Mongabay.co.id

Gantikan Sawit dengan Jernang, Upaya Warga Solok Selatan Bangun Ekonomi dan Jaga Hutan

 

 

 

 

 

Awan mendung di atas Nagari Padang Gantiang,  Solok Selatan, Sumatera Barat, sore itu. Dari tepian pondok beratap terpal, Linun, memperlihatkan batang-batang jernang miliknya.

Linun sedang di kebun. Dia membersihkan gulma-gulma di bawah tanaman jernang, salah satu jenis tanaman rotan ini. Sekitarnya,  ada pohon-pohon karet tua. Beberapa tempurung getah karet tergeletak begitu saja.

Tak jauh dari sana, hamparan sawah berlatar batang-batang tanaman sawit yang menurut warga tak berbuah bagus.

Linun tak lagi menanam sawit, sudah dia ganti dengan jernang.

Dia bilang, sawit itu berpengaruh pada sungai. “Dulu,  [sumber] airnya  besar. Sekarang tidak,” katanya.

Kalau yang menanam sawit bertambah banyak, katanya, bukan tak mungkin persediaan air minum warga akan terganggu.

Selain itu dia juga mengatakan sawit membuat suhu lebih panas. Dahulu setiap pagi terasa lebih dingin dari sekarang. “Kini sejuk-sejuk begini saja,” katanya.

Lelaki empat anak ini dulu wali nagari selama dua periode. Dia melihat masyarakat kesulitan ketika harga karet turun.  Kondisi tambah berat saat itu masa pandemi COVID-19. Sebagian warga juga bekerja sebagai buruh tani.

“Perempuan dibayar Rp70.000 per hari,  lelaki Rp100.000-Rp120.000. Lelaki mendapat  tugas sekalian membersihkan lahan, perempuan hanya menanam,” katanya.

Dia pun berupaya mencari tahu bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dia buka-buka Youtube dan dapat informasi tentang jernang.

Setelah itu, dia bentuk kelompok petani jernang ini pada September 2020 ketika pandemi COVID-19. Anggotanya, adalah para petani yang memiliki ladang dalam hutan nagari.Pada Oktober 2020,  dia bersama masyarakat mulai menanam bibit salah satu jenis rotan ini. Dia tak sabar panen dalam waktu dekat.

Dia mendapatkan bantuan bibit jernang. Dari 369 keluarga ada 34 dapat, masing-masing 24 batang pada 2021.

 

Baca juga: Mulai Langka di Hutan, Suku Anak Dalam Budidaya Jernang

Tanaman sawit di tepian ladang di Nagari Padang Gantiang, Solok Selatan, Sumatera Barat.  Sebagian hutan itu jadi kebun sawit. Kini, sebagian warga mulai menebangi sawit-sawit mereka dan berganti tanam jernang. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

Nagari Padang Gantiang peroleh penetapan perhutanan sosial seluas 1.579 hektar. Saat  Linun jadi wali nagari dilakukan pengusulan  dan penetapan pada 2017.

Penanaman jernang juga berkaitan dengan perlindungan hutan nagari mereka yang masuk dalam program perhutanan sosial.

Dengan ada bantuan bibit, katanya, harapannya, bibit ditanam di sekitar hutan,  hingga masyarakat tak akan merambahnya.

Nasrul, anggota petani jerbang yang lain sepemahaman dengan Linun. Dia ikut menanam jernang karena merasa sawit tak bagus. Banyak yang tak berhasil.

Dia merasa sawit juga tak dapat tumbuh baik di nagarinya. Dari pemantauan, sawit tumbuh pendek, dan buah sedikit.

Sawit, katanya, juga rakus air. Sumur Nasrul jadi bukti paling nyata. Dia punya sumur dengan sumber air kjuat dan selalu penuh sepanjang tahun. Saat kemarau pun, ketika tetangga mengalami kesusahan air, rumahnya jadi tujuan karena air sumur tak pernah habis.

Ketika tetangganya menanam beberapa batang sawit di belakang rumah, dengan jarak sekitar enam meter dari sumur ternyata berpengaruh.

“Sejak ada sawit itu sumur agak kurang airnya saat kemarau,” katanya.

Air sungai juga mengecil sejak ada sawit. “Karena banyak makan air,” katanya.

Dia pun setuju dengan wali nagari yang mengajak menanam jernang walau tak ada sejarah mereka budidaya jernang di kampungnya. Rotan itu tumbuh di hutan.  Setahu dia, Suku Anak Dalam, biasa ambil jernang ini.

Nasrun pun mempelajari detail penanaman dan perawatan jernang. Dia menggali lubang beberapa sentimeter lalu memasukkan pupuk kandang dan menanam bibit jernang.

 

Baca juga: Ada Gairah Budidaya Jernang di Kaki Leuser

Ilustrasi bibit  jernang .  Jernang adalah tanaman jenis rotan yang menghasilkan getah dan bisa dimanfaatkan.Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jernang kaya manfaat

Jernang adalah tanaman jenis rotan yang menghasilkan getah dan bisa dimanfaatkan.  Asal genusnya bernama Daermonorops. Dari genus ini ada beberapa sub seperti Draco blume, Didymophilia becc, dan lain-lain.

Linun budidaya Daemonorops draco blume atau dalam bahasa Inggris disebut dragon blood.

Penelitian Totok K Waluyo dan Gunawan Pasaribu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan,  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  menyebut,  jernang punya banyak kandungan dan sudah dimanfaatkan dalam pengobatan tradisional.

Riset berjudul aktivitas antioksidan dan antikoagulasi resin jernang ini menyatakan, kegunaan jernang dalam industri sebagai bahan pewarna vernis, keramik, dan marmer.

Selain itu,  dalam riset ini dikatakan juga jadi obat tradisional sejak beberapa abat lalu sebagai antiseptik, merangsang sirkulasi darah, antimikroba, antivirus, antitumor dan obat luka.

Riko, petani muda nagari itu mengatakan,  awalnya masyarakat hanya tahu kalau jernang itu tumbuhan yang biasa dicari Orang Rimba atau Suku Anak Dalam di hutan. Belum pernah, katanya, ada yang gunakan tumbuhan hutan ini untuk jual beli.

“Ini baru, jadi kita coba juga,” katanya sambil memperlihatkan tanaman jernang di belakang rumahnya.

Wengki Purwanto,  Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat mengatakan,  tanam jernang bisa jadi strategi ekonomi masyarakat berkelanjutan sekaligus memproteksi mereka dari ancaman perluasan sawit.

“Satu hal perlu mencegah ekspansi perkebunan sawit skala besar. Karena perkebunan skala besar itu masuk pasti yang ditonjolkan soal ekonomi, peningkatan ekonomi masyarakat yang justru tidak terbukti,” katanya.

Bahkan sebaliknya, ketika masyarakat menanam sawit seringkali memanen konflik berkepanjangan.

Contoh kasus di Bidar Alam,  sejak 2005 tanam sawit, tetapi lahan produktif itu warga serahkan ke perusahaan jadi kebun plasma. Masyarakat pun kehilangan ruang kelola. Kondisi itu memicu kesulitan ekonomi warga. Mereka dapat janji peningkatan ekonomi, dengan bagi hasil 40: 60. Semua hanya janji.

“Faktanya berbeda,” kata pria yang juga anggota Perkumpulan Bantuan Hukum Indonesia ini.

 

Karet di Nagari Padang Gantiang, Solok Selatan, Sumatera Barat. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dia contohkan juga saat harga sawit rakyat naik harga. “Itu karena pada fase perusahaan besar masih dalam replanting. Kalau sudah selesai tahap replanting harga sawit rakyat turun dan tak mau mereka menerima dengan banyak alasan seperti kualitaslah atau yang lain,” katanya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman seperti itulah Walhi Sumbar turut mendorong dan mengawal penanaman jernang di Nagari Padang Gantiang.

“Mendorong,  menginisiasi model-model ekonomi yang berbasis kekuatan rakyat sekaligus tetap menjaga alam. Ekosistem air terjaga, hutan terawat juga bermanfaat ekonomi bisa berpadu dengan kebun karet masyarakat,” katanya.

Wengki mengatakan,  kalau semua lahan ditanam sawit maka akan mempengaruhi pasokan pangan masyarakat. “Karena sumber air akan habis diserap sawit.”

Dia bilang, sejak awal Walhi Sumbar membangun dialog dengan masyarakat dalam memperkuat ekonomi mereka. “Dari situ muncul ide soal jernang. Karena jernang bisa terintegrasi dengan tanaman yang ada. Walhi memfasilitasi dan mengasistensi proses dari awal sampai hari ini,” katanya.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa panen.”

Sembari pendampingan,  Walhi juga menumbuhkan kesadaran bahwa penting memperkuat ekonomi sekaligus mewaspadai ‘sumber ekonomi’ yang terlihat bagus tetapi sebenarnya merampas ruang hidup.

Tak hanya jernang, juga ada kopi dan lain-lain. “Ada kopi, ada jernang,  sesuai karakteristik masyarakat dan kondisi wilayah mereka.”

 

*********

 

Jernang, Bukan Sembarang Tumbuhan Hutan

Exit mobile version