Mongabay.co.id

Pengorbanan Sangat Mahal dari Pekerja Perikanan Indonesia

 

Peminat produk perikanan Indonesia di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu buktinya, adalah capaian kinerja ekspor produk perikanan Indonesia yang terus meroket sepanjang 2023 yang dihitung sampai September lalu.

Berdasarkan catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kinerja ekspor produk perikanan Indonesia per September 2023 sudah mencapai USD4,1 miliar atau setara dengan Rp64,3 triliun. Nilai tersebut tidak main-main, karena sudah melebihi target sebesar 53 persen.

Namun, di balik catatan positif tersebut, terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada industri perikanan tangkap Indonesia. Kesimpulan tersebut diungkapkan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Preseden buruk itu menjadi cacat yang harus segera diperbaiki oleh semua pihak terkait. Walau pun, Pemerintah Indonesia sudah berupaya keras mengatasi berbagai persoalan isu HAM melalui banyak cara.

Termasuk, dengan menerbitkan Peraturan Presiden No.60/2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM). Aturan tersebut diharapkan bisa menjadi acuan tentang berbagai hal berkaitan dengan isu HAM.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan menerangkan, Stranas BHAM menjadi harapan karena bisa menjadi acuan tentang kewajiban Negara untuk melindungi HAM, tanggung jawab pelaku usaha, dan hak korban pelanggaran HAM untuk mendapatkan akses.

“Akses atas pemulihan yang efektif, sah, dapat diakses, memberikan kepastian, adil, transparan, dan akuntabilitas. Baik melalui mekanisme yudisial, atau non-yudisial,” ungkapnya belum lama ini di Jakarta.

baca : Karut Marut Perlindungan Awak Kapal Perikanan

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Meski pelanggaran HAM masih terjadi sampai sekarang, namun inisiatif Pemerintah untuk menerbitkan Stranas BHAM patut mendapatkan apresiasi. Pasalnya, aturan tersebut bisa menjadi rujukan tentang tanggung jawab perusahaan, pemerintah, dan hak-hak dari pekerja yang dieksploitasi oleh pengusaha.

Akan tetapi, dia menilai kalau Stranas BHAM tidak bisa menjadi solusi tunggal untuk mengatasi pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi, atau menjadi alat untuk menentukan label perusahaan yang bersih dan sebaliknya.

Dia menilai kalau bisnis dan HAM harus sama-sama dilihat sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan dalam membangun kinerja yang baik dengan mengorbankan sebagian keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan.

Keuntungan yang dikorbankan itu bernilai mulia, karena bertujuan untuk meningkatkan standar-standar perlindungan pekerja pada masing-masing perusahaan dan lingkungan tempat sebuah perusahaan beroperasi.

“Selain itu, Stranas BHAM tidak akan terlaksana apabila pemerintah terus melanjutkan kebijakan pro-pembangunan dan melanggengkan impunitas bagi pelaku usaha,” tegas dia.

Walau Stranas BHAM menjadi acuan utama untuk membongkar isu HAM yang terjadi di Indonesia, tetapi pada kenyataannya tidak ada upaya pelibatan subsektor perikanan tangkap sebagai bagian dari persoalan HAM di Indonesia.

Berdasarkan kajian dasar penyusunan Stranas BHAM, tiga sektor yang menjadi perhatian adalah perkebunan, pertambangan, dan pariwisata. Sementara, perikanan tangkap yang dipenuhi pelanggaran HAM, justru tidak terwakilkan dalam kajian tersebut.

“Padahal, industri perikanan memiliki keunikan sendiri yang tidak dapat disamakan dengan industri di darat,” ungkap Peneliti DFW Indonesia Miftahul Choir.

baca juga : Potensi Resiko di Balik Regulasi Baru untuk Awak Kapal Perikanan

 

Salah satu jenazah yang diturunkan di Bitung pada November 2020. Jenazah itu adalah dua awak kapal perikanan (AKP) migran yaitu  Saleh Anakota dan Rudi Ardianto yang meninggal tiga bulan sebelumnya di kapal saat di Samudera Pasifik. Keduanya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui, kata Kementerian Luar Negeri Indonesia saat itu. Foto : Kementerian Luar Negeri

 

Dia menyebut kalau pengawasan terhadap kapal-kapal perikanan yang melaksanakan operasi penangkapan ikan di laut Indonesia selama berbulan-bulan, sampai saat ini masih sulit untuk dilakukan. Kondisi itu mengakibatkan tak ada kejelasan tentang kondisi awak kapal perikanan (AKP) dan bagaimana perusahaan memperlakukan mereka di atas kapal.

“Pengusaha dapat lebih leluasa melakukan pelanggaran terhadap hak asasi pekerjanya,” katanya.

Hal lain yang membuat para pekerja di kapal perikanan rentan terhadap eksploitasi, adalah karena mereka tidak memiliki kontrak yang pasti, dengan sistem gaji bagi hasil. Kondisi itu berbeda dengan para pekerja di darat yang memiliki kontrak tetap dengan gaji bulanan.

Itu berarti, upah yang diterima oleh AKP sangat bergantung pada berapa banyak tangkapan yang dihasilkan dari sekali operasi, dan bukan berdasarkan upah minimum regional (UMR). Mereka juga harus menerima kenyataan bekerja selama belasan jam, berbeda dengan di darat yang berlaku batasan jam kerja.

Saat bekerja di atas kapal perikanan, banyak yang tidak tahu bahwa para AKP harus merelakan waktu istirahatnya karena harus berjaga sepanjang hari untuk mempersiapkan dan melempar jaring, menempatkan ikan, hingga membersihkan jaring.

Akibat kontrak berjangka pendek, jam kerja yang panjang, keterbatasan finansial dan logistik, AKP sulit untuk berserikat dan bersolidaritas seperti pekerja daratan. Padahal, pekerja yang berserikat adalah syarat terpenting dalam implementasi Stranas BHAM.

baca juga : Belum Ada Kepastian Nasib Awak Kapal Perikanan di ASEAN

 

Sejumlah AKP Indonesia ketika berada di kapal penangkap cumi dari Cina Ning Tai 95. Foto : Zulham

 

Sertifikat HAM

Di sisi lain,  Abdi Suhufan mengatakan kalau Pemerintah sendiri sudah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan. Aturan tersebut menjadi acuan untuk penerbitan sertifikasi HAM Perikanan.

Hanya, sampai sekarang KKP belum pernah menerbitkan sertifikat HAM bagi industri perikanan tangkap dan itu memicu terus bertambahnya pelanggaran HAM di dalam negeri. Kondisi tersebut membuat Stranas BHAM menjadi harapan untuk implementasi sertifikat HAM Perikanan.

“Pelaku usaha masih enggan untuk mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan sertifikat HAM,” kata Abdi.

Namun, Pemerintah juga belum memberikan penghargaan kepada pengusaha untuk melakukan penilaian HAM pada perusahaan. Padahal, kepemilikan sertifikat HAM bisa menjadi nilai jual bagi pelaku usaha dan mendorong industri perikanan tangkap Indonesia yang tertinggal dari negara tetangga.

Sampai sekarang, pelaku usaha justru lebih tertarik menggunakan Sertifikat Keahlian Awak Kapal Perikanan dan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan yang dijelaskan pada PP No.27/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, sebagai aturan turunan dari Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Sayangnya, kedua sertifikat tersebut hanya mengatur keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan AKP, bukan tanggung jawab perusahaan dalam melindungi pekerjanya dan memperbaiki cara perusahaan melakukan bisnis.

Tidak adanya sertifikat HAM Perikanan, menjadi gambaran bahwa nasib para pekerja perikanan semakin tak menentu. Itu terbukti dengan masuknya 123 aduan pelanggaran hak-hak tenaga kerja yang terjadi di atas kapal melalui National Fisher Centre (NFC).

perlu dibaca : Bagaimana Mencegah Perdagangan Orang Berkedok Perekrutan Awak Kapal Perikanan?

 

Aktivitas sekelompok awak kapal perikanan (AKP) di sebuah kapal penangkap ikan. Foto : Tommy Trenchard/Greenpeace

 

NFC mencatat, sebanyak 325 korban menjadi bagian dari total aduan yang masuk. Rinciannya, jumlah ini terdiri 54,92 persen AKP domestik dan 45,08 persen AKP migran. Angka tersebut diyakini hanya mewakili segelintir dari ratusan kasus yang dialami oleh AKP setiap tahun.

Miftahul Choir memaparkan, dari semua aduan yang masuk tersebut, sebanyak 47,1 persen aduan ditujukan kepada agen penyalur tenaga kerja atau calo, sebanyak 28,9 persen ditujukan untuk perusahaan pemilik kapal sebesar, dan 18,2 persen ditujukan untuk pemilik kapal perseorangan.

Menurut kelompok asal AKP, aduan paling banyak yang ditujukan untuk agen penyalur kerja dilakukan 50 AKP migran. Sementara, sebanyak 30 AKP domestik mendominasi aduan yang ditujukan kepada para pemilik kapal.

“Ada pun wilayah paling banyak menerima aduan adalah Sulawesi Utara dengan 49 aduan, Jawa Tengah dengan 30 aduan, dan Jawa Barat dengan 12 aduan,” terang dia.

Berdasarkan wilayah pusat penangkapan ikan, NFC mencatat bahwa laut Aru, Arafura, dan Timor sebagai wilayah laut paling dominan. Wilayah laut yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 718 itu memiliki estimasi potensi sumber daya ikan (SDI) besar.

KKP merilis data bawa WPPNRI 718 memiliki SDI pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal. Pada wilayah tersebut, KKP sudah menerbitkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) untuk 940 kapal.

Menurut Miftahul Choir, dari semua laporan yang masuk, sebanyak 35,7 persen korban melaporkan kasus pemotongan gaji tanpa transparansi dari pemilik kapal atau kapten. Pemotongan gaji terjadi karena proses rekrutmen AKP dilakukan dengan memberi utang dan dibayar saat bekerja.

“Tidak jarang, AKP pulang tanpa menerima gaji sepeser pun akibat harus membayar utang,” tuturnya.

Tak cukup itu, para AKP mengadukan bahwa pemotongan gaji juga dilakukan tanpa transparansi karena dipicu oleh beban yang harus ditanggung kapten untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kapal. Beban yang ditanggung kapten berasal dari pemilik kapal.

Masalahnya, kapten juga memiliki keterbatasan finansial, yang membuat dirinya menggelar aktivitas jual beli segala kebutuhan di atas kapal untuk kehidupan harian. Fakta itu seharusnya tidak terjadi, karena AKP tidak perlu mengeluarkan uang lagi saat bekerja di atas kapak perikanan.

baca juga : Catatan Akhir Tahun: Bagaimana Nasib Awak Kapal Perikanan di Masa Depan?

 

Ilustrasi. Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, pemicu terjadinya pemotongan gaji juga karena ada Permen KP No.33/2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.

Aturan itu memperbolehkan pemilik kapal perikanan untuk menggaji AKP dengan skema bulanan atau bagi hasil. Hal itu kemudian menjadi dasar munculnya penggajian dengan skema bagi hasil yang justru mendominasi kapal perikanan, dengan pertimbangan untuk meminimalisir modal operasional.

 

Kelalaian Sengaja

Masalah berikut yang sering ditemukan di atas kapal, adalah asuransi dan jaminan sosial. Temuan yang berasal dari laporan yang masuk k NFC itu, terjadi karena pemilik kapal lalai terhadap kewajiban asuransi seperti tertuang dalam Permen KP No.33/2021.

Kondisi itu diperparah karena kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan juga tidak ada akses pelatihan keselamatan untuk AKP. Kondisi itu bisa memicu banyak resiko tinggi kecelakaan kerja, hingga kelumpuhan dan kematian.

“Padahal, kecelakaan terjadi karena kelalaian kapten dan pemilik kapal,” terangnya.

Kasus berikut yang juga banyak dilaporkan kepada NFC, adalah penipuan. Biasanya, aksi laknat itu dilakukan calo dengan memanfaatkan ketidakhadiran Pemerintah dalam proses rekrutmen dan penempatan kerja. Calo akan memanfaatkan situasi tersebut untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari AKP.

“Selain ketiga kasus di atas, AKP juga mengalami kekerasan fisik dan seksual, permasalahan kontrak kerja, dan penyalahgunaan kerentanan,” tambahnya.

Banyaknya celah pada proses rekrutmen, membuat AKP banyak dijadikan objek untuk mendapatkan keuntungan. Terutama, AKP yang rentan secara ekonomi yang membuat mereka mudah dikendalikan. Saat bekerja, mereka juga akan melakukan apa saja tanpa ada protes.

Mereka yang masuk kelompok rentan ekonomi, sebagian besar memiliki latar belakang tanpa pekerjaan dan bekerja secara serabutan. Mereka akan mudah masuk jeratan calo untuk bekerja di atas kapal, karena tergiur penghasilan besar. Walau pun, mereka harus berutang kepada calo atau pemilik kapal.

baca juga : Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia

 

Ilustrasi. Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Miftahul Choir menjelaskan lagi, jika pelanggaran yang dilakukan pemilik kapal semakin banyak, karena tidak sedikit AKP harus mengalami penyitaan dokumen kewarganegaraan sebagai jaminan pembayaran utang.

“Akibatnya, AKP memiliki kesulitan ketika melakukan pelaporan atau berkunjung ke fasilitas publik seperti rumah sakit,” ucapnya.

Semua permasalahan tersebut bersumber dari proses rekrutmen yang dilakukan secara informal dan tidak mensyaratkan pengalaman dan kemampuan bekerja di kapal kepada calon AKP. Hal itu akhirnya berdampak buruk, karena AKP memiliki keterbatasan dalam meningkatkan daya tawar.

“Selain itu, saat ini juga belum ada serikat pekerja perikanan yang mampu mengorganisasi pekerja dan meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha atau Pemerintah,” tambahnya.

Selain pelaku usaha, agen, dan kru di atas kapal, Pemerintah juga dinilai ikut bertanggung jawab menentukan nasib AKP. Kesimpulan itu ada, karena belum ada pengawasan dan inspeksi untuk memastikan perjanjian kerja laut (PKL) dan e-logbook oleh Pemerintah.

Atas temuan yang dipaparkan di atas, DFW Indonesia menerbitkan rekomendasi di bawah ini:

  1. Mendorong KKP dan Kementerian Ketenagakerjaan RI untuk segera merumuskan panduan tata kelola, termasuk sistem pengawasan AKP dan Pekerja di Unit Pengolahan Ikan (UPI). sehingga dapat memberikan jaminan perlindungan kerja yang holistik bagi pekerja perikanan Indonesia;
  2. Perbaikan regulasi tata kelola AKP melalui revisi Permen KP 33/2021 dengan membuat ketentuan tentang sistem rekrutmen yang adil, sistem pengawasan AKP, dan kepastian status AKP sebagai pekerja dengan hak-hak normatif;
  3. Mendorong Pemerintah untuk melakukan inspeksi dan pemeriksaan kondisi kerja di atas kapal, serta kelengkapan sertifikasi dan kompetensi. Pemeriksaan mencakup aspek K3, jaminan sosial bagi pekerja perikanan, basic safety training (BST), Buku Pelaut dan PKL bagi setiap AKP;
  4. Mempertimbangkan sistem pengupahan berbasis upah minimum provinsi (UMP) di industri perikanan, dan mendorong pelaku usaha untuk transparan dalam menetapkan upah AKP;
  5. Memperkuat peran Pemerintah Provinsi dalam melakukan pengawasan kondisi kerja AKP dan kondisi kerja di UPI pada sentra-sentra perikanan; dan
  6. Mendorong pembentukan, konsolidasi, dan penguatan Serikat Pekerja Perikanan dalam skala nasional, sebagai sarana perjuangan pekerja perikanan dalam melakukan perundingan dengan Pemerintah dan pelaku usaha perikanan. (***)

 

Exit mobile version