kami tidak diizinkan menjenguk. Nanti saya kami protes, baru bisa diizinkan kami bertemu dengan mereka,” kata Ali Rajab kepada Mongabay Oktober lalu.

Selain itu, kata Hafiz, gubernur dan kapolri harus mengusut tuntas kesalahan dalam penanganan aksi massa yang tidak sesuai standar operasional prosedur (SOP) pengendalian massa danUU  HAM. Pasalnya, pengamanan aksi oleh polisi dengan kekerasan itu menciptakan ketakutan luar biasa pada sebagian masyarakat Pohuwato.

“Kami melakukan pengumpulan keterangan di lokasi. Kami menemukan penanganan aksi yang terjadi pada 21 September lalu itu ciptakan ketakutan luar biasa pada sebagian masyarakat Pohuwato,” kata kata Hafiz.

Hafiz meminta,  kepolisian wajib menjalankan amanat Pasal 27 dan 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjelaskan tentang pengakuan, jaminan, perlindungan dan persamaan di depan hukum. Kedua pasal itu, katanya, mengatur tentang hak persamaan kedudukan warga negara di dalam hukum dan kewajiban menjunjung hukum.

Kapolda Gorontalo Irjen Pol Angesta Romano Yoyol membantah anggapan itu.

Menurut dia, dalam pengamanan massa aksi pada 21 September lalu, anggotanya sudah melakukan tugas sesuai aturan dan prosedur operasi standar. Justru, katanya, 10 anggotanya luka-luka dan patah tulang saat melakukan pengamanan.

“Setiap demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi, kami tetap pengawalan sesuai aturan hukum berlaku. Jika penyampaian aspirasi itu sudah merusakan fasilitas umum, apalagi merusak aset-aset negara harus kita lakukan tindakan tegas dan terukur,” katanya

 

Lanskap wilayah Desa Hulawa, Kecamatan Buntulia, Pohuwato. Sungai berwarna kecoklatan dan bukit yang kelihatan gundul adalah wajah pertambangan yang ada di kawasan proyek emas pani. Foto: Zulkifli Mangkau

 

 

Verifikasi ulang 

Buntut dari aksi aksi pada 21 September lalu, semua proposal tali asih milik warga penambang akan verifikasi ulang berdasarkan sosialisasi tahapan tali asih yang dipimpin langsung Penjabat Gubernur Gorontalo, Ismail Pakaya, di Hotel Sunrise Marisa akhir Oktober lalu.

Ismail Pakaya bilang, kebijakan itu diambil berdasarkan pertemuan Pemerintah Gorontalo, para penambang dan pimpinan perusahaan. Katanya, proses verifikasi akan langsung di lapangan melibatkan perusahaan, pemilik lokasi, tokoh masyarakat, satgas, serta unsur TNI dan Polri.

“Verifikasi di lapangan mulai 21 Oktober 2023, ditargetkan paling lambat akhir tahun ini seluruh lokasi sudah diverifikasi,” kata Ismail Pakaya.

Kini, verifikasi sudah berjalan.  Yang sudah menerima ganti rugi, salah satunya, Daud, warga Buntulia, Pohuwato. Dia bilang, lahan sekitar tiga titik lokasi, dan perusahaan hanya bayar Rp3,5 juta dalam satu lokasi. Kalau dijumlahkan, dia terima sekitar Rp10,5 juta.

Sebenarnya, kata Daud, harga perusahaan sangat kecil. Awalnya, dia mematok harga lahan Rp50 juta dalam satu titik lokasi, seharusnya, semua terima sekitar Rp150 juta. Karena dalam proses verifikasi perusahaan itu melibatkan unsur TNI dan polri, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Meskipun tak ikut aksi 21 Oktober lalu, kata Daud, peristiwa itu menjadi pengalaman pahit bagi warga penambang.  Dia bilang, banyak yang trauma dan akhirnya menyerahkan lahan-lahan mereka ke perusahaan tanpa menuntut banyak hal, termasuk harga. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan takut protes.

“Apalagi proses pembayaran langsung di lokasi yang melibatkan TNI dan Polri. Kami langsung menerima harga yang dipatok perusahaan, meski dalam hati menolak. Daripada lahan kami tidak dibayar,” katanya kepada Mongabay November lalu.

Walaupun begitu, katanya, masih banyak warga penambang menolak dengan harga yang ditawarkan perusahaan. Ada juga yang tidak mau menjual lahannya.

“Kalau kami takut protes, karena kami tidak tahu apa-apa. Kami tidak sekolah.”(Selesai)

 

Area Pani Gold Project (PGP) di Pahuwato. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version