Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Tahun Politik, Hutan Indonesia Makin Terancam

 

 

 

 

 

Masa pemilihan umum (pemilu) tahun ini ancaman terhadap hutan Indonesia akan makin menguat. Berbagai kalangan menilai helatan kontestasi politik akan memperparah karut marut tata kelola lahan dan hutan.

“Kondisi hutan kita tentu akan terdampak tahun politik. Kepentingan pemodal dan pebisnis ada di balik kebutuhan modal politik para kontestan,” kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat dihubungi Mongabay, Selasa (2/1/24).

Rio, sapaan akrabnya menyebut,  kebutuhan ini mengakibatkan izin ekstraksi sumber daya alam akan meningkat. Termasuk, pembukaan dan alih fungsi kawasan hutan pada para pemodal.

Trend ini, katanya, bisa terlihat sejak pemilu lalu. Forest Watch Indonesia bahkan mencatat kecenderungan pelepasan kawasan hutan untuk perizinan menjelang rezim berakhir.

Era orde baru, misal, ada 275.000 hektar pelepasan kawasan hutan, dan sekitar 291.000 hektar pelepasan kawasan hutan terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum pergantian presiden.

“Selalu ada indikasi terkait transaksi politik saat pemilu. Itu akan memengaruhi juga keberlanjutan hutan kita,” kata Rio.

Uli Arta Siagian,  Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, menyuarakan hal sama. Dia menyebut,  satu tahun sebelum dan sesudah pemilu sebagai waktu yang rentan.

“Berdasarkan catatan kami, di periode itu ada transaksi izin. Ini yang dibayarkan sebagai upeti dari modal yang sudah masuk ke para kandidat yang ikut kontestasi politik,” katanya.

Lahirnya regulasi yang tak berpihak lingkungan seperti Undang-undang Cipta Kerja dan revisi UU Minerba disebut Uli akan memperparah perizinan yang keluar di masa mendatang.

Regulasi ini, katanya,  banyak memangkas perlindungan lingkungan atas nama investasi.

“Sepanjang Undang-undang ini berlaku, kita akan dihadapi dengan kondisi investasi yang masuk tak diikuti instrumen perlindungan lingkungan dan penegakan hukum,” kata Uli.

 

Hutan Indonesia terus terancam berbagai kepentingan, termasuk di saat tahun politik ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini, katanya, dipengaruhi cengkeraman oligarki yang sangat kuat. Pergantian tampuk pimpinan dia sebut tak akan memberikan perubahan berarti dalam perlindungan lingkungan dan hutan di Indonesia.

“Sebenarnya, pergantian presiden tidak akan mengubah landscape politik. Papan caturnya masih sama, dimainkan oleh para oligark ini,” katanya.

Dia bilang, ada kepentingan pebisnis di masing-masing pasangan calon presiden dan wakil. Jadi, kondisi hutan indonesia ke depan akan tetap sama terancan seperti era Joko Widodo.

“Kalau mereka masih lahir dari satu sistem yang dikuasai para oligark, tidak akan berubah banyak.”

Di tengah kepesimisan terhadap kondisi politik ini, kata Uli,  perlu ada kontrak-kontrak politik yang terbangun di kampung-kampung dengan para kontestan yang mendatangi mereka. Jadi, ada kematangan dalam berpolitik dan rakyat tidak dimanfaatkan para kontestan.

“Dengan sistem saat ini, kecerdasan dan kematangan rakyat diuji. Rakyat harus bisa memeriksa mereka yang datang, meminta suara dan memastikan komitmen dijalankan ketika menang nanti,” katanya.

Walhi, katanya,  belum melihat ada watak kontestan pemilu yang memandang keselamatan masyarakat dan lingkungan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ditambah lagi,  dengan ada ‘bohir’ atau investor di belakang mereka yang selama ini meraup cuan dari eksploitasi sumber daya alam.

Senada, Rio pun menyebut , tahun  2024 sebagai momentum para pemilih benar-benar mencerna informasi yang keluar dari berbagai kajian. Termasuk, katanya,  kajian kedekatan para kandidat di kontestasi pilpres dan pileg dengan para pemodal yang kerap mengeruk sumber daya alam.

“Sebelum memilih, pahami siapa mereka dan tahu konsekuensi dari setipa pilihan-pilihan kita,” katanya.

 

Sejumlah petugas berdiri di tengah kepulan asap yang membumbung sekitar lahan terbakar di Desa Hiyung, Kabupaten Tapin. Foto: Riyad Dafhi Rizki/Mongabay Indonesia.

 

Ancaman karhutla

Satu ancaman serius lagi pada 2024 adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui laman resmi mereka memprediksi ada fenomena El-Nino level moderat awal 2024.

Tahun lalu, level El-Nino yang sama, terjadi karhutla sepanjang Januari-Oktober 2023 mencapai 994.313,14 hektar atau 15 kali luas Jakarta.

Data dari laman Sipongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu bahkan melebihi akumulasi karhutla tiga tahun sebelumnya seluas 806.703 hektar.

Rio ingatkan, perlu ada upaya serius penanggulangan dan pencegahan karhutla sejak dini, baik pemerintah atau pemegang izin di wilayah rawan terbakar harus berbenah atas praktik buruk yang selama ini jadi penyebab kebakaran.

“Jangan sampai jadikan El-Nino sebagai kambing hitam atas karhutla.”

Kecenderungan mengambinghitamkan El-Nino, kata Rio,  terjadi untuk menutupi kesalahan kebijakan dan praktik buruk tata kelola kehutanan. Penegakan hukum lemah pun memicu alpanya perbaikan tata kelola.

“Karena itu, tahun 2024 ini perlu jadi momentum pembenahan di segala sisi,” kata Rio.

Sepakat dengan Rio, Uli menyebut tahun ini perlu jadi momentum memastikan negara dan perusahaan menerapkan safeguard perlindungan kawasan hutan. Perlu ada pertanggungjawaban tinggi terhadap hutan.

“Pengurus negara harus bisa memastikan keselamatan rakyat dan hak mereka untuk mendapatkan udara bersih. Tidak boleh ada kebakaran terus,” katanya.

Selain itu, penegakan hukum pun harus transparan dan kuat. “Sampai hari ini kita tidak tahu apa terjadi dari penegakan hukum karena karhutla tahun lalu. Informasi tidak dibuka, padahal kebakaran tahun lalu lebih besar dari tiga tahun terakhir,” kata Uli.

Sebelumnya, Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, mengatakan, upaya pencegahan kebakaran yang selama ini tidak efektif. Penurunan karhutla sebelum 2023 lebih dipengaruhi kondisi kemarau basah.

“Buktinya, saat El-Nino kembali tahun ini kebakaran masif kembali terjadi. Itu pun masih El-Nino level moderat.”

KLHK justru mengklaim berhasil mengatasi karhutla sekalipun ada El-Nino. Dalam laman resminya, Menteri KLHK Siti Nurbaya Bakar menyebut upaya bersama dari pemerintah nasional dan daerah berhasil mengatasi karhutla. Dia menyebut,  angka emisi gas rumah kaca karena karhutla sampai Oktober 141,8 juta ton.

 

Pembukaan hutan ilegal untuk sawit di Provinsi Riau. Gambar oleh Rhett A Butler/Mongabay.

 

Anakemaskan perusahaan

Apa akar penyebab karhutla? Walhi dan Greenpeace menyebut, pemerintah luput melihat masalah dasar penyebab karhutla dengan masih terbuka eksploitasi lahan gambut oleh perusahaan-perusahaan besar. Restorasi dan pemulihan lahan gambut rusak pun dinilai tak berhasil.

“Sejak 2015, rezim awal Jokowi, kritikan terhadap kebakaran ini sudah diberikan. Sampai 2023,  dibiarkan begitu saja perusahaan-perusahaan yang kebakaran di lahan gambut,” kata Syahrul.

Dia bilang, tak ada tindakan berarti pemerintah untuk audit korporasi dengan lahan terbakar. Padahal, kebakaran banyak terjadi di wilayah yang terbebani izin.

Data Walhi, pada karhutla Juni, 2.080 dari 7.857 titik panas (hotspot) yang timbul di dalam konsesi pemegang hak guna usaha (HGU) sawit, izin usaha pemanfaatan kayu hutan alam, dan hutan tanaman industri (HTI).

“Walhi mencatat ada 800-an perusahaan di kawasan hutan dan gambut. Itu tidak pernah dievaluasi secara mendasar dan tidak diletakkan sebagai basis untuk mengevaluasi,” kata Uli.

Pemerintah, katanya,  cenderung diam dan menganakemaskan perusahaan lewat pemutihan izin yang bermasalah dan di dalam kawasan hutan.

“Pemutihan izin ini jadi catatan buruk. Bagaimana mungkin mereka bisa masuk dalam kawasan hutan, terus pemerintah ampuni karena mereka bayar denda? Tanpa lihat seperti apa kondisi hutan pada waktu itu,” kata Syahrul.

Berdasarkan data Mongabay dapat, sampai 4 Oktober 2023, ada 1.263 unit dari 1.679 kebun sudah KLHK inventarisasi sebagai subyek hukum yang mendapat pemutihan.

Kalau dirinci, luasan indikatif perkebunan sawit di dalam kawasan hutan tanpa perizinan bidang kehutanan ini ada 1.679.797 hektar, luas terindikasi perusahaan atau korporasi 1.473.946,08 hektar.

Lebih jauh, Syahrul menyebut, karpet merah bagi perusahaan akan terus terjadi bukan hanya dari regulasi juga ada penggelontoran dana oleh lembaga keuangan.

Catatan TuK Indonesia, aliran kredit per tahun pada taipan HTI dan sawit bervariasi antara US$5 miliar-US$9 miliar dengan puncak mencapai US$15 miliar pada 2021.

“Institusi keuangan kita juga sebenarnya harus mulai diminta pertanggungjawaban mereka ketika menyalurkan kredit dan pembiayaan. Itu harus benar-benar clear,” kata Syahrul.

 

Masyarakat adat datangi lokasi hutan adat yang telah digusur perusahaan. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Hutan bukan untuk masyarakat?

Karpet merah terhadap perusahaan ini berbanding terbalik dengan pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat dan hutan adat. “Kondisi ini menunjukkan jika hutan kita itu memang bukan untuk masyarakat,” kata Uli.

Catatan Badan Resgistrasi Wilayah Adat (BRWA), baru 3,73 juta hektar penetapan pengakuan wilayah adat oleh pemerintah daerah dan 221.648 hektar penetapan hutan adat oleh KLHK.

Padahal, katanya, BRWA sudah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas sekitar 26,9 juta hektar. Juga masih ada potensi 20,85 juta hektar lagi dari 929 peta yang sedang mereka registrasi.

Sementara program pemerintah dalam bentuk perhutanan sosial belum 50% dari target 12,7 juta hektar. Dari siaran pers di laman resmi KLHK, disebut capaian perhutanan sosial sampai September 2023 baru menyebtuh 6,3 juta hektar.

“Tora (tanah objek reforma agraria) pun sama, tidak sampai target. Artinya, program perhutanan sosial dan Tora yang dicanangkan Jokowi sejak periode pertama memang dirancang untuk gagal,” kata Uli.

Pemerintah,  katanya, hanya memandang hutan sebagai tegakan pohon yang memiliki nilai ekonomi. “Padahal, masyarakat adat dan lokal melihat lebih dari itu. Ada cara pandang yang tidak nyambung.”

 

Hutan yang dibuka untuk jalan PT IWIP pada September 2022. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Deforestasi

Deforestasi pun berpotensi terus terjadi. Pemerintah beberapa kali menyebut angka deforestasi terus menurun, tetapi Walhi menilai ini bukan karena kerja pemerintah.

“Tapi karena memang hutan kita dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Kalau mau dilihat detail, beberapa wilayah justru deforestasinya meningkat,” kata Uli.

Satu contoh,  Maluku Utara dan Sulawesi Tengah mengalami alih fungsi hutan karena pertambangan nikel.

Catatan Walhi, ada 4 juta hektar pertambangan di dalam kawasan hutan.“Sebagian besar adalah nikel. Jadi, kalau pemerintah terus ngotot eksploitasi nikel, maka deforestasi wilayah potensial nikel itu akan cepat terjadi.”

Sebelumnya, analisis Yayasan Auriga Nusantara juga menemukan hal sama. Dalam diskusi yang disiarkan dalam saluran YouTube, sebutkan, hampir 25.000 hektar lebih hutan terdeforestasi selama 20 tahun terakhir karena industri nikel.

Jumlah ini tentu saja bisa bertambah. Pasalnya, Auriga Nusantara mencatat masih ada hampir 500.000 hektar hutan alam di dalam konsesi nikel.

Di tiga provinsi utama penghasil nikel di Sulawesi, luas kawasan hutan alam di konsesi nikel lebih 380.000 hektar. Dengan Sulteng menjadi provinsi terbesar sekitar 209.267 hektar, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, masing-masing 52.998 hektar dan 124.032 hektar.

Deforestasi ‘terencana’ dalam dokumen Folu Net Sink. ada kuota 400.000 hektar setiap tahun.

“Itu menunjukkan kalau pemerintah tidak sungguh-sungguh dan serius dalam menghentikan kehilangan hutan alam di Indonesia,” kata Syahrul.

Malahan, wacana untuk mendorong teknologi carbon capture and storage (CCS) mengemuka belakangan ini. “Padahal kita tahu, hutan adalah salah satu penangkap karbon yang alami. Kenapa harus pakai yang artificial?” katanya.

 

Exit mobile version