Mongabay.co.id

Warga Protes Dampak Pembangunan TPST di Bali

 

Sejumlah baliho didirikan warga di jalan raya utama Bypass Ida Bagus Mantra, Denpasar. Ada dua kali tahap pemasangan dengan baliho berbeda. Baliho pertama sudah robek separuh. Setelah ditelusuri, awalnya bertuliskan begini “Desa budaya berubah jadi desa baudaya. Kami masyarakat tidak terima janji busuk apalagi bau busuk.” Dengan latar belakang tumpukan sampah.

Baliho ini didirikan warga sekitar Agustus 2023. Baliho kedua, dipasang sekitar Desember 2023 terlihat masih terpasang di beberapa titik strategis di Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar, lokasi tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Kesiman Kertalangu berdiri. Instalasi ini diresmikan Presiden Joko Widodo pada 13 Maret 2023 menjelang perhelatan KTT G20 di Bali.

Isi baliho kedua ini adalah TPST Kesiman Kertalangu tidak sesuai janji. Kami berhak atas udara bersih dan sehat.

Kadek Oka Widiantara, salah seorang warga yang vokal menyuarakan protes ini mengatakan pendirian baliho ini cukup efektif menarik perhatian pemerintah karena warga sudah sering protes bau dan asap namun tak digubris. “No viral no justice,” sebutnya saat dikunjungi di rumahnya, 18 Januari 2024. Ia menyayangkan proyek TPST ini terlalu cepat beroperasi tanpa sosialisasi dan edukasi yang cukup. Bahkan ia mempertanyakan kenapa proyek sudah beroperasi tanpa Sertifikat Laik Operasi (SLO) dan izin lingkungan lainnya.

Melalui saluran komunikasi banjar, WA group, warga mencurahkan protesnya. Salah satunya foto anak yang sesak nafas dengan bantuan oksigen. Juga ada laporan penemuan residu limbah padat di pantai, dekat TPST.

Pemasangan baliho pertama menghasilkan kesepakatan pengiriman sampah baru dari luar desa ke TPST distop sementara. Warga menagih janji pemerintah dan investor TPST karena pada sosialisasi menjanjikan sejumlah hal. Warga yang hadir saat itu setuju dengan catatan. Oka mengutip hasil tertulisnya yakni tidak berbau, sosialisasi terus menerus melibatkan warga terdampak, pengelolaan limbah termasuk cair optimal, tidak mencemari saluran irigasi, sampah tidak tercecer, dan lainnya.

Protes warga ini memang kerap terbaca di media sosial. Bahkan ada warga yang rajin mengukur kualitas udara dengan membagi hasil indeks pengukur polusi realtime di sekitar rumahnya di Kertalangu. Tak sulit melihat bangunan TPST ini karena terlihat dari jalan raya utama. Ketika terlihat ada asap membumbung di cerobongnya, bau khas sampah memang menyergap hidung. Mirip ketika melewati TPA Suwung yang juga dekat jalan raya lintas provinsi.

Protes juga dilaporkan tak hanya di TPST Kertalangu yang dikelola PT Bali Citra Mutiara Plasma Power (CMPP) bekerja sama dengan pemerintah.

baca : Pemprov Bali Batalkan Proyek Pengolah Sampah jadi Energi Listrik, Kenapa?

 

Presiden Joko Widodo meresmikan tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) Kesiman Kertalangu, Denpasar, Senin 13 Maret 2023. Foto : Dispurprkim Pemprov Bali

 

Pada 12 Januari 2024, sejumlah anggota Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yakni Nexus3 Foundation dan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengadakan diskusi publik bertajuk “Efektivitas dan Dampak Pembangunan TPST di Bali”

Acara ini juga mempertemukan para warga terdampak dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali dan PT CMPP. Dalam video testimoni diperlihatkan keluhan sejumlah warga Jimbaran yang menghasilkan polusi udara dan limbah di sekitarnya.

Warga TPST Samtaku menyebutkan pembangunan TPST dibangun atas tanah pribadi penduduk, dan tidak untuk dilewati truk. Akibatnya, bau busuk dan asap yang ditimbulkan dari proses pengolahan sampah tersebut membuat beberapa warga sekitar berniat untuk pindah dan menjual tanah atau propertinya meski tidak berhasil.

Ada warga yang merasa dibohongi karena saat sosialisasi awal disebut pembangunan pengelolaan sampah plastik. Padahal TPST yang memproses bahan refuse derived fuel (RDF).

“Mereka bilang kalau akan buat pabrik plastik, bukan pabrik sampah,” ujar Ni Made Puri, salah satu warga terdampak dari TPST Samtaku, Jimbaran dalam video.

Warga yang testimoni langsung adalah Kadek Oka dari Kesiman Kertalangu. Setelah penurunan baliho pertama ada kesepakatan untuk mengurangi sampah agar tidak bau. Warga juga minta monitoring dan evaluasi ke TPST. “Warga minta tidak bau dan mencemari lingkungan. Uji coba tidak berhasil. Warga sepakat mendirikan baliho lagi, ini ungkapan masyarakat agar diperhatikan,” paparnya. Sebelumnya surat penolakan dengan keluhan warga sudah dilayangkan ke Walikota Denpasar dan DPRD Bali.

“Sampai kapan ini tidak ada penyelesaian, kenapa proyek sebesar itu tidak ada SLO, Amdal. Kita sudah memilah sampah,” sebutnya merespon kesulitan memilah sampah di TPST.

Menurutnya lokasi TPST tidak sesuai karena berada di tengah pemukiman, dekat sekolah, panti jompo, dan lainnya.

baca juga : Teba Modern, Cara Desa Celuk Bali Bebas Sampah Organik

 

Baliho yang berisi protes warga Desa Kesiman Kertalangu tentang keberadaan TPST. Foto ; Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

TPST tidak sesuai target

Dalam mengatasi bau, pihak pengelola yakni PT Bali CMPP sempat memberhentikan fasilitas TPST untuk sementara waktu. Saat ini kapasitas TPST Kesiman Kertalangu hanya mampu mengolah 290 ton dari 450 ton yang direncanakan. Menurutnya, hal ini karena RDF yang dihasilkan harus menyesuaikan dengan spesifikasi yang diminta oleh pembeli (offtaker).

General Manager PT Bali CMPP, R. Agung Priyanto menyampaikan sejumlah kesulitan dalam berinvestasi. Pertama, ketersediaan lahan hanya diberikan 3 lokasi oleh Pemprov Bali. Kedua, pemilihan dan uji coba teknologi RDF agar efektif. “Kalau pengelolaan skala kawasan, Denpasar baru pertama kali dibangun pemerintah, referensi minim,” sebutnya.

Dari sisi lokasi, elevasi TPST Kesiman Kertalangu dinilai lebih rendah dari jalan. Berikutnya masalah pemilahan. Tidak semua sampah bisa diolah, organik tidak menghasilkan kalor, RDF ini merelokasi beban residu TPA.

Munculnya bau, menurut Agung karena penumpukan sampah di TPST, pihaknya berusaha one day service menambah kapasitas jadi 4 line dari 2 line. Menimimalkan tumpukan dengan wadah keranjang dengan keterangan waktu. Setelah itu pengeringan menggunakan panas, ia menyebut bukan pembakaran, tapi pemanasan melepaskan kadar air. Pada intinya implementasi teknologi ini perlu adaptasi karena karakter sampah tiap daerah berbeda.

Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan DKLH Provinsi Bali I Made Dwi Arbani menyebut ketinggian sampah di TPA Suwung yang baru terbakar sudah 35 meter. Walau luasnya sudah 30 hektar dan menggerus kawasan mangrove, TPA ini terus kewalahan. Dwi minta warga melakukan komposting mandiri.

Ia juga bertanya apakah rencana investasi pengelolaan sampah Rp2,3 triliun bisa mengolah volume sampah 1200 ton per hari? Jika tipping fee (biaya olah sampah untuk investor) lebih dari Rp400 ribu per ton, berapa ratus juta yang harus dibayarkan dari dana publik?

Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rezky Pratiwi menyayangkan sikap pemerintah yang tidak fokus pada perubahan sistem. Menurutnya tidak adil jika masyarakat disalahkan dan disuruh mencari solusinya, sedangkan dalam tahap perencanaan pembangunannya saja tidak diikutsertakan. Contohnya proyek-proyek TPST yang kini bermasalah.

“Perda sudah ada sejak 2011 namun sampai sekarang sistemnya belum jelas. Pemerintah harus bisa menjelaskan arah kebijakan dan programnya,” sebut Rizky.

Dari kasus pembangunan TPST Kesiman Kertalangu dan Jimbaran, menurutnya masyarakat tidak tahu dengan jelas dampaknya namun diminta solusi. “Ada  skema kompensasi ganti rugi jika yang direncanakan tak terjadi tapi ini tidak ada sistemnya. Pemerintah bisa digugat soal perizinan atau pelanggaran,” tambahnya.

Dikutip dari sejumlah media, dalam kontrak PT Bali CMPP selama ini sepakat memulai operasional tanggal 25 Juli 2023 dengan kapasitas pengolahan hingga 31 Oktober 2023 minimal 60 persen dari kapasitas pengolahan perharinya di tiga TPST yakni Kesiman Kertalangu, Padangsambian Kaja, dan Tahura. Akan tetapi, target tersebut tidak tercapai.

baca juga : Cerita Setyarti, Penggerak Sedekah Sampah dari Bali

 

Fasilitas pengolahan sampah di TPST Kesiman Kertalangu, Denpasar. Foto : Kementerian PUPR

 

Pembelajaran dari Kebakaran TPA

Pengalaman buruk tinggal dekat TPA dialami Kepala Desa Lebih I Wayan Agus Muliana.

Sudah dua tahun ia berjuang mengolah sampah warganya di Lebih, Gianyar dengan TPS3R. Ketika belum ada TPS3R di desa, ada peristiwa terbakarnya TPA Temesi selama 3 bulan, lokasinya sebelah utara Desa Lebih. “Saya masih pemuda pada 2018. Warga meninggal 2 orang karena ISPA dampak kebakaran TPA,” ceritanya.

Warga minta DLH dan kontak sejumlah pejabat untuk memadamkan api. Sampai kemudian warga mendirikan baliho, isinya “Sebet yen tuturang Desa Lebih kena dampak kebakaran Temesi.” Artinya warga sangat bersedih dan kecewa dengan kebakaran ini.

Warga berencana buat aksi ke Kantor Bupati jika bantuan pemadaman tak datang. Cara ini berhasil, ada pengerahan armada pemadam kebakaran sampai TPA Temesi tak berasap lagi.

Setelah peristiwa ini, Agus pun terpilih jadi Kepala Desa dan mencari cara, bagaimana mengurangi sumbangan sampah ke Temesi, apa solusi kita?

Pertama, desa membangun bank sampah untuk menabung anorganik yang bisa didaur ulang dibantu Griya Luhu. Sekarang sudah ada 3 banjar bank sampah aktif. Warga mengalokasikan upah Rp50 ribu per hari ke petugas saat buka bank sampah.

Warga juga ada yang menolak instalasi pengolahan sampah desa ini. “Kalau gagal tutup saja jadikan tempat olahraga,” begitu selentingan warga. Ia mengakui hal tersulit adalah memilah sampah. Sarana juga perlu pemeliharaan seperti truk dan kurangnya kapasitas dengan volume sampah desa.

Hanya bisa mengolah sampah 800 KK dari jumlah penduduk sektar 1800 KK. Agus berencana menambah lahan untuk komposting karena organik sekitar 70% seperti canang, dedaunan, dan lainnya.

“Kuncinya sampah terpilah dari rumah tangga. Tahun ini diberi bantuan untuk buis biopori diameter 80 cm ke warga,” ungkapnya. Agar warga bisa komposting mandiri di rumah, sekaligus sumur resapan mengurangi banjir.

Residu masih menjadi masalah, jumlahnya sekitar 3 truk, namun berlipat saat hari raya menjadi 6-8 truk. Sebagian masih organik, karena warga yang melakukan pemilahan baru 30%. Perlahan tapi pasti, pengelolaan mandiri mulai nampak. Misalnya ada satu gang kompak, Gang Marlin, menyediakan tong pemilahan sendiri. Nama-nama gang di desa ini semuanya ikan karena dekat pesisir dan punya sentra kuliner laut populer seperti sate, pepes, dan bakso ikan. (***)

 

Exit mobile version