Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Konflik Agraria Tiada Henti di Sumut, Bagaimana Upaya Penyelesaian?

 

 

 

 

Kami tidur tanpa atap, menghadap langit. Tapi Tuhan masih menyayangi kami karena tidak ada hujan waktu itu. Saya begitu takut, orang tua saya yang laki tidak ada di situ,” kata Sura Sembiring, tak bisa menahan tangis kala mengenang perjalanan hidup tergusur berulang kali.

Dia cerita kala rumahnya di Sei Mencirim, Deli Serdang, Sumatera Utara, dirobohkan aparat pada 1969 karena disebut lahan masuk area PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II.  Konflik terus terjadi. Hidup warga tak ada kejelasan.

Pada akhir Juni lalu, perwakilan Serikat Tani Sei Mencirim Bersatu (STMB) dan Serikat Petani Simalingkat Bersatu (SPSB) ke Jakarta untuk menagih janji penyelesaian konflik pada pemerintah.

Pada 2020,  para petani sudah bertemu Presiden Joko Widodo. Presiden sudah memerintahkan percepatan penyelesaian konflik. Hingga kini, belum ada kejelasan.

Ada juga kasus Masyarakat Dairi yang berhadapan dengan perusahaan tambang seng yang mengancam ruang hidup mereka. Masyarakat menang saat menggugat izin lingkungan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Juli lalu.

Kasus di Deli Serdang dan Dairi, hanya dua contoh dari begitu banyak persoalan agraria dan sumber daya alam yang mengancam ruang hidup masyarakat di Sumut. Penggusuran dan perampasan tanah rakyat masih jadi cerita memilukan di Sumatera Utara dalam tahun ini.

Nyaris gelandangan dan ancaman kelaparan bagi petani dan keluarganya yang harus tersingkir oleh korporasi terjadi.

 

Masyarakat Tano Batak menuntut PT TPL mengembalikan tanah adat mereka dan mendesak pemerintah menutup PT.TPL. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Hawari Hasibuan,  Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Sumatera Utara,  mengatakan,  dala catatan  KPA, Sumut selalu masuk lima besar provinsi yang memiliki konflik agraria terbanyak.

Kondisi ini, katanya, dampak dari ketidakmampuan pemerintah terutama pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik agraria. Belum lagi, katanya, keberpihakan aparat penegak hukum pada pebisnis, dengan jadi pengawal saat penggusuran.

Dalam tahun terakhir, katanya,  konflik agrarian yang melibatkan perusahaan perkebunan terutama perkebunan negara kerap muncul,  seperti PTPN II berkonflik lahan dengan masyarakat Dusun Silemak, maupun di Desa Melati II Perbaungan. Ada PTPN IV, bermasalah lahan  dan menggusur masyarakat di Bah Jambi, Simalungun.

PTPN III unit Kebun Bangun, Kelurahan Gurilla, Siantar Sitalasari, Pematangsiantar juga merampas ruang hidup 290 keluarga atau 1.208 jiwa petani yang tergabung dalam Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi). Masyarakat, katanya.  telah menguasai kembali lahan seluas 126 hektar sejak 2004 tanpa ada gangguan berarti.


Penggusuran di perusahaan pelat merah marak, katanya, dengan dalih penyelamatan asset negara. Modusnya,  mereka membenturkan masyarakat dengan karyawan atau organisasi pekerja perkebunan.

“Ironi di tengah komitmen negara yang katanya ingin reforma agrarian dengan target 9 juta hektar.”

KPA Sumut Wilayah menduga,  kepentingan korporasi ada di balik upaya penggusuran paksa ini. Sejak rencana pembangunan Tol Tebing Tinggi – P Siantar mulai dan terbangun jalan lingkar luar/ (outer ring road/ORR) Kota Pematang Siantar, katanya,  gangguan kepada masyarakat mulai terjadi.

Padahal, sesuai surat BPN pada 19 September 2007 ditujukan kepada KPA menyatakan, HGU PTPN III Kebun Bangun tak diperpanjang lagi.

KPA Sumut pun menyatakan, beberapa hal, pertama,  meminta Menteri BUMN memerintahkan PTPN tak menggusur petani yang banyak berkontribusi terhadap. Petani telah berjasa membantu negara dalam penanggulangan kemiskinan dengan cara mandiri.

Kedua, meminta Kepolisian menghentikan pengawalan terhadap proses penggusuran dan memastikan rakyat kecil terlindungi hak hidup dan hak ekosob mereka.

“Semua pihak harus menghormati Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria,” katanya.

Riyanda Purba, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara mengatakan, pada 24 September 1960, hari kelahiran UU  Pokok Agraria  bak jadi kemerdekaan bagi kaum tani dan tonggak kedaulatan rakyat atas tanah sebagai sumber penghidupan.

Sayangnya, hingga hari ini, kondisi petani berbanding terbalik dengan mandat UU  Pokok Agraria.  Perampasan tanah rakyat, kriminalisasi petani, ketimpangan penguasaan lahan, dan konflik agraria terus terjadi.

Dalam satu tahun terakhir, Walhi Sumut mencatat, setidaknya  ada delapan kasus konflik agraria di kawasan hutan dengan luas sekitar 3.057 hektar. Konflik terjadi karena kawasan hutan tumpang tindih dengan lahan kelola warga. Selain itu, katanya, pemerintah juga berikan izin kepada perusahaan seperti perkebunan kayu (hutan tanaman industri), sampai kebun sawit.

Konflik agraria berpotensi makin masif, katanya, kalau pemerintah tetap membiarkan. Apalagi, program reforma agraria tidak terlaksana sama sekali.

Di sektor perkebunan, katanya, Sumut merupakan satu wilayah di Indonesia dengan kawasan komoditas perkebunan kedua terluas di Indonesia.  Dari perkebunan sawit, katanya, karet, tembakau, teh, dan lain-lain.

 

Masyarakat Adat Rakyat Penunggu membuat pengaduan ke Polres Langkat karena mengalami penganiayaan oleh PTPN II di lahan mereka. Foto: Ayat S Karo Karo/Mongabay Indonesia

 

Walhi Sumut juga mencatat, ada sekitar 37 kelompok petani dengan luas konflik mencapai 19.485,59 hektar yang mengalami konflik agraria berkepanjangan dengan perusahaan perkebunan sawit, dan perusahaan ekstraktif lain.

“Reforma agraria saja tak terlaksana, apalagi menyelesaikan konflik agraria?”

Program reforma agraria Pemerintah Jokowi , katanya, sama sekali tak bekerja dan tidak bervisi kerakyatan.

“Sama sekali tidak mengurangi ketimpangan agraria. Selain minim capaian redistribusi lahan untuk rakyat, justru diperparah dengan terbit Perpu Cipta Kerja yang kontraproduktif dengan semangat UU Pokok Agraria.”

Quadi Azam dari BITRA Indonesia yang juga tergabung dalam Aliansi Pejuang Reforma Agraria mengatakan, dalam dua tahun terakhir ada sekitar 107 titik konflik agraria di provinsi ini. Konflik paling banyak antara perusahaan dengan petani, petani dengan oknum penegak hukum dan petani dengan pemerintah.

Dalam catatan aliansi dalam tiga tahun terakhir setidaknya ada 259 hektar lokasi dikuasai kampung BPRPI dengan 521 keluarga dan 2.176 jiwa terpaksa tak lagi dapat penghidupan layak.

Lahan mereka, katanya, terampas oleh PTPN II, seperti di Kampoeng Duren Selemak dan Kompoeng Partumbukan Langkat. Sedangkan di Deli Serdang,  dengan proyek sport center, sangat berpotensi sembilan hektar dan 50 keluarga atau 120 jiwa bakal kehilangan tanah dan penghidupan.

Belum lagi lokasi lain seperti proyek Jalan Tol Stabat-Langsa, yang menggusur lahan petani dan masyarakat adat seluas 117 hektar. Proyek lain, Deli Mega Politan, seluas 1.303 hektar tanah yang dikuasai 2.797 keluarga atau 10.347 jiwa berisiko tergusur.

Ada juga di Simalungun ada organisasi petani Futasi luas lahan 126 hektar dengan 350 keluarga atau 1.208 jiwa. Lokasi ini sudah terdaftar sebagai lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) di Kementerian ATR/BPN. Sayangnya, sampai saat ini belum ada kepastian lahan bagi mereka.

Dia mengatakan, pejuang pejuang agraria yang tergabung dalam APARA sering mendapatkan intimidasi dan krimininalisasi.

Dari catatan APARA,  petani dan masyarakat adat yang alami intimidasi dan kriminalisasi ada 12 orang.  Bentuknya, dengan pemanggilan dari aparat berwenang, tekanan psikologis dari unsur pemerintah lokal dan perwakilan perusahaan serta pihak lain yang memiiki kepentingan pada lahan rakyat itu.

Aliansi Pejuang Reforma Agraria pun menuntut beberapa poin kepada pemerintah. Pertama,  lakukan dan laksanakan reforma agraria sejati dan tegakkan UU PA dalam penyelesaian agraria di Sumatera Utara.

Kedua, tangkap mafia tanah, dan adili karena menyengsarakan petani dan masyarakat adat juga menghilangkan penghidupan petani.

Ketiga,  hentikan kriminalisasi, intimidasi bahkan teror terhadap pejuang agraria dan pegiat tradisional.

Keempat, penuhi  hak rakyat.  Kelima,  menolak kelanjutan proyek dan korporasi yang menyengsarakan petani dan masyarakat adat seperti Deli Mega Politan, Sport Center, PTPN II & IV, PT. Dairi Prima Mineral, dan PT Toba Pulp Lestari dan lain-lain.

 

Aksi warga Dairi termasuk para perempuan dan yang bersolidaritas menyuarakan penyelamatan Dairi dari tambang seng dan timah hitam. Foto: Rabul Sawal/Mongabay Indonesia

 

Dianto Bachriadi, peneliti Agrarian Resource Centre (ARC) dan pengajar Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung mengatakan, penataan ulang penguasaan tanah dan peningkatan produktivitas pertanian rakyat (landreform) atau reforma agraria, harus berjalan guna mengatasi masalah kemiskinan di pedesaan maupun perkotaan.

Akar masalah kemiskinan, katanya, adalah ketimpangan penguasaan lahan hingga menyebabkan konflik agraria di berbagai penjuru negeri.

Ketimpangan penguasaan lahan dan menyelesaikan konflik-konflik agraria, katanya, jadi dua sisi mata koin masalah agraria di Indonesia.

“Syarat reforma agraria adalah komitmen atau kehendak politik kuat dari pemerintah yang berkaitan dengan keadilan, tanpa pelibatan korporasi atau bisnis skala besar swasta, dan dukungan militer yang menghadang gerakan- gerakan penolakan,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dianto mengatakan, langkah  harus dilakukan dengan penataan ulang penguasaan tanah dan pengembangan usaha produksi bersama.

Berbeda dengan konsep operasional pelaksanaan reforma agraria yang bertumpu pada konsep aset reform dan akses reform. Pada konsep operasional aset reform ini,   katanya, pemerintah tak hanya distribusi penguasaan lahan secara formal juga mendorong para penerima tanah mengembangkan usaha produksi bersama yang efisien dan tingkat produktivitas tinggi.

Kalau  pemerintah dan negara hanya fokus pada pengadaan sertifikat-sertifikat tanah yang dinyatakan sebagai hasil dari reforma agraria, organisasi masyarakat sipil ambil peran jalankan reforma agrarianya.

“Seharusnya, kelompok-kelompok gerakan sosial pedesaan, serikat-serikat tani, maupun kelompok-kelompok dalam satuan masyarakat adat dapat melakukan itu, tanpa harus menunggu ‘kebaikan hati’ pemerintah.”

Sampai saat ini, katanya,  masih banyak masalah agraria timbul. Padahal,  dalam reforma agraria,  tanah untuk petani, penggarap dan buruh Tani.

“Harusnya tanah untuk rakyat, yang terjadi justru pembatasan penguasaan tanah.”

 

Aksi petani dari Deli Serdang yang berkonflik dengan PT PN II di depan Kementerian BUMN di Jakarta. Foto: KPA

 

******

Exit mobile version