Indonesia diketahui memiliki lima dari sepuluh jenis pari junjunan (famili Rhinidae) dan dua dari enam jenis pari kekeh (famili Glaucostegidae) di dunia. Habitatnya tersebar di hampir seluruh perairan Indonesia, khususnya di seluruh perairan di Laut Jawa.
Kedua pari ini dimanfaatkan untuk konsumsi lokal dan sebagai komoditas ekspor di Indonesia. Perairan Utara Jawa merupakan salah satu hotspot dari kegiatan penangkapan dan pendaratannya.
Di antara jenis yang ditemukan di Indonesia adalah giant guitarfish (Glaucostegus typus) dan bottlenose wedgefish (hynchobatus australiae). Keduanya tergolong sangat terancam punah (critically endangered) menurut Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Tidak hanya di Pulau Jawa, pendaratan kedua spesies ini ditemukan juga di bagian lain Indonesia, diantaranya adalah Aceh, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Nusa Tenggara Barat.
Kedua pari ini memiliki beberapa nama lain di Indonesia, yaitu pari kikir, bandrong, atau paitpait untuk pari kekeh, dan pari liongbun, paredung, lontar, pangrum, atau petong gitar untuk pari junjunan.
Baca : Pari Kekeh dan Pari Kikir Kini Terancam Langka
Ternyata, kedua spesies ini juga ditemukan di Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ), Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Kedua spesies ini dikenal dengan nama lokal pari kekeh (giant guitarfish) dan pari junjunan (wedgefish). Walaupun statusnya sudah mendekati kepunahan, belum ada regulasi pengelolaannya di TNKJ dan ditambah informasi tentang kedua pari ini masih sangat terbatas.
Selama tahun 2022, Elasmobranch Project Indonesia (EPI) atau Yayasan Hiu Pari Lestari, melalui program Rhinorays Project melakukan penelitian untuk mengkaji kemunculan kedua pari tersebut di TNKJ. EPI berhasil menemukan kedua spesies ini di wilayah perairan TNKJ.
Penelitian itu menggunakan metode survei dengan Baited Remote Underwater Video (BRUV), yaitu menurunkan kamera yang dilengkapi dengan umpan dan pemberat dalam kurun waktu tertentu di perairan taman nasional untuk menguak keberadaan pari-pari ini. Cara ini menghasilkan bukti konkrit bahwa benar adanya pari kekeh dan junjunan di TNKJ.
baca juga : Penelitian Ungkap Pengaruh Penangkapan terhadap Populasi Pari Kekeh di Alam
Sebelumnya sudah diketahui bahwa kedua spesies ini tereksploitasi secara masif di Pantai Utara Jawa karena nilai pasar untuk siripnya yang tinggi. Kajian kedua spesies ini pada Daftar Merah IUCN juga menegaskan bahwa sirip kedua spesies ini bahkan memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan spesies hiu kebanyakan.
Pada 2022, EPI juga mewawancarai 180 nelayan di empat desa dalam wilayah TNKJ (Desa Karimunjawa, Kemujan, Parang, dan Nyamuk) serta satu desa di sekitar wilayah TNKJ (Desa Genting) mengenai kegiatan perikanan nelayan lokal dan menemukan bahwa penangkapan kedua spesies pari ini juga terjadi di wilayah TNKJ.
Perikanan tangkap merupakan ancaman utama terhadap pari kekeh dan junjunan di TNKJ sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch/tertangkap tidak sengaja) atau tangkapan sampingan berharga (secondary valuable catch) oleh para nelayan lokal. Diantara kedua spesies ini, pari junjunan memiliki nilai lebih karena harga jualnya yang lebih tinggi daripada pari kekeh.
Saat berdiskusi tentang kerelaan nelayan dalam melepasliarkan kedua spesies ini, mayoritas nelayan secara umum bersedia untuk melepaskan pari kekeh dan junjunan ukuran kecil (40-70 cm). Namun tingkat kerelaan itu berbeda untuk pari yang berukuran lebih besar (70-150 cm), dengan alasan ukuran ini sudah memiliki harga jual yang lumayan untuk pemasukan.
Kedua spesies pari memiliki potensi nilai jual tinggi dan menguntungkan jika berukuran lebih dari satu meter, terlebih yang berbobot 50 kg hingga satu kuintal, karena harganya akan lebih mahal. Para nelayan beralasan akan semakin banyak daging yang dapat dijual dan ukuran sirip yang semakin besar.
menarik dibaca : Perburuan Hiu-Pari yang Tak Pernah Mati
EPI juga mengadakan pelatihan mengenai konservasi pari kekeh dan junjunan bagi nelayan lokal di desa-desa di TNKJ. Salah satu pertanyaan tersebut adalah mengenai kesediaan para nelayan dalam mendukung upaya konservasi pari kekeh dan junjunan di TNKJ. Secara umum, sebagian besar nelayan yang hadir di dalam pelatihan (66,7%) bersedia untuk melepaskan tangkapan kedua spesies yang berukuran di bawah 100 cm.
Walaupun rekomendasi ukuran tangkap minimum berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No.12/2022 adalah 180 cm untuk pari kekeh dan 170 cm untuk pari junjunan, ini menjadi awal yang baik untuk melihat preferensi dukungan para nelayan untuk upaya konservasi mereka. Tak hanya itu, seluruh nelayan juga bersedia untuk melaporkan pertemuan mereka dengan kedua spesies ini kepada tim EPI.
Hal ini menjadi bentuk dari citizen science yang menjadi pilar kerja EPI dan akan membantu menambah informasi tentang distribusi kedua spesies di TNKJ serta meningkatkan kesadartahuan masyarakat mengenai pelestarian kedua spesies pari.
Respon positif dari masyarakat lokal, khususnya nelayan, menunjukkan adanya peluang untuk melakukan upaya pelestarian dan pengelolaan lebih lanjut terhadap pari kekeh dan junjunan di TNKJ. Sejumlah nelayan menunjukkan dukungannya dengan kerap mengirimkan laporan pertemuan mereka dengan kedua spesies kepada tim EPI.
perlu dibaca : Mencari Formula Efektif untuk Pengendalian Perburuan Hiu dan Pari
Namun EPI, dan Balai TNKJ selaku otoritas pengelola wilayah perairan, meyakini bahwa masih diperlukannya upaya pengumpulan informasi dan penelitian pada kedua spesies ini untuk bisa mengelola pari kekeh dan junjunan secara tepat di TNKJ. Mengingat masih sedikitnya informasi mengenai kedua spesies di perairan TNKJ, kedua pihak turut meyakini bahwa Rhinorays Project EPI di tahun 2022 dapat menjadi pondasi awal untuk pelestarian kedua spesies ini.
Dalam jangka panjang, harapannya akan terbentuk skema pengelolaan, termasuk regulasi, bagi pari kekeh dan junjunan di TNKJ. Dalam pengelolaan tersebut tentu membutuhkan partisipasi nelayan dan masyarakat lokal. Perairan Karimunjawa berpeluang menjadi suaka untuk perlindungan kedua spesies pari ini, yang tentunya penting untuk pelestarian demi menjaga populasinya di Laut Jawa dan Indonesia.
*Maula Nadia, Co-Founder Elasmobranch Project Indonesia (EPI)