Mongabay.co.id

Reklamasi Bermasalah di Batam: Nelayan Kehilangan Ruang Laut, Beralih Kerja Serabutan

 

Ida Bakrie bersama tiga perempuan lainnya duduk di Pondok Kayu Kecil di pesisir Pantai Kampung Tua Panau, Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, Kepulauan Riau. Mereka sedang berbual atau ngobrol santai, sesekali diselingi canda tawa.

Angin yang menghantam pepohonan kelapa berdesir siang itu. Ombak laut menerjang kuat tepat ke batu miring penahan abrasi yang berjarak sekitar tiga meter dari pondok Ida.

Namun, tak ada lagi air laut yang jernih, pasir putih, ataupun pantai indah, yang nampak siang itu laut keruh penuh dengan lumpur. “Dulu, dari mana-mana orang datang kesini, cari kepiting. Sekarang tidak ada lagi. Air sudah keruh” kata Ida kepada Mongabay akhir November 2023 lalu.

Tidak hanya kepiting, pesisir Kampung Tua Panau juga menjadi sarang ikan belanak di dua gundukan batu besar yang disebut warga pulau.

“Biasa kalau sudah musim, tinggal dibentang jaring disitu, kami dapat ikan banyak. Dulu kami menjual ikan karang, sekarang kami membeli, padahal kami di depan pantai,” kata mereka.

Laut sudah keruh semenjak reklamasi yang berada tidak jauh dari pondok Ida. Apalagi ketika ada hujan lebat, air tanah reklamasi akan turun ke laut sekitar Kampung Tua Panau. “Kami berharap hentikan dulu reklamasi. Rata-rata mata pencaharian kami disini melaut. Sekarang kami tidak bisa ngapa-ngapain lagi,” sahut teman Ida.

baca : Ketika Perempuan di Batam Tolak Reklamasi

 

Beberapa anak-anak bermain di Pantai Kampung Panau Nongsa yang sudah keruh karena reklamasi, Kamis 30 November 2023. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Tepat di depan pondok kecil Ida, kapal-kapal kecil nelayan terombang-ambing dihantam ombak air laut yang keruh. Salah satunya, milik Anton, warga Kampung Tua Panau. Ia sudah tinggal turun temurun di pesisir ini. Orang tuanya merupakan nelayan yang sudah lama melaut di perairan Kampung Panau.

Pesisir yang hendak direklamasi merupakan tumpuan hidup mereka selama ini. Namun, bagi Anton laut tidak lagi menjanjikan karena masifnya pembangunan di Kota Batam, terutama reklamasi. Akhirnya bapak empat orang anak ini memilih kerja serabutan di darat.

Meskipun serabutan, tetapi Anton tidak pernah meninggalkan kebiasan mencari ikan. Beberapa alat tangkap seperti jaring dan sekop udang terpanjang di teras rumahnya, sampai saat ini masih digunakan. “Satu minggu lalu saya masih melaut, tetapi isi jaring, bukan ikan, tetapi lumpur semua, dimana lagi kita hendak mencari ikan?” ujarnya.

Menurut Anton selama ini pesisir Kampung Tua Panau masih menjadi lokasi mencari ikan nelayan sekitar. Hasil tangkap seperti ikan belanak, udang, dan lainnya di jual ke masyarakat sekitar.

Tidak hanya pekerjaan yang hilang, warga setempat juga terdampak kebisingan dan debu pekerjaan reklamasi.

Muhammad Hasan Deni salah seorang perwakilan warga yang lantang menolak reklamasi mengatakan, setidaknya laut ini menghidupkan sebagian besar warga Kampung Tua Panau. Dalam satu bulan nelayan kampung tua bisa mendapatkan penghasilan Rp3-5 juta. “Sekarang lihatlah sendiri. Sekarang sudah ditimbun (untuk reklamasi). Bagaimana caranya bisa dapat ikan lagi?” kata Hasan.

Bahkan masyarakat yang biasa hidup dengan melaut mencari ikan, terpaksa banting stir, ada yang menjadi pekerja di perusahaan, tukang ojek pangkalan, berkebun kelapa hingga menjadi kuli bangunan.

baca juga : Sidak DPR RI di Batam : Mangrove Ditimbun, Sungai Dirusak, dan Cerita Nelayan Melawan Bekingan

 

Beberapa pohon mangrove yang tersisa dari aktivitas reklamasi untuk pembangunan di sekitar Kampung Tua Panau, Kabil, Kota Batam. Foto : Yogi Eka Sahptura/Mongabay Indonesia

 

Hari itu, Hasan baru selesai melakukan unjuk rasa menolak reklamasi bersama puluhan warga lainnya.

Setelah unjuk rasa, dia mengajak awak media melihat langsung reklamasi yang menjadi penyebab rusaknya laut Kampung Tua Panau tersebut. “Artinya tidak ada laut lagi nanti disini (berubah jadi daratan), kira-kira bagaimana nasib kami nanti,” tambahnya.

Hasan mengatakan, pemerintah tidak perhatikan kepada masyarakat Kampung Tua Panau, padahal laut mereka akan lenyap oleh reklamasi dalam waktu dekat. “Ini herannya kita, jelas-jelas perusahaan ugal-ugalan, tetapi tidak ditangkap. Kita saja tidak punya SIM (Surat Izin Mengemudi) di jalan ditangkap (polisi),” kata Hasan.

Konon, Hasan bilang, investasi di Batam ini memakmurkan rakyat, tetapi sekarang ini puluhan KK di Kampung Tua Panau saja tidak mampu dimakmurkan. Bagaimana cerita investasi memakmurkan masyarakat Batam? “Nanti kalau kita sudah protes, anarkis, dibilang menghambat pembangunan,” katanya.

Hasan menekankan lagi, laut sangat penting bagi masyarakat Kampung Tua Panau karena sebagian besar dari 170 jiwa dengan sekitar 40 kepala keluarga itu merupakan nelayan pencari ikan di perairan depan kampung.

Hasan mengatakan, memang dari perusahaan ada rencana membuat teluk untuk nelayan keluar masuk. Tetapi menurut nelayan, hal itu bukan solusi karena proses melaut akan jauh, sehingga butuh modal tambahan.

Hasan menegaskan, sampai saat ini masyarakat akan terus berjuang dengan kemampuan seadanya untuk menolak reklamasi tersebut.

baca juga : Sanksi Administrasi PSDKP : Segel Dicabut, Reklamasi Berlanjut

 

Infografis perjalanan kasus reklamasi pesisir Kampung Tua Panau, Batam. Infografis : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Laut Rusak Akibat Reklamasi

Pesisir Kampung Tua Panau terletak di sebelah barat Pulau Batam. Berhadapan dengan Tanjung Uban, Pulau Bintan. Kawasan ini memang menjadi salah satu titik pusat perkembangan perusahaan galangan kapal di Batam

Jika dilihat dari googlemap, hampir setengah pesisir Kelurahan Kabil ini direklamasi untuk industri berbagai perusahaan besar. Tampak jelas pesisir-pesisir di kawasan itu berubah jadi daratan. Hanya tersisa pesisir Kampung Tua Panau tepat berada di depan rumah Ida ataupun Anton.

Direncanakan perusahaan akan melakukan pembangunan seluas 62 hektar, 49 hektarnya merupakan pemanfaatan ruang laut seperti galangan kapal.

Pendiri NGO Lingkungan Akar Bhumi Indonesia (ABI) Hendrik Hermawan di Kota Batam mengatakan, nasib yang dialami nelayan Kampung Tua Panau adalah dampak dari kejahatan perusakan lingkungan. “Laut mereka rusak, mata pencaharian terganggu, itu rangkaian pencemaran lingkungan yang mengganggu nelayan,” katanya belum lama ini.

Hendrik menyebutkan, kasus ini masuk dalam tindak pidana pencemaran lingkungan. Apalagi ada indikasi perbuatan ini disengaja.

Selain itu, ada kawasan mangrove yang dirusak dari kegiatan reklamasi ini. Meskipun mangrove di Kampung Tua Panau tidak masuk dalam peta kawasan hutan, menurutnya, sesuai undang-undang, pesisir mangrove harus dilindungi. “Kalaupun (mangrove) ditimbun, tentu ada mekanismenya, misalnya, bayar pajak berdasarkan tegakan yang hilang,” kata Hendrik.

Menurut Hendrik, pemerintah seharusnya bersikap tegas dalam menindak perusak lingkungan, apalagi pemerintah tinggal memilih undang-undang yang hendak dipakai yang begitu banyak.

baca juga : Reklamasi Pesisir Batam, Luhut Ingatkan Pembangunan Jaga Lingkungan

 

Pendiri Akar Bhumi Indonesia Hendrik Hermawan menunjuk ke arah lokasi reklamasi PT BSI di Kampung Tua Panau, Kota Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Penegakan Hukum

Dalam berita Mongabay Indonesia sebelumnya, dijelaskan reklamasi di Kelurahan Kabil, Kecamatan Nongsa, Kota Batam itu dilakukan oleh PT. BSI untuk perluasan areal shipyard atau galangan kapal di kawasan tersebut. Perusahaan ini merupakan perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang bergerak di bidang manufaktur peleburan baja dan galangan kapal.

Total luas lahan proyek milik PT. BSI berdasarkan pengalokasian lahan yang diterbitkan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam terhitung seluas 62 ha, yang terdiri dari lahan darat seluas 13 ha bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dan ruang laut seluas 49 ha. Ruang laut tersebut berhimpitan dengan area tangkap nelayan Kampung Tua Panau.

PT BSI diduga belum mengantongi izin reklamasi. Selain itu, masyarakat tidak pernah dilibatkan perusaha termasuk dalam perumusan Amdal yang sejatinya harus melibatkan warga sekitar

Kepala Bidang Penindakan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam IP mengatakan, permasalahan PT BSI sudah ditangani oleh KKP. “(PT BSI) KKP yang tangani, karena ruang laut bukan merupakan kewenangan kami,” kata pria yang akrab disapa IP itu melalui pesan singkat kepada Mongabay, Selasa, 12 Desember 2023.

Pihak Ditjen Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP pernah menyegel aktivitas reklamasi PT BSI. Namun, beberapa bulan setelah itu penyegelan dicabut.

Dirjen PSDKP KKP, Adin Nurawaluddin, di Pangkalan PSDKP Batam, Jumat, 1 Desember 2023 membenarkan sudah mencabut plang penghentian paksa aktivitas PT BSI di pesisir Kampung Panau, karena perusahaan sudah membayar denda. (***)

 

Exit mobile version