Mongabay.co.id

Ketahanan Pangan Masyarakat Adat Kaluppini Terancam Perubahan Iklim

 

Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok rentan kerawanan pangan karena menggantungkan hidup pada hasil hutan dan pertanian di lahan tanah adat mereka. Transmigrasi, alih fungsi hutan, degradasi kualitas tanah, kondisi geografis tempat tinggal, dan perubahan iklim menyebabkan masyarakat adat makin rentan mengalami kerawanan pangan.

Ketersediaan dan akses ke hutan sebagai sumber utama pangan pun makin sulit yang berpotensi menyebabkan kerawanan pangan. Ketika kerawanan pangan terjadi pada suatu daerah maka akan berpotensi menyebabkan masyarakat menjadi kelaparan. Kondisi kelaparan berarti masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi untuk tetap hidup sehat dan melakukan aktivitasnya sehari-hari.

Demikian beberapa poin penting dari buku Kumande Samaturu’: Berdaulat Pangan di Kaluppini yang ditulis Nurbaya, peneliti dari Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kementerian Kesehatan Mamuju, Sulawesi Barat, terbitan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Desember 2023. (Bisa diakses di https://penerbit.brin.go.id/press/catalog/book/666)

Buku ini secara umum membahas tentang masalah pangan dan potensi kerawanan pangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia terutama pada masyarakat adat dan daerah-daerah terpencil. Buku ini juga memaparkan bagaimana masyarakat adat Kaluppini menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan mereka dengan tetap merawat tradisi yang mereka yakini selama ini.

Masyarakat adat Kaluppini yang berada di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, sebagai lokus dari buku ini dikenal masih memegang teguh kepercayaan dan hukum adatnya. Mereka melaksanakan berbagai upacara adat sebagai bentuk syukur atas penghidupan yang mereka jalani selama ini dan sebagai upaya membangun hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

baca : Mimpi Organik Petani Kaluppini. Seperti Apa?

 

Masyarakat adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan, sangat ketat dalam menjaga adat dan tradisi, termasuk saat lebaran. Ada puluhan ritual dilaksanakan setiap tahunnya. Salah satunya ritual doa bersama setelah ziarah kubur sebagai doa Bersama bagi keluarga yang telah meninggal. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Nurbaya, salah satu indikator potensi kerawanan pangan pada Masyarakat Adat Kaluppini adalah kurangnya ketersediaan pangan lokal (food availability) di wilayah mereka yang tergantung dari hasil produksi pertanian di wilayah tersebut dan ketersediaan pangan di pasar.

“Mereka membeli makanan dari pasar, termasuk beras sebagai makanan pokok. Mereka menilai produksi beras tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga tetap harus membeli beras. Salah satu penyebabnya ialah perubahan musim yang menyebabkan musim tanam berubah dan berdampak pada hasil panen yang rendah pula,” jelasnya dalam sebuah diskusi di Makassar, Rabu (10/1/2024).

Sebagian besar masyarakat Kaluppini bekerja di sektor pertanian dengan beberapa jenis tanaman jangka pendek, seperti jagung, kacang tanah, dan bawang merah. Tanaman jangka panjang termasuk cengkih, kemiri, kakao, dan pala. Mereka juga menanam padi setahun sekali pada sawah tadah hujan.

Dahulu, makanan pokok masyarakat Kaluppini tidak hanya nasi tapi juga ba’tang atau jewawut. Namun produksi ba’tang berkurang sejak bertahun-tahun lalu sehingga mereka mengganti bahan makanan pokok utama menjadi beras saja.

“Ini menjadi salah satu indikator menurunnya ketersediaan pangan lokal di Kaluppini. Ketersediaan beras dan juga jewawut sebagai makanan pokok pada masyarakat adat ini cenderung mulai berkurang.”

Menurut Nurbaya, pertanian dan produksi pangan adalah salah satu sektor ekonomi yang paling sensitif terhadap iklim karena hasil tanaman tadah hujan bergantung pada curah hujan yang memadai dan suhu sedang.

Berkurangnya hasil panen setiap tahun terjadi karena sawah yang ada di Kaluppini adalah sawah tadah hujan. Sementara itu, musim hujan di Kaluppini sudah mulai berubah sehingga petani sulit menentukan kapan saat terbaik untuk menanam sekaligus mengurangi potensi kerugian jika ternyata musim hujan terlambat.

baca juga : Damulu Banua, Merayakan Kehidupan di Kaluppini

 

Pada proses kumande samaturu’, masyarakat makan menggunakan wadah dari daun jati sebagai pengganti piring yang dalam bahasa setempat dinamakan ma’balla. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Masyarakat adat Kaluppini mempunyai banyak tradisi dan pengetahuan tradisional untuk menyokong ketahanan pangan mereka. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan merupakan prasyarat penting bagi akses terhadap pangan lokal dan ketahanan pangan bagi masyarakat adat.

“Melestarikan pengetahuan tradisional tentang sistem pertanian dan cara pengolahan pasca panen pada masyarakat sangat penting. Selain itu, hukum adat tidak hanya mengatur interaksi antaranggota masyarakat adat tersebut, tetapi juga interaksi manusia dengan alam.”

Salah satu tradisi yang masih terjaga dengan baik di Kaluppini adalah dengan tidak menjual hasil panen padi, sepenuhnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan disimpan sebagai cadangan pangan untuk masa depan.

Selain itu, masyarakat Kaluppini juga melestarikan tradisi berbagi makanan dan saling membantu kebutuhan pangan pada setiap acara adat yang mereka laksanakan sepanjang tahun.

“Mereka menyumbangkan beras, ayam, atau bahkan sapi untuk diberikan kepada orang yang melakukan ritual. Pada setiap ritual adat, kegiatan kumande samaturu’ atau makan bersama-sama adalah hal yang wajib.”

Di saat tradisi berbagi makanan sudah mulai pudar di berbagai kelompok masyarakat di berbagai negara, namun praktik berbagi makanan ini justru sangat kuat dipertahankan oleh masyarakat Kaluppini.

Kumande samaturu’ sebagai tradisi berbagi makanan masih berfungsi dengan baik dan masih ada hingga saat ini dalam bentuk nande sesa yang dibagikan saat ritual.”

baca juga : Menjaga Hutan, Menjaga Masyarakat Adat Kaluppini Enrekang

 

Seluruh pedagang di pasar Pasar Kalimu, Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan adalah perempuan dengan dagangan berupa hasil kebun atau dari hutan, seperti jamur yang diambil dari kayu yang rubuh. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Upacara adat sendiri telah menjadi media berkumpul masyarakat adat Kaluppini dalam menjaga sistem kekeluargaan dan menjaga rasa gotong-royong.

“Tradisi kumande samaturu’ mencerminkan kekuatan dan kebersamaan masyarakat Kaluppini yang berpegang teguh pada peppasang yang menjadi falsafah hidup mereka,” tambah Nurbaya.

Selain itu, jejaring sosial yang terbentuk dalam berbagai upacara adat, seperti pada kegiatan memanen, memasak, dan menyiapkan makanan saat ritual, membentuk sistem pangan pada masyarakat adat yang secara tidak langsung dapat meningkatkan ketahanan pangan, status kesehatan dan kesejahteraan masyarakat tersebut. (***)

 

Exit mobile version