Mongabay.co.id

Tahun Baru dan Kecemasan Gen Z Menanti 2050

Sebuah lebung di lebak lebung Tanjung Senai yang merupakan rumah terakhir ikan selama musim kemarau, selama dua bulan dikuras ikannya oleh warga. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

 

Tahun 2050 adalah tahun kecemasan. Perubahan iklim global membuat berbagai persoalan bagi makhluk hidup di Bumi. Mulai dari permasalahan kepunahan spesies di Bumi, umat manusia menghadapi bencana kelaparan, serangan berbagai penyakit mematikan, serta tenggelamnya berbagai kota di dunia, seperti Palembang dan Jakarta.

Generasi Gen Z [kelahiran 1997-2012] adalah generasi yang paling rentan terdampak dari perubahan iklim global. Mereka yang akan merasakan ancaman krisis pangan, krisis air bersih, hingga serangan berbagai penyakit sebagai dampak dari naiknya suhu dan berubahnya pola cuaca, seperti terjadinya kekeringan dan banjir yang ekstrim.

Baca: Refleksi Akhir Tahun: Mencari Presiden yang Melawan Perubahan Iklim Global

 

Sebuah lebung di lebak lebung Tanjung Senai yang merupakan rumah terakhir ikan selama musim kemarau, selama dua bulan dikuras ikannya oleh warga. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Beranjak dari prediksi para ilmuwan di dunia tersebut, sejumlah penyair generasi Gen Z di Palembang merefleksikannya dalam acara sederhana bertajuk “Menanti Kecemasan 2050” di Kopi Mibar, di Palembang, Senin [31/12/2024].

..jam dinding meledak menghitung setiap menitnya

sementara arloji berdetak tanpa mesin

perahu meninggalkan proksemik

jembatan membelah dusun

jalan menghapus kampung halaman…

 

Petikan puisi “Perahu Meninggalkan Proksemik” adalah puisi yang ditulis Mahesa Putra [23]. Puisi ini mencoba menggambarkan dusun atau kampung halamannya di masa mendatang, ketika perubahaan iklim global mengubah banyak bentang alam.

…kita menyusun dusun

pada mimpi di ranjang kota.

 

Selain dibacakan, puisi karya Mahesa Putra yang berjudul “Bara Juang Kasih” dilagukan oleh kelompok musik Kayu Bakar.

…sungguh, aku sampaikan ini kasih

bahwa keringat akan tetap basah

sampai kering di serap tanah

menjadikannya merdeka…

Baca: “Ikan Sampah” yang Bertahan di Lahan Basah Sungai Musi

 

Ubaidillah, warga Palembang, yang sudah 50 tahun mencari ikan di Sungai Musi. Saat ini dia hanya mendapatkan ikan seluang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebelumnya, Siti Wahyu V.M [24] membacakan puisi “Baung Tak Pernah Pulang”. Puisi ini menggambarkan bagaimana masyarakat yang menetap di lahan basah di Sumatera Selatan, yang kini banyak kehilangan ikan air tawar.

…Perahu melaju meninggalkan purnama.

Menunggu baung untuk membayar sekolah.

Menyisir rawa, baung  tak kunjung kutemukan…

 

Ikan air tawar bagi masyarakat yang menetap di lahan basah, bukan semata sebagai sumber pangan, juga sumber ekonomi.

Ikan baung  [Mystus nemurus] adalah ikan yang ditemukan di semua wilayah lahan basah di Sumatera Selatan. Ikan ini banyak digemari masyarakat, sehingga memiliki nilai ekonomi. Ikan baung selain dijadikan masakan seperti pindang, juga dijadikan ikan asap [sale]. Harga jual sale baung lebih tinggi dibandingkan sale ikan lainnya.

Ketika banyak lahan basah yang rusak dan hilang, membuat ikan baung terus menghilang.

“Hilangnya ikan baung, hilang pula sumber pangan dan ekonomi bagi masyarakat yang hidup di sekitar lahan basah,” ujarnya.

…Langit kemerahan di penghujung petang.

Pertanda pulang tanpa tangkapan.

Baung tak pernah pulang…

 

Reza Maulana [20] dengan puisi “Kepada Tuan” dengan kata dan ujaran yang sederhana, mencoba menyampaikan kecemasannya ketika kerusakan Bumi membuat manusia kian terpecah, dikarenakan kepentingan akan pangan dan tempat tinggal yang nyaman.

“Tuan” berarti adalah para penguasa politik, ekonomi dan teknologi. Puisi tersebut disajikan Reza dalam sebuah lagu yang dilantunkan bersama kelompok musik Karsa Berantah.

…kepada tuan, aku bertanya

apakah kita berbeda? apakah kita setara?

mengalami krisis ekonomi

sedangkan kau hidup mewah

kepada tuan, aku bertanya

apa kau pernah merasa, apa yang aku rasakan

menikmati harapan terhindang

sedangkan kau menghamburkan harapanku…

Foto: Ragam Olahan Ikan Air Tawar di Sumatera Selatan

 

Beragam jenis ikan sale, seperti ikan lais, ikan baung, ikan toman yang dijual oleh sejumlah warung di Jalan Palembang-Sekayu. Foto: Fadhil Nugraha

 

Almer Deo F [18], melalui puisi “Lebak Tanah Kuning” coba mencatat sebuah arsip masa kecilnya. Kenangan akan sebuah lebak yang berada di belakang rumahnya di dusun. Lebak tempatnya bermain bersama teman-teman sebayanya saat masih anak-anak.

“Tapi lebak tersebut kini hilang, ditimbun menjadi sebuah perkebunan sawit,” tuturnya.

…Aku merindu kepada lebak di belakang rumah

Mengenang basah dan lengket

Ikan-ikan seluang berseliwer di dinding tanah kuning

Aku rindu pada cemburu yang menjamah tubuh kepalaku

Setiap hari aku telanjang menghadapmu

Sapu ibu terbayang di punggungku…

 

Selain pembacaan puisi, juga digelar live painting oleh Anggun Sarina Suption [16]. Selama dua jam, Anggun melukis sebuah hutan yang terbakar di atas kanvas berukuran 30 x 30 sentimeter.

Mahesa Putra, selaku panitia pelaksana mengatakan, kegiatan malam ini merupakan awal dari penyuaraan kami terkait ancaman perubahan iklim global melalui seni.

“Tahun 2024, kami yang didukung sejumlah komunitas kesenian, seperti Teater Potlot, akan mengelar berbagai event kesenian. Bukan hanya sastra, juga teater, tari, film dan musik.”

Para pekerja seni  yang akan menampilkan karyanya dari generasi Gen Z.

“Kamilah yang paling memungkinkan hidup hingga 2050, maka kami yang harus bersikap dan bertindak, termasuk melalui karya seni.”

Baca: Desa Ini Sediakan Lahan Pertanian untuk Generasi Milenial

 

Bukit Tabun, hutan larangan Suku Mapur di Dusun Pejem, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Bagi Suku Mapur, jika hutan larangan ini rusak, bencana akan menyerang manusia. Foto: [Drone] Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Presiden peduli lingkungan

Seusai pertunjukan seni, digelar diskusi dengan narasumber Dian Maulina [akademisi dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang], Ade Indriani Zuchri [Tenaga Ahli Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigran], serta Dr. Saudi Berlian [pemerhati budaya].

Dalam diskusi yang dihadiri belasan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi dan pekerja seni, menelurkan sejumlah kesimpulan.

Pertama, generasi Gen Z adalah generasi yang paling terdampak dari perubahan iklim global. Mereka yang akan menghadapi krisis pangan, krisis air bersih, dan serangan berbagai penyakit.

Diharapkan, mereka lebih peduli dengan lingkungan. Misalnya, tidak menggunakan energi secara berlebihan, dan lebih peduli dengan energi non-fosil, tidak menggantungkan hidup pada ekonomi tidak ramah lingkungan, tidak menggunakan atau menekan penggunaan sampah plastik, hemat atau efektif menggunakan air, menyiapkan ketahanan pangan di tingkat keluarga atau komunitas, hidup sehat dengan berolahraga dan mengonsumsi makanan yang bebas dari zat kimia.

Kedua, dilakukan penggalian dan penyebaran berbagai pengetahuan luhur yang arif terhadap lingkungan. Sebab selama ratusan tahun, banyak pengetahuan tersebut mampu menjaga hutan, lahan basah, dan laut. Masyarakat adat salah satu penjaga berbagai pengetahuan luhur tersebut.

Diharapkan, generasi Gen Z belajar dengan masyarakat adat untuk menyelamatkan Bumi.

Ketiga, diharapkan generasi Gen Z untuk menggunakan hak politiknya dalam Pilpres 2024. Sebab upaya mengatasi persoalan perubahan iklim global, juga dibutuhkan peranan para pemimpin berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Tapi, pilih calon presiden yang peduli dengan lingkungan hidup. Setidaknya tidak memilih calon presiden yang memiliki jejak rekam atas kerusakan lingkungan di Indonesia.

 

Exit mobile version