- Pemprov Bali membatalkan tender untuk mencari investor Pengolah Sampah jadi Energi Listrik (PSEL)
- Pulau Bali juga sebelumnya gagal saat mencoba membangkitkan listrik dari pembakaran sampah beberapa tahun lalu.
- TPA Suwung penampung sampah Sarbagita makin penuh dan akan dilarang menampung sampah baru pada 2022
- Pengelolaan berbasis sumber jadi solusi namun perlu fasilitasi dan pendampingan yang intensf.
Pemerintah Provinsi Bali membatalkan proyek pembangkitan listrik tenaga sampah atau yang disebut Pengolah Sampah jadi Energi Listrik (PSEL). Padahal ibukota provinsi, Denpasar masuk dalam 12 Kota di Indonesia seperti tercantum di Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Penolah Sampah jadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Made Teja, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLHK) Provinsi Bali mengataka surat pembatalan ini sudah disampaikan Gubernur ke Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi. Alasannya biaya tipping fee per ton sampah yang sangat tinggi dan tidak bisa dipenuhi.
“Hitungan biaya sangat tinggi, ke depan sampah terus meningkat. Kemampuan ekonomi belum mampu menutupi, perlu dikaji kembali,” ujar Teja saat dikonfirmasi Mongabay Indonesia, Selasa (24/08/2021).
Ia menyebut nilai tipping fee ini sekitar Rp480 ribu/ton sampah yang diolah investor PSEL yang harus dibiayai pemerintah daerah yang membuang sampahnya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung. TPA ini adalah terbesar di Bali, sebagian kabupaten terutama di selatan Bali membuang sampahnya ke TPA yang sudah overload dan terus diperluas ini. Padahal lokasinya di samping kawasan konservasi maritim Tanjung Benoa.
Jika melewati jalan raya bypass Ngurah Rai dari Sanur menuju bandar udara Ngurah Rai pasti melewati TPA ini dan bau sampah meruap di udara. Apalagi saat musim hujan.
TPA Suwung juga sudah digelontor puluhan miliar rupiah untuk menyulap sampah jadi taman dalam program Proyek Revitalisasi TPA Regional Sarbagita Suwung yang diluncurkan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan pada Desember 2017. Proyek yang dibuat untuk mengurangi bau, mencegah longsor sampah, dan menyambut sidang tahunan IMF dan World Bank di Bali pada 2018 ini dilaksanakan selama 3 tahun dimulai akhir Desember 2017 sampai Oktober 2019.
baca : Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dinilai Menyalahi Kebijakan Pengelolaan Sampah di Bali
Badan Pengelola Kebersihan wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan) pernah menjamin semua sampah di TPA akan sepenuhnya bisa dimusnahkan pada 2012. PT. Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI) menjadi investor pengolahan sampah di TPA Suwung saat itu.
Empat Pemda kawasan Sarbagita yang membuang sampahnya ke TPA Suwung membuat kerjasama penanganan sampah sejak 2007. Salah satu klausul adalah investor bisa mengolah sampah jadi listrik namun tak terpenuhi dan sudah putus kontrak. Tidak ada kesepakatan soal tipping fee dari tiap ton sampah yang diolah karena biaya pembakaran sampah sangat mahal.
Proyek di TPA Suwung ini dibahas dalam rapat koordinasi di Kantor Gubernur Bali, pada Rabu (13/02/2019), Denpasar. Dipimpin Gubernur Bali, dihadiri perwakilan pemerintah kawasan Sarbagita, pelaksana proyek Waskita Karya dan PT Indonesia Power, dan para pihak lainnya.
Gubernur Bali I Wayan Koster meyakini proyek ini akan diselesaikan dalam waktu sesingkatnya. “Sedang dibuat feasibility study (FS), harus mulai beroperasi 2020,” umbar Koster. Mongabay yang hadir saat itu mencatat bagaimana instruksinya agar PLTSa ini tak gagal lagi.
Untuk menangani melubernya TPA Suwung, pemerintah akan melarang pembuangan sampah pada taun 2022. “Tidak bisa buang sampah lagi ke TPA, harus dikelola di wilayahnya masing-masing,” ujar Made Teja.
Dari perhitungan sebuah kajian pemerintah sebelumnya, akan ada bahan baku sekitar 1140 ton sampah per hari dari Kota Denpasar. Inilah yang akan jadi bahan baku PSEL.
Pengelola PSEL ini rencananya akan ada ditenderkan untuk mendapat investor. Namun pemerintah akhirnya tidak jadi membuat tender. Kini, karena PSEL batal, pada 2022, semua desa diminta harus memiliki pengelolaan sampah mandiri.
baca juga : Darurat Pengelolaan Sampah di Bali, Rentan sebabkan Konflik Sosial dan Ekonomi. Seperti Apa?
Bali sudah memiliki Peraturan Gubernur tentang kewajiban mengelola sampah di sumber namun belum diimplementasikan secara menyeluruh. Pengelolaan sampah akan dibebankan di desa dan residunya dibuang ke TPST setempat. Teja menyebut ada dana kompensasi Rp100 milyar dari pemerintah pusat karena dibatalkannya PSEL tersebut. Dana ini direncanakan untuk pendanaan infrastruktur seperti pembangunan TPST di tingkat wilayah.
Saat ini seluruh kabupaten dan kota di Bali sudah memiliki sejumlah TPST namun tak semuanya optimal. Ada yang bermasalah dengan kekurangan alat seperti pencacah sampah organik atau sumberdaya manusia.
Salah satu lokasi pengelolaan sampah komunal yang berkembang sampai kini adalah Rumah Kompos yang dikelola Desa Adat Padangtegal, Ubud. Ini adalah lokasi obyek wisata Monkey Forest yang populer.
Padangtegal memperlihatkan sistem pengolahan sampah terintegrasi. Tiap rumah didorong memilah sampah organik dan anorganik dahulu sebelum diangkut truk milik desa. Termasuk hotel dan restoran yang memadati desa ini. Sampah organik diolah di Rumah Kompos dan hasilnya digunakan untuk menyuburkan hutan monyet ekor panjang di Monkey Forest.
Pembangkit Listrik dari Sampah
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PTSa) juga tercantum dalam Pergub Bali tentang Bali Energi Bersih. Sampah kota dan desa ini dimasukkan sebagai materi EBT.
Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Kota yang selanjutnya disingkat PLTSa adalah pembangkit listrik yang menggunakan energi terbarukan berbasis sampah kota yang diubah menjadi energi listrik.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) jaringan lembaga lingkungan di Indonesia mengkritik ide ini karena rentan menghambat pengelolaan sampah di hulu atau sumbernya, seperti saat ini dikampanyekan. Selain itu, teknologi pembakaran sampah masih berisiko pada dampak kesehatan serta sangat mahal.
baca juga : Melihat Pengolahan Sampah Jadi Briket Energi di Kabupaten Klungkung Bali
Bali merupakan salah satu lokasi pembangunan Pengolah Sampah jadi Energi Listrik (PSEL) dari 12 kota di Indonesia yang terpilih. Kota lain adalah DKI Jakarta, Tanggerang, Tanggerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Pelembang, dan Manado. PSEL yang akan dibangun di Kota Denpasar terletak di TPA Suwung dengan kapasitas sedikitnya 1.000 ton sampah per hari yang akan dibakar menggunakan teknologi thermal.
Masuknya Denpasar dalam 12 Kota di Indonesia ini tercantum di Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Penolah Sampah jadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Perpres ini dinilai malah menghambat kemajuan pengelolaan sampah di Indonesia karena membuat pemerintah kota dan kabupaten lengah melaksanakan minimalisasi, pengurangan, pemilahan dan meningkatkan pengangkutan sampah di wilayah mereka sesuai amanat UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Apalagi, hampir semua TPA sampah kota-kabupaten di Indonesia masih dioperasikan dalam bentuk open dumping, bukan controlled landfill ataupun sanitary landfill. Sistem pengelolaan sampah di saat ini masih menggunakan sistem kumpul-angkut-buang. Sistem ini disebut hanya menyelesaikan permasalahan sampah pada bagian hilir, yaitu dengan mengandalkan sarana dan prasarana Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan mimpi pembangunan fasilitas PSEL.
“Sejak tahun 2003, Bali sudah mencoba teknologi termal untuk mengolah sampah di TPA Suwung tetapi gagal. Seharusnya pemerintah Provinsi Bali menyampaikan kepada Presiden, pembelajaran dari kegagalan 2004-2016 agar tidak terulang lagi,” ujar Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3, anggota AZWI, dalam pernyataan sikap terkait penolakan PSEL pada Juni lalu.
Dengan biaya yang sama, AZWI menilai dapat dicapai pemilahan sampah dan pengomposan di sumber atau di kawasan. Dengan investasi senilai PSEL tersebut, asumsinya peningkatan persentase pengangkutan sampah sampai 80%, dan pengoperasian TPA dengan teknologi Sanitary Landfill selama 15 tahun.
Dalam UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 29 ayat 1 butir (g) dinyatakan bahwa, setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Ini artinya komposisi sampah dan metode pembakarannya harus sesuai dengan persyaratan teknis. Sampah di Indonesia tidak memenuhi persyaratan teknis karena rata-rata nilai kalor berkisar antara 2.000-6.000 kJ/kg lebih rendah daripada standar nilai kalor terendah (low heating value/LHV) yaitu 10.000 kJ/kg.