Mongabay.co.id

Was-was Tambang Datang, Sumber Air di Banggai Kepulauan Terancam Hilang

 

 

 

 

 

Warga Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah (Sulteng) baru pulang dari kebun, sore itu. Ada yang langsung mandi, ada yang masih mencuci baju di sumur. Sumur-sumur itu salah satu sumber air bersih di desa ini.

“Di sini tidak ada PDAM (perusahaan daerah air minum). Kami hanya mengandalkan sumur-sumur itu yang sumber air dari kawasan karst Banggai Kepulauan ini,” kata Handri Likak, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Komba-Komba kepada Mongabay, pertengahan Oktober lalu.

Di kabupaten dengan luas 248.879 hektar ini, air bersih jadi satu yang kerap dirisaukan karena pemerintah daerah belum sepenuhnya membantu warga untuk memberikan air bersih.

Bangkep, kerap dilanda krisis air bersih saat musim kemarau.

Bupati Bangkep sudah membuat Surat Keputusan Nomor 349/2019 tentang penetapan status tanggap darurat penanganan bencana krisis air bersih di kabupaten ini. Surat itu beberapa kali diperpanjang karena kondisi krisis air bersih di sana.

Pada tahun pembuatan surat itu, air bersih berkurang drastis, bahkan tak ada sama sekali karena musim kemarau berkepanjangan dari Agustus-Desember 2019. Aktivitas pemerintahan, masyarakat, hingga proses belajar mengajar pun ikut terhenti sebagian karena kondisi daerah sudah tak kondusif.

Kondisi sama juga terjadi pada 2023. Sejak Oktober lalu, ada sekitar 2.140 keluarga di 16 desa di tiga kecamatan yakni Bulagi, Bulagi Utara dan Bulagi Selatan,  mengalami krisis air. Mereka sudah tak bisa lagi memenuhi keperluan sehari-hari, termasuk untuk minum, dan masak.

Pj. Bupati Banggai Kepulauan, Ihsan Basir pun kembali membuat surat keputusan tentang penetapan status tanggap darurat penanganan bencana krisis air bersih pada awal November lalu. Surat itu juga sebagai respon dampak El-Nino yang sudah terjadi sejak Agustus lalu.

Handri bilang, Komba-Komba menjadi salah satu desa yang ikut terdampak dalam kekeringan ekstrem pada Oktober lalu. Kekurangan air bersih terus berulang setiap tahun.

“Jika musim kemarau, kami sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih karena sumur-sumur kita bisa mengering,” katanya.

 

Sumur di Desa Komba-komba, Bangkep. Kabupaten ini banyak sumber air bersih tetapi masyarakat kesulitan memanfaatkannnya karena tak ada sarana bantuan dari pemerintah, seperti lewat PDAM. masyarakat masih mengupayakn sendiri sarana penyediaan air bersihnya. Saat kemarau, sebagai daerah alami krisis air bersih. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

 

Di tengah kondisi krisis air ini, masyarakat berhadapan dengan ancaman  puluhan perusahaan tambang yang berpotensi masuk ke kepulauan itu dengan perizinan yang pemerintah berikan.

Mereka makin was-was kalau pemerintah memberikan izin kepada puluhan perusahaan untuk eksploitasi batu gamping itu akan merusak ekosistem karst. Kondisi ini akan menghancurkan lingkungan sekitar, termasuk sumber mata air yang sudah berabad-abad digunakan masyarakat.

“Jika wilayah kita dan kawasan karst ini ditambang, sumber mata air di sini pasti akan hilang,” kata Handri.

Data Minerba One Map Indonesia ESDM per 1 Desember 2023 menyebut, sudah ada sekitar 29 perusahaan memiliki izin seluas 3.174,79 hektar.  Sebanyak 28 perusahaan masih pencadangan, satu sudah memiliki izin operasi produksi.

Catatan Koalisi Advokasi Karst Sulawesi Tengah menyebut, masih ada puluhan perusahaan lagi yang sedang memohon penyesuaian tata ruang ke Forum Penataan Ruang (FPR) Banggai Kepulauan untuk menambang.

Handri dan masyarakat Desa Komba-Komba nyatakan menolak kehadiran perusahaan-perusahaan tambang batu gamping di wilayah mereka. Mereka membuat surat penolakan.

“Dokumen penolakan ditandatangani warga Desa Komba-Komba. Dokumen sudah kami serahkan ke Pemerintah Banggai Kepulauan dan DPRD Banggai Kepulauan,” katanya.

Masifnya investasi penambangan batuan gamping di Pulau Peling ini,  khawatir membawa malapetaka bagi kehidupan masyarakat sekitar. Belum lagi, model penambangan dengan bahan peledak (dinamit).

Ditambah lagi, pembukaan lahan skala luas diprediksi terjadi serta lalu lintas kendaraan pengangkut dan sedimentasi juga berpotensi mencemari laut.

Kawasan karst itu sudah dilindungi berdasarkan Perda Bangkep Nomor 16/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Karst Banggai Kepulauan.

Ogrisman Kalaeng, Kepala Desa Komba-Komba mengatakan, warga tahu perusahaan itu bukan untuk mensejahterakan, justru merusak lingkungan dan tempat hidup mereka.

Dia bilang, perusahaan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan iming-iming kesejahteraan. Perusahaan, katanya,  bahkan menjanjikan warga diberikan gaji setiap bulan tanpa kerja, dengan syarat perusahaan dapat izin beroperasi.

Menurut dia, warga menyadari, janji-janji itu tidak bisa jadi jaminan hidup bisa lebih baik ke depan, justru bisa membuat mereka menderita. Dengan begitu, katanya, masyarakat sepakat menolak kehadiran perusahaan batu gamping itu karena dinilai akan merusak lingkungan dan menghancurkan sumber mata air.

“Kami menolak perusahaan batu gamping mengingat anak cucu kami kedepan. Jika perusahaan beroperasi, pasti akan berdampak buruk ke sumber penghidupan kami, termasuk sumber air yang kita gunakan selama ini,” kata Ogrisman kepada Mongabay, Oktober lalu.

Dalam penelitian Ferdy, dan Totok Gunawan dari Universitas Gadjah Mada berjudul “Evaluasi potensi Mata air sebagai sumber air bersih dan upaya pelestarian lingkungan di Pulau Banggai, Sulawesi Tengah” menyebutkan, Bangkep punya potensi sumber air cukup banyak.

Sekitar 85% dari luas daratan Bangkep adalah karst yang jadi reservoir air bawah tanah raksasa yang memiliki sistem drainase sendiri. Kawasan ini juga jadi kunci untuk sistem hidrologi kawasan, dan perlindungan keanekaragaman hayati serta tata air.

Ada 124 sumber mata air, satu sungai bawah tanah, 17 gua, dan 103 sungai permukaan, yang semua terhubung dengan karst itu. Ada juga lima danau, antara lain, Danau Paisupok di Kecamatan Bulagi Utara yang sudah terkenal karena air sebening kaca.

Dalam penelitian itu menjelaskan, dari lima titik lokasi sumber mata air yang diambil sampel, rata-rata punya kualitas air melebihi standar baku mutu untuk air golongan A, atau terlihat keruh karena pengaruh kondisi lingkungan sekitar.

Penyebabnya, seperti, vegetasi tutupan lahan yang makin berkurang, jenis batuan, dan struktur batuan.

Ferdy, dan Totok Gunawan pun merekomendasikan, harus ada upaya pelestarian mata air mencakup pemeliharaan,  yakni, melindungi daerah aliran sungai dari pencemaran dan pembalakan liar dan pemulihan potensi, seperti reboisasi dan penghijauan. Juga, pembuatan instalasi pengolahan air minum, sekaligus peningkatan pengetahuan masyarakat tentang lingkungan hidup.

Wandi, Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, dalam kawasan karst, terdapat gua-gua dan sungai bawah tanah, serta kolam bawah tanah di dalam chamber gua. Di kawasan itu juga ditemukan banyak mata air pada celah batuan dengan pola pengaliran multibasinal.

Batu gamping di Kawasan Karst Bangkep didominasi tipe aliran diffuse dan fissure. Katanya, kedua tipe aliran pada batu gamping berkontribusi sangat besar mensuplai sungai bawah tanah yang berkontribusi pada aliran mata air yang keluar.

Berdasarkan hasil identifikasi lapangan Walhi Sulteng, semua desa-desa yang masuk dalam konsesi tambang batu gamping memiliki tipe mata air sama. Katanya, air itu keluar dari celah batuan dan berada di atas perkampungan.

“Air keluar dengan jernih dan dimanfaatkan langsung masyarakat untuk kebutuhan konsumsi dan pertanian,” katanya melalui rilis yang diterima Mongabay.

Wandi bilang, dengan ada puluhan perusahaan batu gamping akan menghilangkan sumber air bersih bagi kehidupan masyarakat. Sasaran eksploitasi pertambangan adalah batuan karst yang memproses air bersih.

Dia heran, aturan perlindungan karst pemerintah daerah bikin tetapi izin tetap diberikan.

Pada 2023 itu, kata Wandi, ada beberapa desa di Bangkep mengalami krisis air bersih karena musim kemarau panjang. Bahkan,  ada yang terpaksa membeli air  seperti di Desa Alul, Kecamatan Bulagi.

“Jika musim kemarau, warga Desa Alul mengeluarkan uang Rp400.000 untuk membeli air per tangki,” katanya.

 

 

Ada tambang, sumber air bisa hilang

Amran Achmad, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin mengatakan, kawasan karst merupakan penyangga kehidupan, termasuk organisme dalam kawasan itu sendiri. Yang paling penting di dalam kawasan itu, katanya,  adalah air yang jadi sumber kehidupan semua ekosistem di situ.

Bentang alam atau morfologi daerah karst, kata Amran, memiliki ciri khas, yaitu,  tersusun oleh batuan karbonat yang mengalami proses karstifikasi. Dia bilang, karstifikasi itu karena proses pelarutan dan rekristalisasi batuan karbonat akibat pengerjaan oleh air hujan atau air permukaan.

Apabila proses pelarutan itu berlangsung terus, katanya, akan terjadi runtuhan batuan dan terbentuklah rongga-rongga atau gua atau sungai bawah tanah. Rongga-rongga atau gua serta sungai bawah tanah inilah, katanya,  yang jadi tempat penyimpanan cadangan air di kawasan karst.

“Yang sangat penting dari kawasan karst adalah jadi penyimpan cadangan air hingga kawasan ini sebagai salah kawasan yang esensial yang benar-benar harus dilindungi,” kata Amran, November lalu.

Namun, kata Amran, jika karst ditambang, apalagi menggunakan metode peledak, akan merusak ekosistem kawasan itu, termasuk mata airnya.

Air yang tertampung dalam kawasan karst akan terganggu dan masuk lebih dalam ke tanah, dan sumber mata air yang ada akan hilang. Kondisi ini, katanya,  bisa memicu krisis air.

“Ketika perusahaan tambang batu gamping itu mulai beroperasi, sumber mata air di Bangkep terancam hilang.”

Kalau itu terjadi, kata Amran, sektor pertanian yang sangat bergantung pada hidrologi karst akan ikut terdampak. Dampak lanjutan, sumber pangan masyarakat akan terancam hilang.

Walhi Sulteng pun menyebut, titik konsesi tambang batu gamping sebagian besar masuk dalam wilayah pertanian produktif. Wandi bilang, kalau perusahaan beroperasi, akan menghancurkan sektor pertanian.

“Misal, di Desa Boyomoute dan Lelang Matamaling,  batas konsesi tepat 100 meter dari pemukiman masyarakat. Ini diketahui dengan ada patok yang dibuat tim perusahaan,” katanya.

Tak hanya itu, katanya, bencana ekologis seperti longsor juga menjadi ancaman serius jika perusahaan beroperasi. Pasalnya, hampir sebagian besar pemukiman masyarakat di Peling berada di pesisir pantai dengan ketinggian 0-500 Mdpl dengan kemiringan 20-30 derajat.

Sedang lokasi titik pertambangan berada di ketinggian 700-800 Mdpl, atau tepat berada di atas perkampungan dan desa-desa.

Walhi Sulteng mendesak pemerintah daerah harus menjadi garda terdepan mengantisipasi masalah yang akan terjadi ke depan di Pulau Peling ini.

Pemerintah daerah, katanya,  harus menghentikan seluruh proses permohonan izin pertambangan batuan gamping dan mencabut seluruh izin-izin yang sedang eksisting baik status WIUP dan IUP.

“Jika izin-izin itu tidak dicabut, maka pemerintah daerah menjadi aktor utama yang menciptakan bom waktu bagi kehidupan di Pulau Peling.”

 

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Bupati minta tinjau izin, KESDM bilang…

Pemerintah Bengkep melalui bupati telah mengirim surat kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meninjau kembali wilayah pertambangan di wilayah mereka. Sayangnya, surat itu dibalas dengan meminta Bupati Bangkep berkoordinasi dengan Gubernur Sulawesi Tengah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25/2023 tentang wilayah pertambangan, bahwa menteri menetapkan batas dan luas WP setelah ditentukan gubernur dan berkonsultasi dengan DPR berdasarkan rencana WP.

Dalam aturan itu juga disebutkan, gubernur dalam menentukan WP harus berkoordinasi dengan menteri dan bupati/wali kota. Dalam penetapan wilayah pertambangan, kewajiban koordinasi itu tidak dilakukan Pemerintah Sulteng ke Pemerintah Bangkep.

“Kami juga awalnya tidak mengetahui perusahaan-perusahaan ini. Tapi, tiba-tiba mereka sudah ada izin dari pemerintah provinsi. Harusnya ada koordinasi ke kita, hal itu tidak dilakukan,” kata Leonarto Gonero, Kepala Bidang Penataan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, DLH Banggai Kepulauan, kepada Mongabay.

Leonarto yang juga Anggota Forum Penataan Ruang (FPR) bilang, pemerintah provinsi melalui Dinas ESDM Sulteng hanya meminta informasi pemanfaatan ruang. Tidak ada sedikitpun koordinasi soal perizinan puluhan perusahaan batu gamping yang berencana masuk di Banggai Kepulauan.

Leonarto bilang, Pemerintah Bangkep tak bisa semena-mena langsung mencabut izin-izin yang ada, karena semua itu kewenangan provinsi. Mereka hanya bisa berjuang melalui sidang analisis dampak lingkungan (amdal) yang akan dilaksanakan di provinsi.

“Melalui sidang amdal, nasib perusahaan akan ditentukan. Apakah izin mereka (perusahaan) disetujui seluruhnya, disetujui sebagian, atau ditolak sepenuhnya.”

Mongabay berupaya untuk mengkonfirmasi masalah ini ke Kepala Dinas ESDM Sulteng, Rachamansyah Ismail melalui pesan Whatsapp dan telepon seluler. Hingga berita ini diterbitkan, nomor tidak bisa tersambung.

Yudi, Pelaksana Tugas Bidang Mineral dan Batubara, Dinas ESDM Sulteng mengaku sudah ada puluhan tambang batu gamping yang sudah mendapatkan izin di Banggai Kepulauan. Namun, katanya, rata-rata masih dalam tahapan eksplorasi.

Dia bilang, semua proses perizinan sekarang sudah berbasis online seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24/2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission).

Dengan proses perizinan berbasis online itu, kata Yudi, perusahaan bisa mudah mendapatkan izin, dalam tahapan eksplorasi, bukan operasi produksi.

Untuk mendapatkan izin operasi produksi, katanya, perusahaan harus sidang amdal atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL).

“Dengan sidang amdal atau UKL-UPL itu, bisa ditentukan apakah perusahaan itu bisa diberikan izin lingkungan atau tidak. Karena semua hal dipertimbangkan, termasuk kawasan karst Banggai Kepulauan yang terancam ditambang,” kata Yudi kepada Mongabay.

 

Protes warga Bangkep, tolak tambang batu gamping. Foto: Sarjan Lahay/ Mongab ay Indonesia

*******

Exit mobile version