- Air Sungai Sagea di Desa Sagea dan Kiya Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, berubah warna diduga tercemar material tanah dari kerukan tambang sejak 28 Juli lalu. .Air sungai nan jernih yang tempat wisata di Goa Bokimoruru sirna, berganti oranye kecoklatan dan berlumpur.
- Adlun Fikri, Juru Bicara Koalisi Save Sagea mengatakan, cemaran air ini tambah parah saat hujan di hulu 14 Agustus lalu. Sebenarnya, sejak akhir Juli air mulai keruh tetapi dua tiga hari sempat hilang.
- Air Sungai Sagea, merupakan sumber air untuk berbagai keperluan sehari-hari warga. Mereka pun khawatir kalau sungai ini terus alami pencemaran akan rusak dan tak bisa digunakan lagi. Belum lagi, sungai ini bagian dari bentang karst wisata Bokimoruru.
- Agus Kastanya, Guru besar Kehutanan Universitas Pattimura, khawatir dengan pembangunan di Maluku Utara. Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, harus ambil langkah progresif, dibantu akademisi di sana. Semua pihak ikut ambil langkah menyelamatkan lingkungan dan masyarakat di Desa Sagea, Halmahera. Harus ada kekuatan masyarakat sipil mendorong pembangunan berkelanjutan di Malut.
Air Sungai Sagea di Desa Sagea dan Kiya Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, berubah warna tercemar material tanah diduga dari kerukan tambang, medio Agustus lalu. Air sungai nan jernih yang tempat wisata di Goa Bokimoruru sirna, berganti oranye kecoklatan dan berlumpur.
Dalam sepekan terakhir air keruh belum juga berkurang. Air pun tak bisa lagi dipakai. Dugaan warga di daerah hulu sungai ada pembukaan lahan hingga menyebabkan air keruh saat banjir meski hujan dengan intensitas rendah.
“Sampai Sabtu (19 Agustus) air masih keruh meski sudah ada sedikit perubahan tidak seperti awal kejadian,” kata Taher Muhdin, warga Sagea yang sehari hari membuka warung di kawasan wisata Bokimoruru.
Bokimoruru adalah destinasi karst di Sagea, Halmahera Tengah yang juga dilintasi Sungai Sagea.
Warga tak pernah melihat Sungai Sagea seperti ini sebelumnya. Walau saat hujan deras, air keruh tetapi tidak seperti sekarang, berlumpur.
Adlun Fikri, Juru Bicara Koalisi Save Sagea mengatakan, cemaran air ini tambah parah saat hujan di hulu 14 Agustus lalu. Sebenarnya, kata Adlun, sejak akhir Juli air mulai keruh tetapi dua tiga hari sempat hilang.
Kejadian seperti itu sudah tiga atau empat kali. Puncaknya, Senin lalu itu, air sudah seperti tanah hasil kerukan tambang.
“Dugaan kita karena ada bukaan lahan di hulu. Berdasarkan pengalaman dan membandingkan air yang keluar dari hulu saat banjir, sangat berbeda,” katanya.
Perubahan warna air sungai ini karena ada lahan yang dibongkar di bagian hulu.
Adlun bilang 2 Agustus lalu air sungai ini sempat keruh kemudian berkurang, hingga keruh parah lagi pada 14 Agusutus lalu.
“Saat itu ada hujan sedikit di hulu. Tak lama kemudian air yang mengalir keluar sudah begitu parah,” katanya.
Dia bilang, di kawasan itu beroperasi beberapa perusahaan tambang. Adlun curiga operasi tambang ini biang keroknya.
Save Sagea, katanya, belum bisa memastikan perusahaan mana yang kerukan tambangnya masuk ke badan air sungai. Untuk memastikan butuh pengecekan lapangan ke hutan beberapa kilometer.
Desak tegakkan hukum
Warga dan Komunitas Save Sagea mendesak Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pertambangan Maluku Utara, Balai Wilayah Sungai (BWS) serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) memantau.
“Kita yakin sumber cemarannya bukan banjir biasa.”
Air Sungai Sagea, merupakan sumber air untuk berbagai keperluan sehari-hari warga. Mereka pun khawatir kalau sungai ini terus alami pencemaran akan rusak dan tak bisa digunakan lagi. Belum lagi, katanya, sungai ini bagian dari bentang karst wisata Bokimoruru.
Air sungai ini, katanya, juga rencana jadi air kemasan dan isi ulang BUMDeS Desa Sagea. “Jika air ini sudah tercemar tanah kerukan tambang, jadi masalah. Tidak hanya memengaruhi wisata Goa Bokimoruru, usaha desa serta sumber air utama warga terancam.”
Takdir Tjan, Camat Weda Utara dihubungi dari Ternate 15 Agustus lalu membenarkan pencemaran sungai itu. Masyarakat Sagea, katanya, prihatin karena air sungai ini sumber kehidupan mereka.
Dia bilang, cemaran ini diduga dari aktivitas penambangan dan perlu penelusuran lebih lanjut.
Selain itu, beredar informasi di Sagea ada aktivitas pengangkutan ore nikel salah satu perusahaan yang beroperasi di daerah ini melewati Sungai Manona, yang berinduk ke Sagea.
“Masyarakat sangat prihatin karena air Sungai Sagea ini tidak sekadar sumber makan dan minum, tetapi sudah menjadi bagian hidup turun temurun.”
Abubakar Yasin, Kepala Bidang Penataan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah, mengaku, sudah turun lapangan dan menemukan perubahan warna air di Sungai Sagea. Dia bilang, kondisi sangat memprihatinkan. Namun, katanya, untuk memastikan sudah melewati bakumutu atau belum, perlu kajian lebih lanjut.
Dari lumpur yang terbawa terindikasi merupakan hasil penambangan. “Sangat beda dengan banjir biasa.”
Dia akui, saat mereka turun lapangan sehari setelah kejadian, belum bisa ambil sampel karena kondisi air perlahan berubah. Saat ini, mereka berusaha memastikan sumber cemara. “Kami fokus mencari sumbernya.”
Lantas ada berapa perusahaan yang beraktivitas di kawasan ini? Soal ini DLH Halteng belum bisa memastikan. Dia berjanji lakukan pengecekan termasuk melacak peta dan melihat berapa perusahaan yang beroperasi di kawasan itu. Kalau benar ini ada pelanggaran, DLH akan berkoordinasi dengan Gakum KLHK.
Balai Gakkum LHK Wilayah Maluku Malut dan Papua di Ambon, dihubungi dari Ternate menyatakan, belum menerima laporan dugaan air sungai yang diduga terkontaminasi aktivitas tambang itu.
Alamsyah SP, Kepala Seksi Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) menyatakan, sejauh ini belum ada laporan mereka terima termasuk dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Halmahera Tengah atau provinsi.
“Kami akan mencari informasi lebih lanjut terkait persoalan ini,” katanya.
Wisata terdampak
Hingga 19 Agustus lalu, air Sungai Sagea masih keruh. Taher mengatakan, perubahan warna air sungai yang melewati Goa Bokimoruru terjadi sejak 12 Agustus lalu.
“Sangat terdampak karena sumber mata air mengalir sampai ke kampung,” katanya.
Dia bilang , air sungai di goa itu keruh ketika hujan deras tetapi kembali jernih dalam sehari. Yang terjadi sekarang, perubahan warna air berlangsung berhari-hari.
Tak pelak, air keruh, obyek wisata Goa Bokimoruru pun sepi pengunjung. Sejumlah wisatawan datang namun memilih pulang lantaran melihat air sungai keruh.
“Daya tarik gua ini karena air yang jernih kehijauan. Tujuan pengunjung datang lihat airnya. Yang dipakai pengunjung juga wahana air. Beberapa hari kemarin ada pengunjung datang lihat-lihat sebentar langsung pulang.”
Kondisi ini berdampak pada pedagang di objek wisata itu. Pemasukan mereka juga turun. “Pendapatan di kedai kami biasanya Rp2 juta lebih per hari, kalau sungai normal. Sekarang ini tarada (tidak ada) pemasukan karena tarada pengunjung,” kata Taher.
Sabtu 19 Agustus lalu, meski air sungai masih keruh, warga terpaksa tetap gelar lomba balap paddle boat. Lomba ini sebagai bagian dari memperingati Hari Kemerdekaan RI.
Ashari Salim, Ketua Panitia Kegiatan mengatakan, meski air sungai keruh tidak bisa ditunda. Agenda yang dimeriahkan warga dan pengunjung dari luar desa ini sedianya digelar usai upacara 17 Agustus lalu, hanya karena banjir lumpur ditunda sampai 19 Agustus.
“Mau bagaimana lagi. Air keruh tetapi karena sudah diagendakan ya tetap dilaksanakan,” kata Ashari.
Keterancaman ekosistem karst
Koalisi Selamatkan Kampung Sagea (SEKA) terus kampanye baik di media sosial maupun protes di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Mereka menyuarakan kekhawatiran karena Sungai Sageyen atau dikenal dengan Sungai Sagea, tercemar.
SEKA berkolaborasi dengan Forest Watch Indonesia (FWI), membuat sejuamlah peta citra satelit guna mengindetifikasikan sumber (inlet) sungai bawah tanah ke Goa Bokimoruru.
Adlun juga Koordinator SEKA mengatakan, perbukitan di Goa Bokimoruru, merupakan ekosistem karst yang memiliki perkembangan proses karstifikasi yang baik. Di sana ada gua, sungai bawah tanah dan lubang-lubang masuknya air (sinkhole/phonor).
Menurut Aziz Fardhani Jaya, Speleologi Karst Forest Watch Indonesia (FWI), Goa Bokimoruru, menurut hasil pemetaan tim France 1987-1988, kata Adlun, memiliki panjang lorong sekitar 8,6 kilometer. Di dalamnya ada sistem aliran sungai bawah tanah yang mengalir ke luar goa.
Sungai Sagea, merupakan perwujudan sungai bawah tanah Goa Bokimomuru yang muncul ke permukaan melalui mulut goa. Sungai Sagea, katanya, memiliki aliran dan debit cukup stabil dalam jangka waktu yang lama, mengindikasikan bahwa sumber aliran Sungai Sagea sebagian besar berasal dari wilayah karst di daerah Bokimoruru.
Dari citra satelit terbaru pada Mei 2023, kata Adlun, mereka menemukan ada pembukaan lahan untuk pembuatan jalan dalam konsesi tambang PT Halmahera Sukses Mineral dan PT Weda Bay Nickel, yang mengarah ke DAS Ake Sagea.
Meski demikian, kata Adlun, perlu penelusuran lebih lanjut penyebab pencemaran Sungai Sagea. ‘Perlu investigasi mendalam dengan menelusuri aliran sungai Ake Sagea (Legaelol) dan DAS-nya.”
Sungai Sagea, kata Aziz, merupakan perwujudan sungai bawah tanah Goa Bokimoruru yang muncul ke permukaan melalui mulut gua. Sungai Sagea memiliki aliran dan debit cukup stabil dalam jangka waktu lama.
“Mengindikasikan sumber aliran Sungai Sagea sebagian besar dari karst Bokimoruru,” kata peneliti Forest Watch Indonesia yang mendalami isu tata kelola hutan dan lahan di pulau-pulau kecil ini.
Dia merunut peristiwa 15 Agustus 2023 saat Sungai bawah tanah di Sagea mengalami perubahan warna. Aliran Sungai Sagea mendadak keruh seperti tercampur sedimen tanah. Fenomena ini, katanya, menunjukkan sumber air bawah tanah Goa Bokimoruru terindikasi ada dari daerah non-karst.
“Ciri sungai bawah tanah yang sumber dari daerah non-karst ialah kondisinya mudah berubah (debit, aliran, warna) karena dipengaruhi dengan yang dibawahnya. Dalam konteks jnj material sedimen terbawa dan larut ke sungai hingga menyebabkan warna air keruh.”
Kalau mengidentifikasi sumber (inlet) sungai bawah tanah, kata peneliti FWI ini, pada citra akan terlihat dua aliran sungai yang masuk dan hilang ke daerah karst di sekitar Bokimoruru, yaitu Sungai Legaelol dan Sepo.
Kedua sungai merupakan sungai permukaan di daerah non-karst (kalau mengacu peta sebaran batugamping KESDM). Keduanya terletak di bagian barat laut dan utara dari mulut Goa Bokimoruru dan aliran mengarah ke tenggara-Selatan.
Kedua sungai, katanya, patut diduga sebagai sumber (inlet non karst) sungai bawah tanah Goa Bokimoruru.
Save Sagea pun mendesakkan tuntutan dan rekomendasi. Pertama, menuntut penyidikan dan penegakan hukum lingkungan terhadap pihak yang terbukti melakukan pencemaran.
Kedua, menuntut perusahaan yang beroperasi di hulu DAS Sagea untuk menghentikan aktivitas sebelum ada hasil investigasi dari pihak berwenang.
Ketiga, pemerintah harus evaluasi perizinan dan aktivitas pertambangan di hulu DAS Sagea dan karst di Desa Sagea dan Kiya. Keempat, mendorong kebijakan perlindungan karst dan DAS Sagea. Mengingat, katanya, keduanya punya fungsi ekologis penting.
Selain kampanye melalui media sosial, dukungan untuk protes pertambangan juga dilakukan Save Sagea November 2022 lewat petisi. Petisi yang berjudul: Segera tetapkan perlindungan Kawasan bentang alam karst Sagea!
Petisi ini langsung ditujukan kepada Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Eko Budi Lelono, Kepala Badan Geologi, dan Abdul Gani Kasuba, dan Gubernur Maluku Utara.
Petisi ini dibuat langsung oleh Aziz Fardhani Jaya, Speleologi Karst Forest Watch Indonesia (FWI). Dia nilai, penting menjaga dan menyelamatkan karst Goa Bokimoruru. Hingga kini lebih 5.000 orang tandatangani petisi..
Munadi Kilkoda, anggota DPRD Halmahera Tengah, mengatakan, dari pemantauan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah terindikasi material yang menyebabkan sedimentasi itu mirip dengan yang biasa ditambang.
Hanya, kata Munadi, DPRD maupun DLH belum bisa memastikan sumber masalah pasti, karena belum mengecek sampai ke bagian hulu Goa Bokimaruru.
Agus Kastanya, Guru besar Kehutanan Universitas Pattimura, khawatir dengan pembangunan di Maluku Utara. Selain proses sangat berbahaya bagi lingkungan, juga akan mengikis seluruh tutupan lahan hingga terjadi erosi hingga membawa tanah ke sungai dan laut.
Karakteristik DAS di Maluku dan Maluku Utara, katanya, sangat sempit dan pendek hingga bisa menyebabkan erosi langsung ke sungai dan pesisir serta laut.
“Kalau lihat kondisi warna air di foto-foto sangat luar biasa dan ancaman besar bagi penduduk, masyarakat dan lingkungan. Kalau tidak segera ditanggulangi, malapetaka bagi penduduk setempat dan lingkungannya.”
DLH Maluku Utara, kata mantan Dewan Kehutanan Maluku ini, harus ambil langkah progresif, dibantu akademisi di sana.
Dia berharap, semua pihak ambil langkah menyelamatkan lingkungan dan masyarakat di Desa Sagea, Halmahera. Dia bilang, harus ada kekuatan masyarakat sipil mendorong pembangunan berkelanjutan di Malut.
“Tawaran untuk buka diskusi kasus sangat penting dan harus dilakukan untuk menolong penduduk setempat dan masyarakat serta lingkungan di Malut,” katanya.
********