Mongabay.co.id

Gubernur Malut Terjerat Kasus Korupsi, Bos Tambang Nikel Pulau Obi Ikut Terseret

 

 

 

 

Kedua tangan Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara terborgol saat memasuki ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu, (20/12/23).  Dia pakai rompi orange sambil berjalan pelan dituntun petugas antirasuah duduk di kursi yang disediakan.

Gubernur dua periode itu tak sendirian, ada enam orang lain terseret saat KPK mengumumkan penetapannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi lelang jabatan dan pengadaan barang dan jasa di Maluku Utara.

Empat orang merupakan anak buah gubernur, yaitu,  Adnan Hasanudin, Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim); Daud Ismail, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR); Ridwan Arsan, Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ), serta Ramadhan Ibrahim, tak lain ajudan gubernur.

Sedangkan dua yang lain dari kalangan swasta, yaitu,  Stevi Thomas, Direktur PT Trimegah Bangun Persada Tbk, dan Kristian Wuisan, pemilik sekaligus Direktur PT Birinda Perkasa Jaya. Kristian akan dipanggil KPK.

Stevi, Adnan, Daud, dan Kristian, sebagai pemberi suap dan gubernur,  Ridwan, dan Ramadhan sebagai penerima suap yang disangkakan melanggar UU Tindak Pidana Korupsi.

Sebelumnya, ada 18 orang ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) 18 Desember lalu di Jakarta dan Ternate. Gubernur dan enam orang ini akan ditahan selama 20 hari, terhitung sejak dibekuk–untuk proses ke tahap penyidikan.

Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK saat konferensi pers mengatakan, mereka terjerat kasus suap proyek infrastruktur dan dugaan jual beli jabatan dalam tubuh di pemerintahan Malut.

Gubernur diduga menerima suap dari proyek infrastruktur yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Pagu anggaran mencapai Rp500 miliar dengan prioritas untuk mempercepat proses pengadaan dan pembangunan infrastruktur di bawah pemerintah provinsi.

Anggaran itu bikin Gani gelap mata. Dia disebut ikut serta dalam menentukan kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek pekerjaan infrastruktur. Tiga anak buahnya, Adnan, Daud, dan Ridwan diminta menyampaikan berbagai proyek di Malut kepadanya.

Proyek itu antara lain, pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga serta pembangunan jalan dan jembatan ruas Saketa-Dehepodo di Halmahera Selatan. Dari proyek itu, mantan anggota DPR selama 2004-2007 ini turut menentukan besaran yang jadi setoran para kontraktor.

“Gubernur juga sepakat dan meminta AH (Adnan), DI (Daud), dan RA (Ridwan untuk memanipulasi progress pekerjaan seolah-olah telah selesai di atas 50% agar anggaran dapat segera dicairkan,” kata Alexander.

Kristian, sebagai kontraktor yang memenangi proyek itu menyanggupi memberikan komisi kepada gubernur. Dalam catatan Tempo, Direktur PT Birinda Perkasa Jaya ini disebut kerap memenangi lelang proyek pembangunan jalan dan jembatan di Maluku Utara.

Sementara, Stevi Thomas, bos TBP memberikan uang kepada gubernur melalui Ramadhan, sebagai orang kepercayaan gubernur. Uang sogokan itu untuk proses perizinan pembangunan jalan yang disebut Alexander melewati perusahaannya—yang tak lain adalah kompleks kawasan industri nikel Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Agar modus penyuapan ini tak terendus, Gani mengakali teknis penyerahan uang melalui tunai ataupun rekening penampung dengan gunakan rekening bank atas nama pihak lain maupun swasta.

“Sebagai bukti permulaan awal, terdapat uang yang masuk ke rekening penampung sejumlah Rp2,2 miliar.”

Uang suap itu untuk kepentingan pribadi Gani seperti penginapan atau hotel dan membayar biaya kesehatan.

KPK, kata Alexander, juga akan mendalami dugaan kasus suap yang diterima Gani dari aparatur sipil negara (ASN) Malut untuk mendapatkan rekomendasi dan persetujuan menduduki jabatan di lingkup pemerintahan provinsi.

“Jangan-jangan tidak hanya kepala dinas, juga para pejabat-pejabat lain juga.”

Dia menyinggung sedikit terkait pertambangan nikel di Maluku Utara. Menurut dia, tidak menutup kemungkinan ada dugaan lain, karena  Malut“terkenal dengan tambang nikelnya.”

“Jadi ini informasi-informasi yang sementara masih terus didalami. Nanti dalam proses penyidikan, karena ada dugaan banyak sekali aliran uang yang masuk lewat rekening-rekening orang-orang kepercayaan AGK.”

 

Kondisi air laut di Pulau Garaga, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan yang tercemar aktivitas tambang. Foto : DKP Halmahera Selatan

 

 

Masalah tambang?

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menduga, korupsi yang melibatkan Gani sesungguhnya tidak hanya sebatas pelelangan jabatan dan pengadaan barang dan jasa. Juga proses penerbitan izin tambang, pembahasan rencana tata ruang wilayah (RTRW), hingga pemberian operasi perusahaan tambang yang melanggar regulasi.

“Selama dua periode menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara, Gani tercatat mengobral 54 izin usaha pertambangan,” kata Melky Nahar, dari keterangan tertulis yang diterima Mongabay.

Dari catatan Jatam, selama gani berkuasa pada periode pertama 2014-2019, dari seluruh izin tambang yang terbit, 26 IUP diduga abal-abal.

Puluhan izin tambang itu diduga melanggar UU No.4/2009 tentang Minerba—sebelum revisi jadi UU No.3/2020—dan PP No.23/2010 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Juga, permen energi sumber daya mineral (ESDM) No.25/2015 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Izin-izin tambang yang bermasalah itu, empat keluar kepada PT Halmahera Jaya Mining, CV Orion Jaya, PT Kieraha Tambang Sentosa, dan PT Budhi Jaya Mineral. Perusahaan yang disebut terakhir merupakan anak Harita Group yang beroperasi di Pulau Obi, Halmahera Selatan.

Basis data Jatam juga mencatat sebelum dan pasca Pilkada 2018, saat Gani ikut berkontestasi dan terpilih, juga disebut mengobral 36 izin tambang.

Penerbitan izin tambang pada tahun politik ini diduga sebagai bagian dari praktik ijon politik.

Gani, kata Melky, berkepentingan mendapatkan dana operasional kampanye, sementara perusahaan berkepentingan mendapatkan jaminan hukum atas keberlanjutan investasi.

Pada 2022, Gani juga merekomendasikan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memunculkan 13 izin di aplikasi MODI dan MOMI KESDM. Langkah ini dicurigai sebagai bagian dari transaksi gelap antara kepentingan perusahaan tambang dan Gubernur Gani.

Temuan lain disampaikan Faisal Ratuela, Direktur Eksekutif Walhi Maluku Utara. Dari catatannya, pada 2022,  ada 108 izin usaha pertambangan di Malut, lalu naik  jadi 116 IUP.

Saat proses pencabutan izin, termasuk pelelangan,  pemerintah daerah terkesan tertutup. Padahal, katanya,  izin-izin yang berada di wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berkaitan dengan perubahan fungsi ekologis dampak investasi pertambangan yang masif.

Dampak ikutan dari masifnya investasi pertambangan di Malut yaitu pelepasan kawasan hutan, pencemaran udara, tercemarnya pesisir laut. Seperti baru-baru ini di Teluk Weda, Halmahera Tengah, Teluk Buli, Halmahera Timur, dan perairan Pulau Obi, Halmahera Selatan.

“Namun tidak ada langka serius,” kata Faisal.

“Riset-riset publikasi itu tidak menjadi langkah awal atau langkah yang dilakukan dalam konteks pengawasan.”

Dengan terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Malut, kata Faisal, harus jadi langkah serius pemerintah daerah untuk audit dan pengawasan terhadap industri pertambangan secara serius dan menyeluruh.

Melky juga menyoroti kasus dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan Gani dan Stevi Thomas, petinggi TBP.

Keterlibatan elit politik lokal dan pengusaha tambang ini dia sebut penuh dengan transaksional. Kecurigaannya, bersekongkol mengeruk kekayaan tambang untuk kepentingan diri dan kelompok.

Perusahaan prihatin terkait kasus korupsi yang menyeret Stevi. Franssoka Sumarwi, Sekretaris TBP memastikan perusahaan patuh dan taat pada semua peraturan perundang-undangan serta menghormati proses hukum yang berjalan.

“Kami juga berkomitmen kooperatif sepenuhnya dalam proses penyelidikan yang sedang berlangsung dan berharap semoga permasalahan segera selesai dengan baik,” katanya, seperti dikutip Tandseru.

 

 

Semacam asap penuhi langit di sekitar kawasan industri nikel. Foto: Rifki Anwar untuk Mongabay Indonesia

 

Dia mengatakan,  kasus hukum ini tak berdampak signifikan terhadap perusahaan baik operasional maupun keuangan. Perusahaan akan tetap menjalankan seluruh kegiatan dan strategi sesuai target.

Berdasarkan laporan Jatam, pertambangan nikel dan pembangunan smelter di bawah Harita Group di Pulau Obi bukan tanpa masalah. Operasi sejumlah perusahaan, termasuk PT Trimegah Bangun Persada meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan ruang hidup warga yang dahsyat.

Ruang-ruang hidup warga terancam rusak, dan mengancam keselamatan kehidupan warga turun temurun. Tercatat, sumber air, keanekaragaman hayati, termasuk ruang laut tercemar parah, hingga terganggunya kesehatan warga.

Warga di tapak industri nikel juga berkonflik dan alami kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh perusahaan maupun aparat keamanan.

“Kami melihat proses hukum terhadap Gani cs mestinya tidak hanya berkutat pada korupsi lelang jabatan dan proyek pengadaan barang dan jasa semata, juga harus menyasar praktik korupsi sektor pertambangan yang lama mengendap tanpa penegakan hukum,” kata Melky.

Praktik korupsi sektor pertambangan ini, katanya,  tak hanya terkait antara Gani dengan petinggi Harita Group, diduga dengan perusahaan-perusahaan tambang lain, dengan izin selama Gani menjabat sebagai gubernur.

Melky mengatakan,  proses hukum Gani dan para tersangka lain mesti menjangkau aspek kerugian negara, termasuk yang dialami warga, tempat perusahaan-perusahaan beroperasi. Salah satunya,  terkait rencana operasi perusahaan tambang nikel PT Priven Lestari.

Konsesi perusahaan yang mencapai hampir 5.000 hektar ini, tumpeng tindih dengan lahan masyarakat dan mengancam satu-satunya sumber air warga di Kecamatan Buli, Halmahera Timur.

Konsesi perusahaan ini juga disebut berada di kawasan hutan. “Rencana penambangan yang berlangsung di tengah derasnya penolakan warga ini, sarat dengan politik transaksional.”

Gita Ayu Atikah, peneliti Transparency International Indonesia, menegaskan, KPK perlu mengambil langkah lebih tegas dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan korporasi.

Dia bilang, pola penyuapan yang terjadi selama ini seringkali melibatkan korporasi. “TII, mendesak KPK meminta pertanggung jawaban pidana korporasi,” katanya,  dalam siaran pers.

Melihat pola penyuapan, kata Gita, KPK juga harus minta pertanggungjawaban pidana korporasi dengan merujuk Pasal 4 Perma No.13/2016 tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.

Korporasi, katanya,  bisa diminta pertanggungjawaban karena memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana dilakukan untuk kepentingan korporasi. Korporasi, katanya, juga  membiarkan tindak pidana terjadi, atau korporasi tidak melakukan langkah-langkah pencegahan.

Dia bilang, kalau Jika dikaitkan dengan kasus yang dialami Trimegah Bangun Persada, kuat indikasi penyuapan untuk penerbitan izin bangun jalan yang dilakukan Stevi Thomas untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan.

Perusahaan, katanya,  juga wajib melakukan upaya dan mengimplementasikan sistem pencegahan korupsi sesuai dengan profil risiko perusahaan hingga penawaran atau pemberian suap dapat dicegah.

Stevi Thomas, katanya,  sebagai salah satu Direktur Trimegah telah menandatangani tertulis Kkbijakan anti penyuapan/ gratifikasi, korupsi dan pencucian uang,  malah jadi tersangka.

 

 

KPK menangkap tangan Abdul Gani Kasuba, Gubernur Maluku Utara  (baju oranye) bersama belasan orang jajarannya dan swasta

 

********

Exit mobile version