Mongabay.co.id

Masyarakat Sipil Tuntut Partisipasi Publik dalam Proses RUU KSDAHE

 

Masyarakat Sipil Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dan Masyarakat Adat melayangkan surat terbuka kepada Panitia Kerja Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eksosistemnya (RUU KSDAHE).

Masyarakat sipil terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) meminta Panja menunda proses legislasi RUU KSDAHE. Lantaran prosesnya tidak terbuka dan tidak melibatkan publik dalam merumuskannya. Seperti, tidak ada dokumen perkembangan legislasi rapat Panja RUU KSDAHE di laman dpr.go.id.

Sebelumnya, masyarakat sipil menyampaikan masukan substantif terkait perubahan kebijakan sejak 2016 sampai pembahasan 2023. Masukan berupa kertas kebijakan (policy brief), usulan pasal kunci dan Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang diserahkan pada April 2023 dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja RUU KSDAHE. Dari dokumen terakhir draft RUU KSDAHE yang diterima masyarakat sipil, ternyata banyak permasalahan materil dan formil.

Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI Satrio Manggala mendorong perubahan paradigma dalam pengelolaan kawasan konservasi. Selama ini, paradigma konservasi melihat masyarakat adat, masyarakat lokal sebagai ancaman bukan mitra yang menjaga kawasan konservasi. “Didorong perubahan paradigma sebagai substansi utama transformasi konservasi. Justru di draft RUU KSDAHE berubah, dan hilang,” kata Satrio dalam konferensi pers masyarakat sipil secara daring, Jumat (19/01/2024).

Dalam RUU tersebut, pendekatannya cenderung menimbulkan konflik sosial di kawasan konservasi. Pemidanaan cenderung menggunakan penjara yang menyasar perorangan. Namun, tidak mengatur sanksi pidana atas kejahatan yang menjerat korporasi. “Pendekatan represif untuk menekan masyarakat lokal, masyarakat adat. Mengikuti paradigma konservasi lama,” kata Satrio.

Masyarakat sipil mengusulkan ancaman wilayah konservasi bertumpu pada korporasi. Sehingga pidana yang masuk adalah pidana denda, dan perampasan aset. Apalagi, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada tindak pidana korporasi.

baca : RUU Konservasi Diharap Akomodir Kepentingan Masyarakat Adat

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, RUU tidak terintegrasi dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) soal hak gugat organisasi untuk perlindungan lingkungan hidup. Organisasi lingkungan hidup, katanya, seharusnya menjadi pihak yang memiliki hak gugat ketika kawasan konservasi mengalami ancaman tertentu. “Khususnya oleh kebijakan negara. Ada kawasan konservasi yang terkonversi akibat kebijakan negara,” kata Satrio.

Untuk itu, ia meminta Panja RUU KSDAHE membuka kembali ruang partisipasi publik untuk meninjau bersama atas substansi yang keliru dalam draft RUU. Jangan sampai terbalik, katanya, setelah disahkan kemudian menemui kegagalan dalam menetapkan kawasan konservasi. “Menimbulkan kriminalisasi baru, perampasan wilayah adat dan masyarakat lokal,” katanya.

 

Wilayah Konservasi Rusak

Menurut Satrio, konservasi penting untuk menjaga biodiversitas di Indonesia sebagai negara dengan biodiversitas terbesar. Sedangkan selama ini, Satrio menilai pemerintah tidak serius menangani wilayah konservasi di kawasan esensial seperti mangrove, karst dan gambut.

Menurutnya, mangrove semakin hancur karena proyek besar di kawasan pesisir seperti kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, dan tanggul laut yang menghabiskan ekosistem mangrove. Sehingga menambah kerentanan dan menambah beban berat saat situasi krisis iklim.

Sedangkan kawasan karst mengalami tantangan akibat tambang batu gamping untuk semen, dan pariwisata. Di kawasan gambut, terjadi konversi perkebunan menjadi lahan food estate. Saat siklus kering atau El Nino gambut mudah terbakar, sedangkan ketika siklus basah atau El Nina rawan tergenang. “Tambang pasir laut membuat situasi perairan membahayakan,” ujarnya.

Sedikitnya 75 persen wilayah adat seluas 1,6 juta hektare masuk kawasan hutan dengan berbagai fungsi termasuk kawasan konservasi. Sebanyak 2,9 juta jiwa berada di dalam kawasan konservasi. Wilayah adat yang masuk kawasan hutan berdampak terhadap hak politik masyarakat adat. Direktur Advokasi PB AMAN  Muhammad Arman menuturkan pada Pemilu 2019, sebanyak 1,4 juta jiwa masyarakat adat kehilangan hak politik.

“Pemerintah menganggap mereka tidak masuk wilayah administrasi, sehingga tidak punya hak pilih,” katanya. AMAN berharap perubahan yang signifikan dengan menggunakan pendekatan konservasi berbasis hak dan inklusif. Penetapan kawasan hutan sebelumnya bermasalah bagi masyarakat adat.

baca juga : Konservasi Hutan Lebih Efektif Bersama Masyarakat Adat

 

Suku Asmat, di Kabupaten Asmat, Papua, sedang melakukan satu upacara adat di tengah hutan mereka. Foto : shutterstock

 

Sepanjang 2023, konflik kawasan hutan menduduki ranking pertama kasus yang dihadapi masyarakat adat. Sehingga mereduksi hak masyarakat adat atas hutan adat. Banyak wilayah hutan adat belum mendapat rekognisi secara nasional. “Hutan adat dianggap belum menjadi hak,” katanya.

Arman menyebut konflik masyarakat adat Colol, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Barat pada Maret 2023. Konflik masyarakat adat di wilayah konservasi ini menyebabkan enam orang meninggal, 28 terluka dan tiga orang cacat seumur hidup. “Konflik disebabkan UU KSDAHE No.5/1990. Wilayah adat diambil sepihak sebagai wilayah konservasi,” katanya.

Arman menyebut tiga putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan status hutan adat. Putusan MK No.45/2011 menyebutkan penunjukan wilayah hutan inkonstitusional, karena belum melewati empat tahapan. Mulai penunjukan wilayah hutan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kaswasan hutan.

“Kawasan hutan ditetapkan sepihak, tidak partisipatif. Alih-alih persetujuan mayarakat adat dan masyarakat lokal yang menempatkan hutan sebagai ruang hidup dan penghidupan mereka” kata Arman.

 

Hutan Adat bukan Hutan Negara

Dalam putusan MK No.35/2012 spesifik menyebut hutan adat bukan hutan negara. Hutan sebagai suatu ekosistem dan ruang hidup dan kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Sedangkan putusan MK No.3/2010 pemanfaatan sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tingkat pemerataan sumber daya bagi rakyat dan tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam.

“Prinsip dasar putusan MK, tidak mewarnai draft RUU KSDAHE. Dulu draft awal ada klausul masyarakat adat, kemudian dihilangkan,” katanya.

baca juga : Pemilu 2024: Visi Misi Capres-Cawapres Belum Berpihak pada Konservasi Laut Berbasis Masyarakat

 

Petugas dari BKSDA Aceh dan Forum Konservasi Leuser (FKL) memasang GPS Collar pada gajah sumatera liar di hutan Ekosistem Leuser, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur pada 06 Maret 2019. Pemasangan GPS tersebut dilakukan pada salah satu gajah yang berkelompok untuk mengetahui jalur lintasan sehingga bisa membantu informasi untuk mitigasi konflik dengan masyarakat dan mencegah perburuan.

 

Menurut Arman, praktik konservasi ala masyarakat adat selalu dipraktikkan dengan cara tradisional. Sedangkan, selama ini konservasi seolah hanya dilakukan negara. Padahal pengelolaan konservasi dan kawasan hutan yang inklusif, partisipasi masyarakat adat menjadi kunci. Memastikan konservasi berjalan baik.

Ada pasal yang berbahaya, mengenai setiap orang wajib melakukan kegiatan konservasi, kalau tidak harus melepas hak atas tanah. Lantas, bagaimana masyarakat adat yang dianggap tidak memiliki hak atas tanah? Sepanjang 2023, sebanyak 100 rumah masyarakat  adat yang dihancurkan bahkan dibakar. Mereka dituduh menduduki kawasan konservasi.

“Mengapa usulan tidak diakomodir? Padahal kita punya hak partisipati, hak untuk mempertanyakan, hak untuk mendapat jawaban. Kenapa usul ditolak? Tiba-tiba pasal yang menjadi harapan hilang semua,” katanya.

Kepala BRWA, Kasmita Widodo mendorong perubahan paradigma konservasi yang inklusif. Masyarakat adat menjadi salah satu subjek. Namun, jauh panggang dari api, masyarakat adat justru menjadi obyek, dan berpotensi menjadi korban. RUU KSDAHE pendekatan hukum justru berpotensi terjadi kriminalisasi masyarakat adat.

“Kita bekerja mengembalikan hutan adat yang selama ini diklaim hutan negara,” katanya. Namun, prosesnya tidak mudah terutama di kawasan konservasi. Dalam Pasal 19 ayat 1 RUU KSDAHE disebutkan tidak boleh ada orang yang melakukan pengurangan luasannya. Maka jika diterapkan akan berimplikasi terhadap usulan hutan adat di kawasan konservasi.

RUU KSDAHE, katanya, merupakan ancaman nyata dan mengebiri putusan MK No.35. Saat ini hutan adat seluas 240 ribu hektare. Bahkan peta hutan adat sampai sekarang belum diverifikasi karena alasan berada di kawasan konservasi, taman nasional dan cagar alam.

“RUU berdampak terhadap perjuangan hak atas hutan adat,” kata Widodo. Data BKSDA menyebutkan sedikitnya 1,7 juta hektare wilayah adat berada di wilayah konservasi dan sebaliknya. Sehingga sangat sulit mendorong dikembalikan menjadi hutan adat.

baca juga : Masih Fokus ke Darat. LSM: RUU Konservasi Perlu Narasi Kelautan, Perikanan, dan Pulau Kecil

 

Hutan Bati, ruang hidup Masyarakat Adat Bati. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Staf riset dan komunikasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Erwin Suryana menilai UU KSDAHE masih melanggengkan proses konservasi yang gagal menjawab proses pelestarian alam dan lingkungan di laut dan darat. Model konservasi masih bertumpu model lama, taman nasional dan suaka alam. “RUU KSDAE bias darat,” katanya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan memperluas kawasan konservasi perairan pada 2030 seluas 30 juta hektare. Saat ini kawasan konservasi perairan seluas 28 juta hektare. Model konservasi yang akan dikembangkan tidak akan mencapai target. Paling utama, katanya, akan menimbulkan berbagai konflik. “Di daerah pesisir dan pulau kecil, terjadi penciptaan ruang untuk akumulasi kapital,” kata Erwin.

Dalam uji materi Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, MK memutuskan Negara harus menjamin perairan yang bersih dan sehat. Namun, setelah mengkaji RUU KSDAHE, Erwin pesimistis, tidak ada penghormatan terhadap masyarakat adat.

“Dalam pengelola ruang laut, masyarakat adat ditinggalkan,” katanya. Padahal, KIARA menemukan praktik terbaik konservasi dilakukan masyarakat adat dan masyarakat lokal. (***)

 

Exit mobile version