Mongabay.co.id

Babak Baru Pengelolaan Kawasan Konservasi di Lepas Pantai

 

Kawasan konservasi perairan lepas pantai menjadi skema yang dipilih Pemerintah Indonesia untuk mendukung program perluasan kawasan konservasi hingga 30 persen pada 2045 mendatang. Skema tersebut diharapkan bisa mendukung tiga tujuan penting berkaitan dengan laut dan sumber dayanya.

Kawasan konservasi yang juga dikenal dengan sebutan offshore marine protected area (MPA) itu, diterapkan untuk bisa melaksanakan perlindungan keanekaragaman hayati laut, perikanan berkelanjutan dengan fokus utama di perairan lepas pantai, dan karbon biru.

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKHL KKP) Muhammad Firdaus Agung Kunto Kurniawan menyebut bahwa keberadaan offshore MPA menjadi sangat penting karena berperan pada proses pembangunan ekonomi biru di Indonesia.

Salah satunya, karena skema perluasan tersebut bisa mendorong pelaksanaan konservasi di perairan lepas dengan fokus menjaga dan mempertahankan habitat penting untuk spesies ikan bernilai ekonomis dan spesies laut terancam punah.

“Memang ada potensi laut lepas ini dalam mendukung pengembangan ekonomi biru, khususnya yang penangkapan ikan terukur atau PIT,” ungkap dia belum lama ini di Pontianak, Kalimantan Barat.

Selain kebijakan PIT, offshore MPA juga bisa mendorong terwujudnya perlindungan sistem oseanografi secara menyeluruh dan bisa mendukung lima inisiatif penerapan ekonomi biru. Juga, akan mendorong munculnya penelitian-penelitian di laut lepas yang bisa menjadi pencerahan baru untuk ilmu pengetahuan.

Melihat banyaknya manfaat yang akan muncul, offshore MPA diyakini akan memberi dampak positif untuk pembangunan kelautan dan perikanan. Terlebih, pembentukan kawasan konservasi tersebut juga selaras dengan upaya yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Pemerintah.

Upaya tersebut adalah melakukan pemanfaatan dan konservasi sumber daya ikan (SDI) secara mandiri di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal itu diatur dalam Undang-Undang No.5/1983 tentang ZEEI, dan Peraturan Pemerintah (PP) No.60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

baca : Peta Jalan Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: 2045 Harus 30 Persen

 

Salah satu pesisir di pulau yang termasuk dalam kawasan konservasi laut Taman Nasional Perairan Sawu di Nusa Tenggara Timur. Foto pusluh.kkp

 

Firdaus menjelaskan, skema kawasan konservasi melalui offshore MPA juga sudah diterapkan oleh sejumlah negara besar di dunia dengan cakupan di atas 12 mil wilayah ZEEI. Sementara, penerapan skema kawasan konservasi skala besar seperti itu di Indonesia baru pada tahap pengenalan dan perencanaan.

Katanya, beberapa penelitian awal di Indonesia berhasil menemukan sejumlah kawasan seperti di wilayah barat pulau Sumatera dan selatan pulau Jawa dengan luasan sekitar 60 juta hektare (ha). Dua wilayah di sisi pulau padat penduduk itu bisa dikembangkan karena ada potensi menjadi EBSA (ecologically and biologically significant areas).

Firdaus mengatakan skema kawasan konservasi dengan skala besar disebut masih tahap pengenalan di Indonesia, karena hingga saat ini prosesnya masih pada tahapan pengkajian kelayakan teknis, legal, dan administrasi.

“Tapi yang pasti, mulai hari ini kita sudah mengenalkan satu diskusi bagaimana kita menjaga wilayah-wilayah yang punya kerentanan dari sisi keanekaragaman hayati, ekonomi, dan geopolitik,” ucapnya.

Walau ada potensi, pembentukan kawasan konservasi skala besar seperti offshore MPA mendapat sejumlah kritikan dari para pakar dan ahli. Salah satunya, adalah pengawasan dan penegakan hukum yang memerlukan teknologi baru.

Lalu, harus ada kesepakatan antar negara di dunia; lokasi yang terpencil dan tidak berpenghuni membuat keperluan untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem juga mengecil dan bahkan tidak diperlukan sama sekali.

Ocean Protection Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Yusuf Fajariyanto menjelaskan bahwa offshore MPA adalah kawasan konservasi yang berada di luar kawasan landas kontinen dengan kedalaman mencapai minimum 200 meter.

Atau, dengan kata lain kawasan tersebut mencakup habitat bentik, yaitu tempat hidup dari berbagai jenis organisme yang disusun oleh rumput laut, lamun, alga, karang hidup, karang mati dengan tipe substrat seperti pasir, lumpur, dan pecahan karang (Anggoro, 2015; Zhang et al., 2013).

Juga, offshore MPA adalah kawasan yang di dalamnya mencakup habitat ikan-ikan demersal dan pelagis yang masuk kawasan perairan ZEE suatu negara dan perairan di luar wilayah yurisdiksi nasional. Cakupan tersebut menjelaskan bahwa ada banyak sumber daya perairan yang masuk dalam perlindungan.

baca juga : Apa Keuntungan Konservasi di Laut Lepas bagi Indonesia?

 

Maluku Utara, baru saja memiliki tiga kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi ini guna memastikan ekosistem laut terjaga dan sumber laut dapat terkelola berkelanjutan oleh masyarakat, salah satu mencegah pengeboman ikan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Spesialis Ekologi Kelautan dari Konservasi Indonesia Jimy Kalther menambahkan, offshore MPA menjadi konsep yang bagus, karena skema tersebut bisa memberikan perlindungan terhadap keberagaman hayati di perairan lepas Pantai.

“Itu menjadi upaya untuk menyediakan habitat penting bagi perairan lepas pantai jenis ikan bernilai ekonomis yang mempunyai wilayah jelajah luas, yang siklus hidupnya sebagian atau sepenuhnya terjadi di perairan pelagis,” jelasnya.

Selain menjadi area perlindungan untuk SDI dengan nilai ekonomi tinggi, offshore MPA juga bisa menjadi area bermanfaat untuk melindungi spesies laut yang terancam punah. Termasuk, penyu dan mamalia laut yang bermigrasi, seperti paus dan lumba-lumba.

Melalui penelitian yang telah dilakukan, skema penerapan offshore MPA bisa menjadi alat yang mempermudah pemulihan stok ikan-ikan bernilai ekonomi tinggi. Pemulihan wajib dilakukan, karena masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa ikan di laut lepas dapat diambil tanpa batas, karena SDI akan terus berkembang biak.

Anggapan seperti itu jelas salah, lanjutnya, karena ikan bisa tak bersisa jika terus ditangkap tanpa henti. Untuk itu, offshore MPA bisa menjadi area untuk pemulihan stok ikan yang dimaksud, karena bisa menjadi tempat untuk memijah, sekaligus mencegah nelayan untuk menangkap ikan yang sedang memijah.

Jimy menerangkan, saat rancangan offshore MPA dibuat, maka harus dipertimbangkan karakteristik ekologi dan oseanografi dalam penentuan areanya. Pertimbangan itu penting, karena kawasan perairan lepas pantai sering dianggap homogen, padahal memiliki potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.

“Artinya, ada satu nilai penting yang harus kita lindungi dari kawasan konservasi perairan ini selain meningkatkan target perluasan kawasannya,” jelasnya.

baca juga : Perppu Cipta Karya Diklaim Bagus untuk Konservasi Laut dan Ikan

 

Keindahan Kawasan Konservasi Laut di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Foto: The Nature Conservancy/Mongabay Indonesia

 

Dalam atau Luar ZEEI?

Dosen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan IPB University Darmawan memaparkan bahwa offshore MPA masuk dalam kategori kawasan konservasi skala besar di luar wilayah yurisdiksi nasional. Lokasi kawasan tersebut harus berada minimal 150 kilometer (km) dari pesisir pantai.

Tetapi, dia menyebut bahwa jika yang dimaksud dengan offshore MPA adalah kawasan perairan lepas pantai, maka lokasi yang dimaksud adalah laut yang berada di luar wilayah perairan Indonesia dan masih termasuk dalam wilayah yurisdiksi. Lokasi tersebut ada di dalam kawasan ZEEI.

Jika seperti itu, kalau merujuk kaidah yang ada pada Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, maka sebutan yang lebih memadai dari sisi hukum adalah kawasan konservasi atau kawasan perlindungan di ZEE.

Menurut dia, mengembangkan kawasan khusus di ZEEI menjadi kesempatan, bahkan kewajiban bagi Indonesia, karena bisa memanfaatkan hak berdaulat eksklusif untuk menyejahterakan masyarakat, sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya alam.

Dia yakin, walau bukan konsep baru di dunia, tapin Indonesia bisa berkreasi untuk mencari racikan yang tepat dalam memadukan kepentingan ekonomi, kelestarian sumber daya, pertahanan keamanan, dan politik dunia, maupun nasional.

“Sehingga KKP semakin dekat untuk memperoleh hasil maksimal dari pengelolaan lautan dengan solusi yang efektif,” tuturnya.

baca juga : Ini Cerita Sukses Konservasi Laut Desa Birawan

 

Terumbu karang di Olele yang telah dijadikan kawasan konservasi laut daerah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Tentang offshore MPA, Peneliti Ahli Utama Oseanografi Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Augy Syahailatua mengungkapkan bahwa ada manfaat yang sangat penting untuk menjaga laut tetap sehat dan lestari.

Selain membantu untuk melindungi ekosistem laut dan keberagaman hayati dengan menyediakan perlindungan bagi banyak spesies laut, offshore MPA juga berperan sebagai alat pengelolaan perikanan dengan menjaga kesehatan populasi spesies target, dan juga bisa mencegah eksploitasi sumber daya ikan berlebihan.

Ketiga manfaat tersebut mendukung terjadinya efek limpahan (spillover effect), dan berkontribusi terhadap ketahanan ekosistem laut secara keseluruhan dengan memungkinkan ekosistem laut pulih dari dampak aktivitas manusia, seperti tekanan penangkapan ikan dan perusakan habitat.

Konferensi Nasional ke-11 Pengelolaan Sumber daya Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (Konas Pesisir XI) yang berlangsung akhir November 2023, juga berhasil menguatkan para pihak yang terlibat melalui Deklarasai Pontianak.

Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia Victor Nikijuluw mengakui kalau kawasan konservasi perairan skala besar tak hanya berperan untuk melindungi sumber daya ikan pelagis saja. Namun, juga ikut berperan melindungi spesies laut yang terancam punah, termasuk penyu dan mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba yang bermigrasi dan memiliki mobilitas tinggi.

Offshore MPA juga bisa dapat dikembangkan untuk melindungi kawasan yang memiliki signifikansi budaya, lanjutnya, seperti situs arkeologi bawah air atau area yang mengandung nilai sejarah sangat tinggi bagi masyarakat hukum adat (MHA).

Nama offshore MPA sendiri dikenal luas di dunia dengan sebutan lain, seperti konservasi laut dalam (blue water MPA), konservasi untuk tujuan perikanan (fisheries MPA), atau konservasi skala besar (Large-scale fisheries).

“KKP lepas pantai adalah nama generik untuk konservasi,” tegas dia.

menarik dibaca : Di Pantai Pelangi, Konservasi Penyu Berlangsung Sepanjang Hari (2)

 

Para petugas dari Misool Baseftin dan Kelompok Kerja Restorasi Ekosistem Terumbu Karang dan Konservasi Penyu desa Birawan kecamatan Ilebura kabupaten Flores Timur sedang melakukan pengecekan terumbu karang yang ditransplantasi. Foto : Misool Baseftin/Mongabay Indonesia.

 

Selain offshore MPA, model konservasi lainnya di lepas pantai adalah other effective conservation measures (OECM). Contohnya, penutupan kawasan (closed area), penutupan musim (closed season), atau bentuk tata kelola lainnya yang bertujuan untuk keberlanjutan, peningkatan produktivitas, dan pemerataan pemanfaatan sumberdaya.

Saat ini, offshore MPA di Indonesia sedang disiapkan untuk dibentuk di perairan Sulawesi Utara. Kawasan perairan yang sedang disiapkan ada di sekitar pulau Sangihe di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan pulau Salebabu di Kab Kepulauan Talaud.

Luas wilayah perairan yang saat sedang disiapkan menjadi offshore MPA di kedua pulau tersebut mencapai 598.398,96 ha. Kedua perairan pulau tersebut direncanakan memiliki fitur konservasi untuk pemijahan dan pembesaran ikan.

Fitur pemijahan, direncanakan untuk ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan laying (Decapterus), dan ikan selar (Selar). Sementara, konservasi pembesaran itu direncanakan untuk ikan cakalang dan selar. Selain dua fitur tersebut, perairan juga direncanakan untuk jalur migrasi biota laut yang dilindungi.

Tim dari Departemen Pemanfaatan Sumber daya Perikanan IPB University juga memaparkan lebih detail tentang rencana pembentukan offshore MPA di perairan Sulut. Laut Sulawesi dipilih, karena memiliki nilai strategis, baik dari segi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, mau pun segi kedaulatan.

Laut Sulawesi yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WWPNRI) 716 bersama wilayah perairan sebelah utara pulau Halmahera, merupakan salah satu daerah perikanan yang produktif untuk kelompok pelagis besar dan kecil.

Agar pembentukan kawasan konservasi perairan lepas pantai bisa sukses dilakukan, dibutuhkan dukungan para pihak dalam proses inisiasi kawasan. Kemudian, diperlukan juga basis data yang kuat terkait target konservasi kawasan konservasi perairan lepas Pantai.

Juga, diperlukan peran dari Pemerintah Pusat sebagai pengelola kewenangan kawasan konservasi perairan lepas Pantai. Tak lupa, harus ada desain kawasan dengan sistem zonasi yang dinamis untuk menghadirkan offshore MPA di Sulawesi Utara.

baca juga : “Berdansa dengan Laut”, Cerita Keberhasilan Konservasi di Pulau Langkai dan Lanjukang Makassar

 

Seorang penyelam diantara terumbu karang seafan di perairan Raja Ampat, Papua Barat. Foto : shutterstock

 

Tim tersebut beranggotakan sembilan orang yang terdiri dari Budy Wiryawan, Amehr Hakim, Rian Prasetia, Irfan Yulianto, Tasrif Kartawijaya, Charles P.H. Simanjuntak, Prayekti Ningtias, Anisya Rosdiana, dan Nabil Balbed.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengeloalan Ruang Laut KKP Kusdiantoro menjelaskan, deklarasi menjadi bentuk komitmen pemangku kepentingan untuk menjadikan wilayah Indonesia sebagai kekuatan maritim yang besar.

Ada tiga belas poin yang menjadi kekuatan dari Deklarasi Pontianak. Semua berfokus pada pengelolaan laut dengan cara yang tepat dan berkelanjutan. Termasuk, bagaimana laut bisa berkontribusi pada kegiatan ekonomi secara nasional.

Poin lainnya, adalah tentang pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk. Tujuannya, agar kerugian materi akibat perubahan iklim bisa terus ditekan di masa mendatang. (***)

 

Exit mobile version