Mongabay.co.id

Pari Jawa, Biota Laut Pertama yang Dinyatakan Punah

 

Perairan Teluk Jakarta menjadi satu-satunya tempat ikan Pari Jawa (Urolophus javanicus) atau the Java Stingaree untuk tumbuh dan berkembang biak. Salah satu spesies Pari yang sangat langka di dunia itu, kini disimpulkan sudah punah oleh Charles Darwin University, Australia melalui penelitian.

Tim peneliti yang beranggotakan akademisi dan ilmuwan itu, mengungkap bahwa Pari Jawa hanya sekali ditemukan pada 1862 di sebuah pasar ikan di Jakarta. Merujuk pada geografis saat ini, pasar ikan tersebut kemungkinan berdekatan dengan perairan Teluk Jakarta.

Sebelum menyimpulkan punah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lebih dulu melakukan penelitian sejak lebih dari 20 tahun lalu terhadap Pari di Indonesia. Salah satu spesies yang ikut diteliti, adalah Pari Jawa, yang hanya pernah ditemukan sekali.

Peneliti dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRO BRIN) Fahmi membenarkan bahwa saat ini Pari Jawa sudah dinyatakan punah dan diakui secara resmi oleh the International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Dia mengatakan, spesies tersebut teridentifikasi berdasarkan spesimen lama yang ditemukan pada masa kolonial Belanda. Saat ini, spesimen tersebut ada di Leiden, Belanda. Namun, selama waktu tersebut hingga sekarang, belum pernah ada yang melihat langsung Pari Jawa di laut.

“Memang itu sebenarnya, cerita sejarahnya,” ucap dia kepada Mongabay, pekan lalu.

Selain Pari Jawa, spesies Pari yang langka di dunia juga terdapat di Indonesia. Spesies tersebut adalah Pari yang ditemukan di sekitar perairan Kepulauan Kei, Provinsi Maluku. Seperti Pari Jawa, spesies di Kei tersebut juga belum pernah dilihat secara langsung oleh manusia.

baca : Upaya Konservasi Pari Terancam Punah di Karimunjawa

 

spesimen pari jawa. Foto : FAO

 

Namun demikian, berbeda dengan Pari Jawa, dia memperkirakan kalau populasi Pari di Kei masih aman statusnya sampai sekarang. Alasannya, karena perairan di sekitar Kepulauan Kei sampai sekarang masih belum banyak dijamah oleh manusia.

Itu berbeda dengan perairan Teluk Jakarta yang menghadap langsung ke Jakarta yang menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan nasional. Hal itu mengakibatkan populasi manusia sangat padat dan memengaruhi kondisi perairan laut sekitarnya melalui perilaku dan kebiasaan.

“Beda dengan di Teluk Jakarta, sangat masif penangkapan (ikan). Belum lagi tingkat kerusakan habitatnya yang sangat tinggi. Jadi wajar, jika Pari Jawa dianggap sudah punah. Hidupnya sangat terbatas, dekat dengan pesisir,” jelasnya.

Tetapi, mengingat belum pernah ada yang melihat langsung Pari Jawa, sampai sekarang tidak ada yang bisa memastikan habitat asli dari spesies tersebut ada di mana. Hanya, bisa dipastikan kalau spesies tersebut hidupnya dekat dengan perairan Pantai.

Untuk karakteristik perairan di Teluk Jakarta, Fahmi mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah sekitar 1 mil laut dari daratan dan mengarah sampai ke sekitar wilayah Kepulauan Seribu.

“Tahun 1862 (saat Pari Jawa mulai teridentifikasi), nelayan di sekitar Jakarta masih menangkap ikan di wilayah pesisir pantai,” sebutnya.

Kebiasaan menangkap di wilayah yang dekat dengan daratan itu, dipengaruhi oleh kondisi alam Teluk Jakarta yang saat itu masih sangat bagus. Kondisi itu memengaruhi sumber daya ikan (SDI) yang masih tersedia melimpah di pesisir.

Tentang penelitian Pari yang dilakukan BRIN sejak awal tahun 2000-an, dia mengatakan kalau itu dilakukan tidak intensif, kecuali sepanjang 2017 hingga 2020 yang dilakukan intensif. Selama periode tersebut, penelitian banyak melibatkan nelayan, khususnya nelayan rajungan dan ikan-ikan dasar.

Tetapi, dari keterangan para nelayan yang diwawancarai tim peneliti, tidak satu pun dari mereka ada yang mengaku pernah melihat Pari Jawa. Itu kenapa, tim peneliti dari Charles Darwin University bersama peneliti lain yang sudah melakukan penelitian tentang Pari Jawa, tidak berani menyimpulkan kapan tepatnya spesies itu mulai punah.

“Deklarasi punah itu sekarang, namun kajian memang sudah lama dilakukan,” terangnya.

baca juga : Produk Turunan Hiu-Pari Marak Diperjualbelikan

 

spesimen pari jawa. Foto : istimewa

 

Kepada Mongabay, dua kandidat doktor dari Charles Darwin University (DCU) yang menjadi anggota tim penelitian Pari Jawa, memberikan penjelasannya secara khusus. Keduanya adalah Julia Constance dan Benaya Simeon.

Julia memberikan keterangan bahwa penetapan Pari Jawa sebagai salah satu biota laut yang dinyatakan punah, dilakukan melalui penelitian mendalam bersama tim DCU. Selain itu, proses penetapan juga dilakukan melalui kajian terbaru hasil tim dari IUCN.

Berdasarkan kajian IUCN sebelumnya, Pari Jawa sudah masuk daftar merah spesies yang terancam punah. Melalui ketetapan itu, tim kemudian mengkaji informasi berdasarkan sejarah ekologi, semua upaya survei yang dilakukan, dan semua ancaman masif yang berdampak pada spesies selama 160 tahun terakhir.

Dia menerangkan, untuk berani menyimpulkan Pari Jawa sebagai biota laut yang sudah punah, tim melakukan penelitian selama tiga tahun untuk menganalisis seperti apa Pari Jawa selama kurun waktu sejak pertama kali ditemukan spesimen hingga sekarang.

Kegiatan riset dilakukan dengan menggunakan model yang sudah dikembangkan sejak 2017. Kegiatan riset juga sangat membantu tim untuk menyimpulkan bahwa Pari Jawa sudah punah, dan kesimpulan tersebut dilakukan bukan hanya berdasarkan waktu terakhir yang tercatat pada 1862 saja.

Ada pun, model yang digunakan untuk penelitian adalah kerangka kerja yang sudah dikembangkan oleh IUCN pada daftar spesies sangat langka. Model tersebut memodelkan ancaman dan memodelkan pencatatan, juga survei.

“Kombinasi dari dua model ini mengkalkulasikan kemungkinan-kemungkinan, di mana didapatkan spesies ini telah punah, berdasarkan ancaman, pencatatan, dan upaya survey yang dilakukan,” jelas dia.

Setelah melalui penelitian yang panjang, dengan menggabungkan model yang sudah digunakan IUCN, tim pun berani menyimpulkan kalau Pari Jawa memang sudah punah. Di antara banyaknya parameter yang memproses pengerucutan kesimpulan punah, adalah karena salah satunya tidak pernah tercatat sejak 1862.

Kemudian, ancaman yang tinggi dan ekstrem terhadap biota tersebut juga menjadi salah satu pertimbangan kesimpulan. Selain, tentu saja jumlah survei yang siudah dilakukan di pulau Jawa sejak 2001, itu menjadi parameter yang meyakinkan bagi tim untuk berkesimpulan punah.

baca juga : Ini yang Dilakukan Pemerintah Lindungi Hiu dan Pari Terancam Punah

 

Ilustrasi. Tumpukan pari dan hiu Apendiks II di Pelabuhan Tasikagung, Rembang, Kabupaten Jawa Tengah. Foto diambil pada 1 Juli 2022. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Masih Misteri

Walau sudah berani menyimpulkan kepunahan terhadap Pari Jawa, namun Julia Constance dan tim tetap tidak berani menyimpulkan jangkauan spesies tersebut saat sedang berada di laut. Dia hanya berani berasumsi bahwa jangkauannya kemungkinan tidak jauh dari daratan.

Hal tersebut didasarkan fakta tentang temuan spesimen ikan tersebut di sebuah pasar ikan di Jakarta yang kemungkinan saat ini masuk wilayah Jakarta Utara. Data satu-satunya yang berhasil dicatat itu menjelaskan bahwa ikan ditangkap oleh nelayan yang pada masa tersebut jangkauan perahunya masih sangat terbatas.

Dia meyakini, pada 1860-an, nelayan umumnya tidak akan mencari ikan terlalu jauh dari daratan Jakarta dengan tujuan untuk menjaga ikan tetap segar dan berkualitas saat dijual di pasar. Namun berdasarkan spesies Pari yang lain, sangat memungkinkan juga kalau Pari Jawa ada di lokasi lain di Laut Jawa.

Penetapan status punah pada Pari Jawa diharapkan bisa mendorong penelitian lain oleh para pihak terkait dan berkompeten. Dia berharap, riset yang sudah dilakukannya bersama tim DCU akan memicu perhatian yang sama kepada biota lain yang juga diperkirakan sudah punah.

Sebut saja, the Lost Sharks (Carcharhinus obsoletus), yang keberadaannya sangat misterius dan terbatas informasinya. Spesimen biota laut tersebut diduga mengalami kondisi yang sama dengan Pari Jawa, karena jumlahnya sangat sedikit.

“Apalagi untuk mengukur upaya konservasinya,” tegas dia.

Spesies tersebut saat ini sudah tercatat dalam kategori kritis (critically endangered) dengan kemungkinan punah (possibly exticnct). Kemudian, ada juga the Red Sea Torpedo (Torpedo suessii) yang berstatus sama dengan the Lost Sharks.

Dua spesies tersebut sangat langka sehingga menjadi perhatian upaya konservasi.  Selain kedua spesies tersebut, masih ada 89 spesies hiu dan pari lainnya yang masuk ke dalam kategori kritis (critically endangered), yang kondisinya mendekati kepunahan.

baca juga : Populasi Menurun, Induk Pari Gergaji Bisa Hamil Tanpa Pejantan

 

spesimen holotipe Carcharhinus obsolerus. Foto : shark-references.com

 

Julia Constance mengingatkan, kepunahan Pari Jawa harus menjadi peringatan bagi semua pihak di seluruh dunia. Saat ini, dunia sedang menghadapi krisis biodiversitas. Dia berharap seluruh dunia bisa saling bekerja sama untuk memastikan spesies yang ada saat ini dikelola dengan baik.

Dunia ditantang untuk bisa menjaga kesehatan laut dan populasi di dalamnya dengan benar, sehingga manusia bisa memanfaatkannya dengan baik. Selama ini, manusia sangat bergantung kepada spesies laut, terutama untuk kebutuhan bahan pangan.

Sementara, anggota tim peneliti yang juga kandidat doktor pada DCU, Benaya Simeon memaparkan bahwa kepunahan adalah sesuatu yang nyata dan tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, upaya konservasi dan pengelolaan perikanan perlu dilakukan dengan merujuk pada keilmuan yang tepat.

Tujuannya, agar konservasi bisa memastikan keberlanjutan perikanan dan sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di laut. Pada tahapan ini, Indonesia harus tampil sebagai inisiator di level dunia dan memimpin dalam upaya tersebut.

“Indonesia adalah negara perikanan terbesar kedua sesudah China, masyarakat kita memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumber daya laut,” ucapnya.

Jika seluruh dunia bekerja sama untuk saling menguatkan upaya konservasi, maka kepunahan tidak akan pernah terjadi lagi. Terlebih, status kepunahan itu diberikan kepada Pari Jawa, biota laut pertama di dunia yang mendapatkan status tersebut.

Tentang Pari Jawa sendiri, Benaya Simeon menjelaskan bahwa biota laut tersebut menjadi satu dari sekian banyak sumber daya di laut yang dieksplorasi secara berlebihan. Spesies tersebut menjadi salah satu buruan oleh nelayan di sekitar Pantai Utara Jawa sejak abad 19.

Untuk membuka informasi yang sangat terbatas, kegiatan riset perikanan dan kelautan kemudian mulai dilaksanakan sejak era 1960-an, bersamaan dengan perkembangan universitas yang memiliki fakultas perikanan dan ilmu kelautan.

Riset yang dilakukan sejak 60 tahun lalu itu, membuka fakta bahwa Pari Jawa adalah ikan yang diperkirakan habitatnya ada di sekitar pesisir Teluk Jakarta. Analisis itu muncul, karena pada 1860-an, teknologi pembekuan melalui es belum ada, sehingga kapal perikanan umumnya menggunakan cara pengawetan lebih sederhana.

“Sehingga daerah penangkapan relatif sangat dekat dengan fishing base, yaitu di sekitar teluk Jakarta,” tegasnya.

 

pari Torpedo suessii. Foto: phys.org

 

Melalui penelitian yang sudah dilakukan dengan menghasilkan kesimpulan kepunahan, Benaya Simeon berharap itu akan mendorong upaya riset pada banyak spesies lain yang hilang dan belum disadari keberadaannya, atau karena tidak ada data resmi tercatat.

“Riset ini bukan hanya panggilan untuk investigasi lebih lanjut, tapi juga untuk menekankan awareness tentang dampak yang disebabkan manusia terhadap alam,” tambah dia.

Khusus bagi Indonesia, dia optimis riset yang menyimpulkan Pari Jawa sudah punah, akan mendorong upaya kegiatan konservasi di laut, terutama melalui pengelolaan berbasis sains. Sampai sekarang, kegiatan pengelolaan masih menjadi tantangan besar karena adanya tekanan aspek sosio-ekonomi di masyarakat.

Dia menyebut kalau setiap upaya konservasi secara konsisten selalu dihadapkan antara manusia dan/atau alam. Bagaimana mengharmonisasi konservasi dan keperluan manusia merupakan hal kompleks yang perlu dipertimbangkan seperti dalam perencanaan, praktek keberlanjutan, dan regulasi yang efektif.

Riset menunjukan bahwa manusia dapat berdampak pada kepunahan spesies laut. Baginya, itu sangat krusial untuk memahami pentingnya menjaga kesehatan ekosistem laut dan memastikan sumber daya laut kita lestari. Sebagai manusia, keberlangsungan hidup sangat tergantung dengan alam.

“Ancaman utama, seperti penangkapan berlebih dan hilangnya habitat karena aktivitas manusia, menggaris perlunya tanggung jawab dan praktek berkelanjutan untuk ekosistem laut kita,” terang dia.

Itu kenapa, dia berpendapat kalau ancaman kepunahan akan mengintai biota laut lain, termasuk pada kelompok hiu dan pari di Indonesia. Contoh nyata itu, adalah hiu gergaji yang bisa punah dalam hitungan waktu yang panjang, atau The Clown Wedgefish yang tercatat hanya 20 individu dalam seabad terakhir.

Pun, demikian dengan fenomena yang terjadi di Laut Jawa, di mana kawasan perairan tersebut menjadi kuburan bagi kepunahan sejumlah spesies hiu berukuran besar. Mereka bisa punah, karena dipengaruhi perilaku menangkap oleh para pemburu ikan.

Jadi, jika ingin semua biota laut bisa tetap ada dan bertahan lama, maka satu-satunya jalan yang harus dipilih adalah menjaga dengan berbagai cara. Keterlibatan masyarakat juga harus terjadi, karena itu akan mendorong konservasi menjadi semakin efektif.

 

 

Exit mobile version