Mongabay.co.id

Bertahan Olah Sagu Sagea di Tengah Himpitan Tambang Nikel

 

 

 

 

 

 

Abdurahman Jabir,  belum beranjak dari tempat olah sagunya di tepian Sungai Sagea, tak jauh dari Kampung Sagea, Halmahera Tengah, Maluku Utara, sore itu. Dia bersama pamannya,  Anwar Ismail,  mengangkat tepung sagu yang mengendap di dalam perahu sebagai wadah penampung tepung.

“Om Anwar bantu saya karena  mau cari sagu untuk makan, bukan untuk dijual,” kata Mano, sapaan akrab laki-laki 48 tahun ini.

Sebelumnya,  mereka menghaluskan potongan batang sagu dengan mesin parut. Setelah itu,  memerasnya dengan air dari Sungai Sagea. Air sungai ini beberapa waktu lalu sempat keruh diduga dampak aktivitas tambang nikel di daerah aliran sungai (DAS) Sagea.

Hari itu,   tepung sagu terisi dalam tiga karung besar. Hasil    dari setengah batang sagu sekitar 15 meter. Batang sagu itu diambil bagian pangkal dan ujung.

“Kita ambil pangkal dan ujung untuk memastikan sagu ini berisi atau tidak,” kata Mano.

Batang sagu dipotong lalu dibelah dan dibersihkan, kemudian digiling dan diperas.

Keberadaan sagu ini jauh dari mesin parut dan alat perasan sagu. Untuk dapatkan mesin parut, mereka harus pakai perahu menyusuri Sungai Sagea sekitar 500 meter.

Setelah itu,  jalan sekitar satu kilometer mengambil batang sagu.

“Hasil seharian langsung diborong warga  karena telah dipesan sebelumnya,” katanya.

Batang sagu yang dia olah milik orang tuanya yang belum dijual meski berbatasan langsung dengan dua  konsesi tambang di wilayah itu.

Sekadar diketahui saja di Sagea ini hampir semua lahan sudah terjual ke perusahaan termasuk kebun sagu. Sagu di sini  terancam  kehadiran tambang nikel.

Mano adalah orang Sagea tersisa yang masih konsisten mengolah sagu. Tak hanya memenuhi kebutuhan pangan keluarga sekaligus sumber pendapatan.

Bagi dia,  mengolah sagu sama dengan melestarikan pangan peninggalan para tetua mereka. Sebenarnya, di Sagea    mereka turun temurun olah sagu.

Sejak marak pertambangan,  tidak ada lagi  yang pukul sagu padahal merupakan makanan pokok mereka.

“Kalau  kerja olah sagu ini kan kotor jadi mungkin  mereka tidak tertarik lagi,” katanya berseloroh.

Setiap hari,  warga cari sagu untuk makan.  Karena itu  tepung sagu  mentah maupun yang dibakar dalam bentuk lempengan mesti didatangkan dari Kecamatan Patani di Halmahera Tengah maupun dari Maba,  Halmahera Timur.

Kurangnya sagu membuat hasil olahan Mano laris manis. Ukuran satu karung 40 kilogram mencapai Rp300.000.

“Mengolah sagu ini tidak lama. Satu hari kerja sudah bisa dapatkan dua karung. Jika jadi tepung sagu dan sudah dikarungkan, pembeli langsung datang dan  bayar,” katanya.

Apalagi, kalau  diolah atau dimasak dalam bentuk lempeng (sagu lempeng), keuntungan berlipat. Satu karung tepung sagu Rp300.000 bisa hasilkan Rp700.000-Rp750.000.

Dia tak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat karena hanya sendiri. Saat selesai bikin, tepung sagu langsung diambil pedagang untuk diolah atau langsung dijual lagi.

“Kebun masyarakat hampir semua sudah dijual.  Tetapi punya orang tua kami tidak dijual hingga saya bisa olah seperti sekarang. Ini sumber hidup kami. Dari dulu orang Sagea ini olah  dan makan sagu. Kalau kita jual nanti tidak bisa olah sagu lagi,” katanya.

 

Sagu merupakan pangan pokok orang Halmahera, tetapi sayang, tanaman ini  terus berkurang karena lahan atau kebun tergerus jadi tambang nikel.  Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Olah sagu  jadi pekerjaan utama warga sebelum perusahaan tambang masuk ke Weda. Dulu ,  mayoritas warga jadikan sagu sumber pendapatan selain makanan utama.

Dia olah sagu sudah hampir 20 tahun. Dari sagu,  dia bisa sekolahkan anak-anak dan hasilkan uang  untuk menunjang hidup keluarga.

“Orang yang masih olah sagu di Sagea ini tersisa saya dan Slamet. Bahalo sagu (mengolah sagu) ini kami sudah jadikan pekerjaan utama. Meski ada perusahaan tambang  nikel beroperasi, kami pilih tetap  olah sagu tersisa di Kampung Sagea.”

Dia bilang, mengolah sagu mudah mendapatkan uang dibanding  bekerja di perusahaan tambang. “Kerja di tambang itu harus disiplin dan penuh waktu,” katanya.

Kalau mengolah sagu, bekerja dan istrahat diatur sesuka hati. “Saya biasa kerjakan sendiri. Hanya kali ini karena ada paman mau sama-sama olah sagu untuk makanan,  kita bersama olah satu batang sagu.  Kalau dikerjakan dua orang, dalam sehari dapatkan tiga karung siap jadi bahan makanan atau dijual.”

Dia yakin bisa hidup dan memberi pendidikan bagi anak anaknya dari hasil sagu.  .

“Di mana-mana orang butuh sagu untuk beragam makanan tidak hanya untuk popeda. Sementara yang olah sagu makin berkurang ini,” katanya.

Meski begitu, dia akui ada satu hal yang masih  hambat aktivitasnya membantu masyarakat Sagea memenuhi  pangan sagu.

Saat ini,  olah sagu tidak lagi seperti dulu pakai alat pukul yang biasa disebut pakawela tetapi sudah  gunakan mesin.  Dia sangat memerlukan bantuan alat itu untuk penggilingan empulur atau batang sagu.

Mano juga perlu perahu dan mesin  angkut batang sagu yang sudah dipotong-potong pendek. Dia ambil batang sagu melewati sungai.

“Tempat olah sagu kita agak jauh dari kampung. Melewati sungai karena itu kita butuh selain mesin parut juga perahu untuk alat angkut,”  katanya.

Dia tak punya perahu hingga harus  pinjam punya tetangganya, seorang nelayan,  ketika belum melaut.

“Saya berharap ada bantuan pemerintah terutama mesin parut dan perahu. Yang saya lakukan ini bagian dari ikut bantu makan masyarakat terutama menyiapkan pangan sagu.”

Keberadaan sagu dari kehidupan warga Sagea diamini Subhan Somola. Pejabat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Pemerintah Halmahera Tengah itu banyak mendampingi kelompok masyarakat pengolah sagu sejak  2010.  Sudah sekitar 14 tahun ini dia damping pengolahan pangan lokal warga terutama sagu.

Subhan bilang, tanaman sagu banyak mati, sementara kebutuhan pangan masyarakat  tinggi.

Secara ekonomi,  harga sagu olahan (lempeng) di pasaran sangat menggiurkan bahkan lebih mahal dari beras.

Pemerintah daerah, katanya, perlu mendorong pengolahan sagu sebagai satu program ketahanan pangan lokal. Hal ini juga, katanya, untuk  menghidupi petani sagu yang selama ini hanya pakai peralatan seadanya tanpa pendampingan berkelanjutan.

Sejauh ini,  sudah ada sekitar 30-an kelompok kecil di berbagai daerah di Halmahera Tengah dia dampingi dengan fokus  pengolahan sagu lempeng rumbia melalui badan usaha milik desa.

Dia upayakan sistem dan manajemen usaha teritegrasi dari hulu hingga hilir. Sagu mereka kemas dengan kemasan karton.

Dengan begitu, katanya,  pangan lokal sagu bisa naik kelas sebagai pangan  terhormat di negerinya sendiri.

“Kebutuhan sagu lempeng cukup tinggi,  tidak berbanding lurus dengan ketersediaan. Awal usaha ini mampu hasilkan ratusan karton sagu terjual.”

Sayangnya,  ada pengolahan sagu di hulu, seperti pembuat tepung mulai berkurang hingga pengolahan di hilir tidak berjalan lancar.

Di Halmahera Tengah,  terutama daerah sekitar tambang, banyak warga enggan olah sagu karena kendala akses jalan ke lokasi lahan atau hutan sagu.

Tempat sagu tumbuh, katanya,  sudah dijual pemiliknya atau hutan sagu sudah beralih.

“Karena itu perlu perlindungan hutan sagu  untuk tetap menjaga ketersediaan sagu dan manfaat ekologinya.”

Dia bilang,  perlu membangun  usaha pengolahan sagu yang terintegrasi dan berkelanjutan hingga dapat jadikan negeri ini sebagai lumbung pangan lokal sagu.

Selain itu,  perlu menggalakkan kegiatan ekonomi produktif dari olahan lokal tepung sagu rumbia yang dapat diterima pasar lokal maupun nasional.

“Menciptakan budaya  konsumsi pangan lokal sagu, hingga terbangun kesadaran sosial ekonominya.”

 

Baca juga: Ketika Sungai Sagea yang Jernih jadi Keruh

Pemerasan batang sagu oleh petani di Halmahera. Sagu yang jadi makanan pokok orang Halmahera ini makin terkikis ketika lahan tergerus antara lain jadi tambang nikel.  Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Sagu kaya manfaat

Erna Rusliana M. Saleh, Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia Cabang Ternate sekaligus pengurus pusat menyayangkan, lahan sagu terus tergerus.

Sagu, katanya,  sumber daya yang kaya manfaat. Ketika lahan berkurang, banyak manfaat akan hilang.

“Manfaat sagu dapat diambil dari empulur, daun, pelepah hingga batang. Dari empulur didapatkan pati sagu yang manfaatnya sangat luas untuk pangan dan non pangan.  Pati sagu juga bermanfaat untuk industry kertas, farmasi, tekstil, pestisida hingga bahan bakar alternatif non migas,” katanya.

Sagu, katanya,  adalah pangan pokok lokal bagi masyarakat Malut. Jadi, dari aspek pangan sangat prospektif.

Belum lagi ada ancaman krisis pangan di banyak negara terutama beras. Sagu, bisa jadi salah satu solusi.

“Sagu berpotensi mensubstitusi sumber kabohidrat dari beras atau gandum. Ini karena dari sekian sumber karbohidrat seperti beras, jagung, kentang, ubi, dan sagu, maka sagu memiliki produktivitas tertinggi.”

Produktivitas sagu bisa mencapai 10-15 ton per hektar per tahun, lebih tinggi dari jagung sekitar lima ton, kentang 2,5 ton, ubi kayu 5-6 ton dan ubi jalar sekitar 5,5 ton per hektar per tahun.

Dari segi kesehatan, katanya,  sagu merupakan sumber karbohidrat sehat terutama bagi penderita diabetes. Indeks glikemik (IG) sagu rendah dibanding beras,

hanya sekitar 40, IG beras 70. Tepung sagu juga bebas gluten.

Gluten, katanya,  sering diasosiasikan dengan penderita alergi, gangguan pencernaan, hingga auto-imun.

Sagu juga mengandung antioksidan untuk menekan radikal bebas di tubuh, mencegah penyakit kronis seperti kanker.

Kalau lahan sagu tak tergerus, katanya, ia bisa jadi sumber karbohidrat berproduktifitas tinggi, prospektif dan sehat.

Baginya,  masalah utama bukan karena peralihan pangan sagu ke beras, tetapi peralihan lahan sagu jadi tambang.

“Peralihan pangan dari sagu ke beras bukanlah hal baru. Ini sudah terjadi sejak masa Soeharto. Berkurangnya pengolahan sagu baru terjadi dalam lima tahun terakhir sejak lahan pertanian khusus sagu beralih jadi lahan tambang nikel.”

 

******

 

Cerita Pangan Sagu dari Maluku Utara

Exit mobile version