Mongabay.co.id

Menyoal Dana Iklim ‘Loss and Damage,’ Bagaimana Peluang Indonesia?

 

 

 

 

Pada pertemuan iklim negara-negara di Dubai lalu, dalam pembahasan dana iklim untuk loss and damage (kerugian dan kerusakan) mengalami kemajuan. Sudah ada komitmen dana US$700 juta dan penunjukkan World Bank sebagai pengelola dan penyalur dana. Meskipun begitu, dana dinilai terlalu kecil dan masih belum ada kategorisasi mendetail negara yang berhak mendapat pendanaan ini.

Bagaimana kira-kira Indonesia dalam akses dana iklim ini? Indonesia termasuk negara kepulauan rentan terdampak langsung perubahan iklim, sekaligus tergolong penghasil emisi tinggi.

Nada Zharfania Zuhaira dari Net Zero Analyst WRI Indonesia menyebut, penentuan spesifik negara yang berhak mengakses dana L&D perlu agar skema lebih efektif. Para delegasi setiap negara, katanya,  selalu membicarakan masalah ini dalam setiap pertemuan.

“Ketika kita bicara loss and damage, yang dibicarakan adalah developing countries, small island developing states, yang sudah banyak tenggelam dan semacamnya,” katanya.

Untuk itu, perlu ada prioritas berdasarkan keamanan masing-masing negara terhadap perubahan iklim. “Kalau Indonesia, posisinya agar semua developing countries berhak. Termasuk Indonesia.”

Sejauh ini, dalam panduan daring terkait L&D terbitan kerangka kerja perubahan iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFCCC) baru disebutkan tipe L&D yang meliputi kerugian ekonomi dan non ekonomi. Kerugian ekonomi meliputi hilangnya pemasukan dari operasi bisnis, dan pariwisata, serta aset fisik seperti infrastruktur dan properti.

Sementara kerugian non ekonomi meliputi kualitas hidup, kesehatan dan mobilitas tiap individu; juga kerugian komunal yang meliputi wilayah, warisan budaya, pengetahuan masyarakat adat, serta identitas sosial dan budaya.

Selain itu, kerugian lingkungan yang meliputi hilangnya jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati juga masuk dalam tipe ini.

Dalam panduan itu, belum disebutkan rinci syarat dan kriteria negara yang berhak menerima dan memberi pendanaan.

Sedangkan dalam proposal operasionalisasi pengaturan pendanaan yang diterbitkan dalam COP28 menyebut Bank Dunia di masa interim pengelolaan dana ini bisa memastikan seluruh negara berkembang memiliki akses langsung ke pendanaan iklim ini.

Iqbal Damaik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat dihubungi mengatakan, kategorisasi rinci negara yang berhak memperloleh pendanaan L&D akan dilakukan pada COP29 di Azerbaijan tahun ini. Dia berpendapat, Indonesia berhak mengakses pendanaan ini.

Pendanaan iklim ini, katanya, perlu untuk mengatasi bencana dari krisis iklim yang sudah terjadi di Indonesia. Fokus dari pendanaan ini adalah untuk kepentingan masyarakat terdampak.

“Terutama masyarakat adat dan pesisir di kepulauan. Itu yang sangat membutuhkan pendanaan ini,” kata terang Iqbal.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional,menyuarakan hal sama. Sebagai negara kepulauan, posisi Indonesia sangat rawan terdampak krisis iklim.

Dia bilang, pemerintah perlu bersiap, antara lain, menyusun satuan baku pemulihan mangrove, karang, perlindungan hutan dan gambut. Jadi, kalau dana sudah bisa terakses, pemerintah tak kelimpungan menentukan kerangka perlindungan dan pemulihan berbagai ekosistem di lanskap Indonesia yang beragam.

 

Baca juga: Dana Iklim US$103 Juta, Masukan: Harus Transparan dan Kuatkan Perlindungan Masyarakat Adat

Kebakaran lahan dan hutan terus terjadi di Indonesia antara lain penyebabnya, karena cuaca ekstrem. Sebagai negara rentan, Indonesia semestinya bisa akses dana iklim lewat ‘loss and damage.’ Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dilema Indonesia

Sonny Mumbunan, Kepala Program Studi Master Publik Policy in Climate Change Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dihubungi Mongabay mengatakan, Indonesia terjebak dalam Instagram Dilemma.

“Di Instagram kan seperti itu. Ada yang menunjukkan visualisasi indah dan terlihat kaya, tapi ketika ditegor petugas pajak dia langsung jatuh miskin,” katanya.

Laiknya di sosial media berbagi gambar dan video itu, Indonesia, kata  Sonny, kerap menunjukkan keperkasaan bidang ekonomi dan memosisikan diri bukan sebagai negara miskin. Saat didalami, tidak sepenuhnya benar.

Sejatinya, L&D untuk negara-negara rentan. “Satuan unitnya adalah negara. Indonesia betul negara kepulauan rentan, juga merupakan negara yang berpendapatan menengah, kadang menengah atas. Jadi, Indonesia tidak terlalu eligible dapat loss and damage,” kata Sonny.

Pria yang juga Koordinator Center for Climate and Sustainable Finance Universitas Indonesia (CCSF UI) ini menyebut, skema L&D tak menguntungkan negara seperti Indonesia yang tidak jelas miskin atau kaya. Skema ini, katanya, lebih menguntungkan negara miskin dan rentan, yang benar-benar tenggelam dan ekonomi tidak kuat.

“Indonesia ini negara yang terdampak juga penyebab. Di sektor lahan jadi penghasil emisi, di laut justru terdampak,” kata Sonny.

Meski begitu, katanya, Indonesia, bisa bermain di luar skema L&D. Ada skema partnership negara-negara maju dengan negara yang terdampak seperti global shield against climate risk yang berisikan negara rentan atau vulnerable 20 (V20) dan negara maju Group of 7 (G7).

“Indonesia memang belum masuk di sana. Tapi mungkin di-round berikut, kalau diplomasi kuat, bisa atribusi spesifik keperluan Indonesia di situ.”

 

Masalah pendanaan

Sonny mengatakan, pendanaan di dalam global shield against climate risk lebih konkret daripada L&D. Sejauh ini, US$770 juta yang dijanjikan untuk L&D sangat kecil, tidak sampai 1% dari kebutuhan mengatasi kerentanan.

Itu pun, katanya, masih dipotong 12% untuk biaya administrasi dan pengaturan pendanaan Bank Dunia. “Memang tidak ada dana yang tidak mendapat potongan apapun ketika melewati lembaga apapun yang mengelolanya. Tapi 12% ini terlalu besar menurut negara Global South, kalau 5% atau di bawahnya mungkin masih oke.”

Iqbal Damanik pun mengkritik pendanaan L&D kecil. “US$700 juta ini kecil banget. Hampir sama dengan dana transisi JETP,” katanya.

Angka ini, kemungkinan hanya cukup dipakai negara-negara Asia Pasifik. Padahal, dosa emisi dari negara maju sangat besar dan dampaknya dirasakan seluruh dunia.

“Negara-negara utara ini harusnya meminta maaf terhadap dosa emisi mereka yang menyebabkan krisis iklim. Mereka pasti berpikir pendanaan ini tidak menguntungkan mereka ketimbang carbon offsetting,” katanya.

Dari sisi politik, katanya, negara kaya enggan beri dana cuma-cuma dalam skema L&D karena selama ini, selalu berupa utang atau investasi pembelian karbon.

“Mereka enggan memberikan uang besar dalam loss and damage fund karena ini money for nothing,” kata Iqbal.

Sama dikatakan Tjokorda Nirarta Samadhi,  Country Director WRI Indonesia, Dia bilang, pledge US$700 juta untuk L&D masih belum seberapa dibandingkan keperluan US$4.000 miliar untuk menahan laju kenaikan suhu bumi 1,5 derajat celsius.

Masih ada kesulitan untuk menaikkan pendanaan dari negara maju. Amerika Serikat saja, katanya, hanya menjanjikan dana baru US$1 miliar di masa kepemimpinan Presiden Joe Biden.

“Pledge US$100 miliar yang dulu saja belum jelas. Padahal kita membutuhkan akselerasi di sini. Kepala negara bisa saja menjanjikan dana, tapi belum tentu kongres dalam negeri setuju,” kata pria yang akrab disapa Koni itu.

Lemahnya komitmen negara maju memberikan pendanaan juga disoroti Climate Rights International (CRI). Dalam rilis di laman resminya, lembaga ini mengkritik imbauan transisi berkeadilan yang menjadi pernyataan penutup COP28.

Menurut mereka, ungkapan itu tak diimbangi keberhasilan memenuhi kebutuhan dukungan finansial terhadap negara berkembang untuk transisi energi ataupun membayar L&D.

Kalau negara-negara kaya hanya bisa berjanji tetapi tidak menggelontorkan uang mereka, katanya, CRI menilai transisi berkeadilan tak mungkin bisa berjalan.

 

Banjir rob antara lain dampak krisiis iklim melanda daerah-daerah pesisir di Indonesia, seperti di Demak, pantura Jawa. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Harus tepat sasaran

Organisasi masyarakat sipil mendesak, Bank Dunia harus bisa memastikan penyaluran langsung kepada masyarakat.

Dana iklim ini, kata Iqbal, tidak boleh masuk jadi skema pinjaman. Bank Dunia cukup mengikuti panduan loss and damage fund yang ada untuk mengatur ini.

“Mekanismenya harus mengunakan yang disarankan L&D,  tidak melalui negara, tetapi langsung ke masyarakat terdampak,” katanya.

Uli pun bilang, Bank Dunia harus melihat akreditasi dari lembaga di tiap negara yang mereka ajak kerjasama dalam penyaluran dana L&D. Kalau memang Indonesia dinilai bisa dapatkan dana ini, Bank Dunia jangan salurkan lewat lembaga yang pernah salah menyalurkan dana iklim.

“[Jangan salurkan] seperti ke BPDLH (Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup) kita yang pernah memberikan dana untuk Medco karena dianggap memiliki komitmen iklim dengan membangun kebun energi untuk co-firing,” kata Uli.

Selama ini, masyarakat cukup percaya dengan BPDLH dalam mengakses dana hibah iklim. Namun, katanya, tak ada keterbukaan atau keterwakilan masyarakat sipil dalam mengawal pendanaan ini hingga dalam penyaluran dana salah kaprah.

Bank Dunia, kata Uli bisa saja memakai lembaga penyalur dana hibah yang sudah diinisasi masyarakat sipil. Salah satunya seperti Dana Nusantara diinisiasi Walhi, KPA dan AMAN.

“Tapi Dana Nusantara ini harus benar-benar disiapkan dulu untuk benar-benar bisa mengakses dana loss and damage.”

Sonny menilai,  perlu skema-skema pengelolaan dana alternatif dan gunakan lembaga yang bisa menyasar langsung masyarakat. Kalau organisasi masyarakat sipil (civil society organization/CSO), kadang belum memiliki uji tuntas yang baik.

“[Organisasi masyarakat sipil] yang biasa mengelola dana kecil, nanti kaget ketika dapat dana besar. Atau yang sudah besar, kadang menjauh dari semangat asli CSO-nya. Dilemanya seperti itu,” katanya, seraya bilang, apalagi kalau organisasi tidak audit.

Namun dia mendukung kalau CSO mengelola dana hibah tetapi perlu memastikan pengelolaan berjalan baik untuk masyarakat. “Pemberi hibah pun percaya supaya program-program bisa berkelanjutan.”

 

 

******

 

COP28: Dana Iklim Jangan Malah Bebani Negara Berkembang

Exit mobile version