Mongabay.co.id

Ini Tuntutan Pemuda Bandung untuk Produsen Sampah Plastik

 

Kepedulian anak muda pada persoalan lingkungan hidup sering kali muncul karena melihat kenyataan yang mereka jumpai. Seperti kecemasan pada Bumi yang menghadapi krisis sesuai laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).

UNEP memperkirakan aliran sampah plastik ke ekosistem laut akan terus meningkat hampir tiga kali lipat dari 11 juta metrik ton pada 2016 menjadi sekitar 29 juta metrik ton pada tahun 2040.

Riset yang tidak jauh beda juga dilakukan oleh University of Toronto Kanada dan University of Georgia Amerika Serikat. Tahun 2020, mereka melakukan penelitian dengan judul “Predicted Growth in Plastic Waste Exceeds Efforts to Mitigate Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science.

Hasilnya, cukup mengerutkan dahi. Jika tak ada upaya serius dari setiap negara, termasuk Indonesia, dalam mengatasi masalah pelik ini, mereka memperingatkan akan ada 53 juta metrik ton sampah plastik ke perairan dunia paling cepat tahun 2030 mendatang.

Di Kota Bandung, Jawa Barat, kegusaran itu melatarbelakangi gerakan para pemuda. Mereka melipat lengan baju dan melangkah mantap mengambil peran sebagai ‘change maker’.

Di Sungai Cikapundung yang melewati Gedung Merdeka tempat Konferensi Asia-Afrika itu, sejumlah anak muda dan Greenpeace Indonesia mengaudit sampah plastik berupa 787 kemasan produk dengan rincian merk: Wings 130, Unilever 107, Indofood 94, Santos Jaya Abadi 80, Mayora 56 dan Garuda Food 25.

Ibar Akbar (29) menjadi salah satu yang menagih solusi kepada perusahaan-perusahaan produsen produk sekali pakai itu. Dia berpikir masalah tidak akan tuntas jika hanya mengandalkan rasa kepedulian tanpa diimbangi tanggung jawab.

Audit brand sampah ini sudah dilakukan secara berkala sejak 5 tahun lalu,” kata Project Leader Clean Up Greenpeace itu saat ditemui akhir November lalu.

baca : Mau Indonesia Bebas Sampah Plastik? Begini Masukan Mereka

 

Relawan Greenpeace Indonesia mengaudit brand hasil dari aksi pungut sampah di Sungai Cikapundung, Kota Bandung, Jabar, pada akhir November 2023. Mereka menemukan ratusan kemasan shacet dari lebih dari 5 produsen produk sekali pakai. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ibar tak ingin inisiatif ini hanya dipandang sebagai gerakan sosial semata. Untuk itu, audit merk sampah dipakai sebagai “bahasa” kepada sektor manufaktur, hotel dan retail yang hasil dari produknya banyak mencemari sungai.

“Sejauh ini dari 5.000 perusahaan, baru 8 yang sudah menerima dan mengolah kembali kemasan sekali pakai,” ujar Ibar.

Sebenarnya, melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019, pemerintah berkeinginan mengurangi sampah sebesar 30 persen pada 2030 mendatang. Dengan cara mewajibkan pihak produsen membuat peta jalan pengurangan sampah. Sebab penyumbang sampah terbanyak masih berasal dari kemasan sachet dari perusahan itu-itu saja.

Peraturan ini mengatur tanggung jawab produsen atas produknya. Itu mencakup perencanaan pengurangan sampah, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan. Sebetulnya, hal itu merupakan salah satu implementasi extended producers responsibility (EPR) yang selama ini belum dijalankan oleh produsen.

Sayangnya, narasi pengurangan dan penanganan sampah masih saja terfokus pada perubahan perilaku konsumen. Misalnya saja, pemerintah sedikit konsisten pada gerakan pilah sampah, kebijakan larangan atau pembatasan plastik sekali pakai.

Namun, di satu sisi pihak produsen masih enteng dengan perilaku business as usual. Oleh karena itu, kata Ibar, anak muda perlu punya pengetahuan ihwal jenis sampah.

Tujuannya, mereka bisa menggugat. Setidaknya, bisa “cerewet” terhadap perusahaan yang mencemari sungai dan pantai.

baca juga : Sampah Plastik dan Perubahan Iklim, Seperti Apa?

 

Relawan Greenpeace Indonesia mengaudit brand hasil dari aksi pungut sampah di Sungai Cikapundung, Kota Bandung, Jabar, pada akhir November 2023. Mereka menemukan ratusan kemasan shacet dari lebih dari 5 produsen produk sekali pakai. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mesin penggerak

Seperti belum pernah terjadi sebelumnya, banyak kelompok berisi anak muda mengisi posisi yang terlewatkan dalam tata kelola persampahan. Mereka menyatakan harapannya akan sebuah kesepakatan yang bisa membawa nasib lingkungan lebih baik.

Dan anak-anak muda ternyata memiliki minat yang tinggi untuk berkontribusi. Cara yang mereka tempuh adalah menjadi relawan di lembaga-lembaga sosial. Salah satunya ikut dalam Clean Up River Indonesia.

Organisasi non-profit yang dicetuskan di Bandung tahun 2019 itu, saat ini sudah memiliki 11.404 relawan. Mereka dikenal sebagai river warriors yang memupuk kepedulian demi sungai bersih.

Country Leads River Clean Up Indonesia, Egar Anugrah, merinci, para relawan itu didominasi generasi milenial, gen Z dan Alpha. Mereka yang berusia 7-17 tahun 40%, usia 18-22 tahun 49% dan usia 23-45 tahun 11%.

Egar menuturkan, ketertarikan mereka berawal dari kegusaran melihat kenyataan. Uniknya, mereka melihat kenyataan itu menjadi tantangan untuk mengubah keadaan sekaligus membangun kenangan indah bersama sungai.

“Mereka mendengar dari orang tua mereka bahwa dulu sungai itu bersih dan indah. Dan itu yang membuat gerakan ini selalu menarik bagi mereka,” katanya.

Jika sudah begitu generasi muda seolah menanggung beban kesalahan generasi tua yang dulunya tak berani menggugat secara serius. Sehingga mereka berupaya untuk memangkas warisan lama itu dengan turut ambil bagian demi menelurkan kebiasaan baru.

Dalam berkegiatan, Clean Up River banyak menyasar aliran sub-das atau sungai kecil di sudut-sudut kota. Egar berkeyakinan jika sampah di kawasan tersebut dapat diminimalisir, maka tak perlu keluar ongkos mahal dikemudian hari.

“Kalau tidak dibersihkan nanti akan ke sungai besar, ke lautan, biaya (pembersihan) lebih besar lagi. Kenapa tidak kita lakukan ke anak-anak sungai yang memang saat ini kondisinya tidak sehat,” tutur Egar. “Selain itu ini menjadi misi edukasi untuk raising awareness-nya, biar orang melihat, you see, you touch, you smell, you understand the problem.”

baca juga : Kedai Kopi Menjamur, Sampah Plastik Makin Menumpuk di Yogyakarta

 

Suasana pemuda membersihkan sampah yang menumpuk di Bendungan Bugel Sungai Cikeruh, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Aksi itu diikuti lebih dari 700 orang terdiri dari Pandawara Group, relawan dan beberapa instanti pemerintah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sejauh ini ajakan mereka cukup mujarab. Buktinya ada 19 sekolah dasar di Bandung yang senang untuk didampingi.

Mereka turut mengedukasi guru-guru untuk mendidik murid-murid melakukan 10 menit bebersih sebelum jam belajar. Ekspektasinya adalah tindakan sederhana itu bisa dibawa pulang dan orang tua mereka turut andil dalam aktivitas baru di rumah.

 

Peran media sosial

Kreator konten di bidang lingkungan, Pandawara Group, acapkali menggugah kesadaran membersihkan sungai melalui kampanye di media sosial. Ajakan untuk bersih-bersih melalui dunia maya cukup punya tenaga memperlihatkan betapa senangnya sungai yang mengalir tanpa sampah.

Sejak mengunggah kegiatan mereka pada pertengahan 2022, kini akun Instagram sudah mencapai 2,3 juta pengikut dan di Tiktok 8.4 juta pengikut. Dalam setiap unggahannya, ribuan komentar tersemat dengan respon positif.

Gilang Rahma (23), salah satu anggota Pandawara Group, mengaku gagasan mereka membikin konten adalah dalam rangka mencari rumus agar masyarakat yang tidak tertarik atau tidak tahu sekali tentang sampah menjadi tertarik dan tergerak.

Cara mereka terbilang berhasil. Tiap aksi Pandawara, tak jarang membuat pusing pemerintah setempat. Pasalnya, mereka seolah-olah ketiban dosa sosial gegara salah urus persampahannya.

“Sebetulnya apa yang disampaikan oleh Pandawara itu mungkin berita yang kurang baik, tapi di sisi lainnya itu bisa ajang edukasi juga,” kata Gilang ketika membersihkan Sungai Cikeruh di Kabupaten Bandung.

Gilang mengaku sering kebanjiran volunteer. Bahkan sekali membuka pendaftaran di Bandung, tercatat ada 1.600 pelamar yang didominasi usia 20-35 tahun.

Dari Pandawara, agaknya, anak muda masa kini punya potensi untuk “memaksa” pemerintah supaya peka. Dengan ajakan di media sosial, anak muda terbukti sebagai penggerak perubahan yang dapat jadi inspirasi banyak orang.

menarik dibaca : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Suasana pemuda membersihkan sampah yang menumpuk di Bendungan Bugel Sungai Cikeruh, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Aksi itu diikuti lebih dari 700 orang terdiri dari Pandawara Group, relawan dan beberapa instanti pemerintah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menyoal kekuatan anak muda untuk membuat perubahan, proklamator Soekarno sudah punya keyakinan sejak dulu. Sang Putra Fajar itu sampai hati menuliskan dalam bukunya, Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, “Kalau pemuda sudah berumur 21-22 tahun sama sekali tidak berjuang, tak bercita-cita, tak bergiat untuk tanah air dan bangsa, pemuda begini baiknya digunduli saja kepalanya!”

Tulisan Bung Karno itu mungkin hanya diingat sebagai catatan sejarah. Tapi sejarah seringkali berulang, dan manusia mungkin juga bakal menempuh kesalahan yang itu-itu juga.

Tapi pertanyaan selanjutnya adalah bisakah manusia yang menciptakan sejarah? Jawabannya mungkin ada pada kepedulian anak muda yang sedang berupaya menentukan nasib Bumi. Sebab, riset terbaru menemukan, luasan sampah plastik yang mengapung di Samudra Pasifik bagian utara dan menutupi lautan sudah lebih dari 12 kali Pulau Jawa. Dan gunungan lautan sampah itu bakal makin meluas bila manusia tidak peduli terhadap sampah. (***)

 

Exit mobile version