Mongabay.co.id

Menanti Presiden yang Seriusi Transisi Energi, Begini Masukan Organisasi Masyarakat Sipil [2]

 

 

 

 

 

 

Bukan hanya industri nikel yang banyak masalah, sebagai rantai pasok baterai untuk kendaraan listrik yang digadang sebagai kendaraan rendah emisi, organisasi masyarakat sipil juga mengkritik kebijakan pemerintah yang mendorong biomassa sebagai program transisi energi. Jelang pemilu ini, mereka mendorong pemerintahan baru tak dorong solusi palsu ini untuk transisi energi dari fosil ke terbarukan.

Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia mengatakan, penggunaan biomassa sebagai sumber energi berdampak terhadap lingkungan, pangan dan iklim.

“Sumber energi ini tergantung pada lahan. Ketika kita hitung emisi dari biofuel tidak boleh hanya dari ketika dibakar di mesin kendaraan, juga dari daur hidupnya,” katanya.

Selama ini,  katanya, biofuel di Indonesia masih pakai minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) sebagai bahan baku. Karena itu, harus menghitung emisi dari pembukaan lahan dan hutan, pengelolaan sawit di kebun, pabrik, sampai dibakar di mesin.

Dia bilang, perlu sekitar 0,823 kg CPO untuk menghasilkan satu liter biodiesel sementara emisi dari pengolahan minyak sawit jadi biodiesel 0,21 kg CO2e per liter biodiesel.

“Emisi dari produksi CPO jauh lebih besar karena faktor konversi lahan dan oksidasi lahan gambut,” kata Tommy.

Kalau pemerintah masih ngotot dengan solusi ini, dia mendorong perlu ada keterlibatan petani dalam rantai pasoknya.

Kebun-kebun tua petani dengan emisi lebih sedikit ketimbang mendorong perusahaan membuka kembali kawasan hutan dan menanam di areal gambut.

“Kalau petani itu kebun tua. Cocok jadi produsen di sektor biodiesel dan CPO tapi mereka tak pernah diakui sebagai produsen penting CPO.”

Pada 2017, penggunaan CPO untuk makanan pangan masih di angka 8 juta ton, sementara biodisel sekitar 2 juta ton. Pada 2022,  perkiraan CPO biodiesel 8 juta ton dan pangan 9 juta ton.

“Bisa dilihat penggunaan keduanya menyamai bahkan melebihi kalau ditingkatkan bauran jadi B40. Makin tinggi bauran, akan makin banyak CPO dibutuhkan.”

Sebagai pilihan, katanya, pemerintah harus mulai melirik penggunaan minyak jelantah sebagai pendamping sawit dalam biodiesel.

Minyak jelantah, katanya, punya komposisi kimia menyerupai minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel, rendah emisi gas rumah kaca dan melimpah di Indonesia.

Hasil kajian Traction Energy Asia 2022 menyebut, campuran minyak sawit dan jelantah bisa menurunkan emisi 2,4%-24% dari target penurunan emisi sektor energi.

“Selama ini,  kita mengekspor minyak jelantah. Lebih baik untuk dalam negeri karena bisa jadi bahan bakar seperti green diesel yang kualitas sama dengan solar konvensional,” katanya.

Amalya Reza Oktaviani,  Manager Program Bioenergi Trend Asia menyoroti dua aspek penggunaan biomassa yang terkandung dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).

Dia bilang, penggunaan biomassa dalam co-firing 52 PLTU dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) adalah klaim keliru netral karbon.

Co-firing, katanya, hanyalah akal-akalan untuk memperpanjang usia PLTU tua. “PLTU di Paiton, misal, lebih 30 tahun dan sudah harus pensiun. Pun demikian dengan Suralaya dan Ombilin. Karena mau pakai co-firing, maka mereka jalan terus, artinya energi kotor pun akan jalan terus,” kata Amel, sapaan akrabnya.

Catatan Trend Asia, perlu 10,2 juta ton biomassa untuk suplai 10% biomassa di 52 PLTU yang berkapasitas 18,8 GW. PLN hanya pakai 1 juta ton biomassa untuk operasional 43 PLTU co-firing sepanjang 2023.

“Ada potensi deforestasi seluas 1 juta hektar untuk memenuhi biomassa di PLTU co-firing ini. Kita pun akan mendapat surplus emisi 26,48 juta ton karbon.”

Hal ini akan bertambah parah dengan mandat pembangunan satu PLTBm di setiap provinsi di luar Jawa,  sebagaimana tertuang dalam rencana umum energi nasional (RUEN).

“Kami tetap pada standpoint kami, implementasi bioenergi selama ini bukan solusi bagi transisi energi.”

 

Kawasan industri nikel di Pulau Obi.   Industri nikel masih bergantung dari batubara sebagai sumber energi mereka hingga menimbulkan persoalan lingkungan.  Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

 

Anggi Putra Prayoga Manager,  Kampanye, Advokasi dan Media Forest Watch Indonesia (FWI) menyebut, co-firing akan menghasilkan efek domino mulai dari perubahan hutan tanaman, intervensi perubahan lahan dan akan berujung deforestasi.

“Ketika ada pemanfaatan biomassa untuk co-firing, akan buat kecenderungan baru peruntukan hutan alam. Sementara hutan bukan cuma soal emisi, ada sumber kehidupan terutama bagi masyarakat di timur dan pulau kecil,” kata Anggi.

Catatan FWI, Indonesia merupakan tuan rumah 93 juta hektar hutan alam. Sekitar 26,5 juta hektare di antaranya ada di dalam konsesi dan 66,5 juta sisanya ada di luar konsesi.

Sementara, sejak 2017-2021, ada 55.000 hektar deforestasi dalam 13 konsesi hutan tanaman energi untuk memenuhi kebutuhan biomassa.

“PLN membutuhkan minimal 8 juta ton woodpellet per tahun untuk kebutuhan co-firing 52 PLTU di Indonesia,” katanya.

Dalam pertitungan FWI, ada 4,56 juta hektar hutan alam bakal jadi korban untuk hutan energi. Artinya, emisi tak akan jadi netral karena ada pelepasan emisi terlebih dahulu dari konversi hutan alam.

“Sangat disayangkan. Klaim biomassa itu netral karbon karena akan tumbuh kembali itu keliru.”

Organisasi masyarakat sipil pun mendesak masing-masing paslon di Pemilu 2024 meninjau kembali kebijakan biomassa. Dia bilang, terlalu banyak dampak negatif dari solusi palsu transisi energi ini.

“Kita berikan warning pada tiga paslon. Kalau biomassa tetap digunakan maka proyeksi hutan alam yang akan dikorbankan mencapai 4,56 juta hektar,” kata Anggi.

Selain itu, desakan tak gunakan energi nuklir juga muncul. Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat mengatakan, bila mencermati rumusan visi-misi paslon capres yang terima KPU, tak satupun kandidat tegas menyebutkan posisi soal Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.

Kalimantan Barat,  jadi satu provinsi selain Bangka Belitung yang jadi target pembangunan tapak energi berbahaya ini.

“Jangankan soal PLTN, memastikan mengoptimalkan energi terbarukan juga pada visi-misi ketiganya juga tidak tegas,” katanya, dalam rilis kepada media.

Dia pun pesimis akan komitmen paslon capres/wapres punya sikap tegas tak bangun PLTN di Indonesia.

“Diharapkan sikap tegas,  bukan sekadar omon-omon soal serius capres dan cawapres mengoptimalkan energi terbarukan yang berkeadilan dan tak memaksakan PLTN di Indoneaia, termasuk di Kalbar.”

PLTN, katanya,  bukan solusi pemeratan energi dan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan. “Memastikan sumber energi bersih, aman, ramah, adil dan berkelanjutan melalui pemanfaatan energi terbarukan harus jadi pilihan para paslon.”

 

Sawit jadi bahan baku andalan biodiesel di Indonesia. Langkah ini berisiko, karena rawan menimbulkan persoalan di hulu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Apa kata para timses?

Respons beragam diutarakan perwakilan masing-masing tim sukses Capres-Cawapres. Irvan Pulungan, juru bicara pasangan calon nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin)

Bioenergi dengan bahan baku dominan sawit, katanya,  akan coba dicarikan opsi lain. “Tahun 2006,  kita pernah punya blue print bahan bakar nabati. Itu tidak hanya dari sawit. Semangat itu perlu dibangkitkan lagi dan diperkuat dengan konteks demokrasi energi,” katanya.

Mengenai industri nikel, dia pun sepakat perlu perbaikan tata kelola.

Menurut dia, perlu ada kajian lingkungan hidup strategis dari proyek-proyek nikel. Salah satu yang akan didorong, katanya, lewat perbaikan regulasi.

UU Cipta Kerja, katanya, menjadi cikal-bakal masalah. “Undang-undang ini akan jadi prioritas revisi dan evaluasi kebijakan karena proses perencanaan minim partisipasi masyarakat,” kata Irvan.

Paslon Amin disebut mendukung penuh evaluasi terhadap PLTU yang kini beroperasi, terutama untuk PLTU di Jawa dan Bali yang sudah uzur. PLTU di Jawa pun, katanya, sudah kelebihan pasokan.

“Ada Suralaya, Cirebon, Indramayu, Cilacap dan Pelabuhan Ratu. Juga akan ada evaluasi PLTU di Sumatera dan Kalimantan yang gunakan mesin bekas.”

Untuk itu,  katanya, perlu didorong energi yang bisa gantikan PLTU yang akan dipensiundinikan. Salah satu sumber yang akan didorong adalah pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi.

Eddy Suparno, yang mewakili paslon nomor urut 02 Prabowo-Gibran dalam diskusi terkait nikel sepakat dengan ada beragam masalah di industri ini.

Dari beberapa lokasi yang dia kunjungi, menemukan fasilitas umum dan sosial tak memadai. Bahkan, tempat tinggal pekerja pun tidak layak.

“Benar kita butuh investasi, tapi jangan sampai abaikan aspek-aspek yang betul-betul jadi perhatian kita semua. Kita butuh investasi yang berkualitas,” katanya.

Perbaikan industri nikel, katanya,  akan mulai dengan pembenahan kementerian lembaga yang memberi izin.

Selama ini,  perizinan nikel ada di dua lembaga, Kementerian Perindustrian memberikan izin smelter, dan izin pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Yang mencabut izin ada di lembaga lain, di Kemenko Investasi dan Maritim. Ke depan, ini semua akan diurus di satu kementerian. Jangan sampai kita terus keluarkan izin smelter sementara nikel sudah mau habis dalam 15 tahun.”

 

Air Telaga Pucung di Jawa Tengah, yang jadi sumber energi listrik tenaga air. Foto: Hartatik

 

Terkait transisi energi, katanya, Prabowo-Gibran akan melakukan langkah realistis, bukan populis. Penutupan PLTU disebut Eddy sebagai langkah populis dan tak realistis karena perlu anggaran besar. Dia contohkan, Rp18 triliun untuk penutupan PLTU Cirebon dan Rp12 triliun untuk PLTU Palabuhan Ratu.

“Kalau hanya ingin menutup PLTU karena oversupply, dalam waktu 3-5 tahun energi yang kelebihan itu akan tertutup oleh kebutuhan penduduk yang terus bertambah,” katanya.

Co-firing, katanya, masih dianggap penting oleh paslon nomer 02. Karena pembangunan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan perlu waktu 6-8 tahun. Begitu dikatakan Drajad Wibowo yang mewakili paslon nomer dua dalam diskusi terkait biomassa.

Dia meminta, semua pihak membuka diri dari batasan yang selama ini dipakai untuk menahan efektivitas energi lain.

“Kalau ini tidak boleh, itu tidak boleh, apa yang harus kita lakukan?” katanya.

Penggunaan bioenergi sebagai satu pilihan saat Indonesia sedang bertransisi harus tetap dilakukan. Hal ini juga penting untuk menunggu sumber energi lain seperti panas bumi menjadi lebih murah dan terjangkau.

Dia setuju perlu tinjauan ulang terkait penggunaan sawit untuk bioenergi dan pangan. “Kita bisa melirik juga bioetanol dari singkong dan tebu. Sekaligus sebagai kemandirian komoditas gula,” katanya.

Edi Sutrisno, mewakili paslon nomer 03, Gandjar Pranowo- Mahfud MD dalam diskusi terakit nikel menyebut, perlu audit dan kaji ulang perizinan nikel. Selain itu, perlu juga moratorium smelter nikel sambil melakukan beragam perbaikan.

“Kita tahu,  kita pemain besar nikel dengan 22% produksi. Kalau hari ini kita eksploitasi besar-besaran, cadangan akan habis tidak sampai lima tahun ke depan,” katanya.

Dia juga menyoroti kondisi daerah penghasil nikel yang minim fasilitas umum dan sosial. Menurut dia, perlu ada perbaikan nasib warga lokal di sekitar industri ekstraktif ini.

“Ketimpangan tempat tinggal sangat kita sadari. Kita akan perbaiki kualitas dan kuantitas proporsi serapan tenaga lokal,” kata Edi.

Pasangan Ganjar-Mahfud disebut Edi akan memperbaiki beragam regulasi yang jadi penyebab tata kelola nikel buruk. “Termasuk dengan UU Cipta Kerja, kalau itu memang suara rakyat untuk perbaikan, akan kami perhatikan lagi.”

Terkait transisi energi, paslon 03 yang diwakili Agus Hermanto menyebut akan mendorong percepatan desa mandiri energi dengan kearifan lokal. Pengembangan mini hidro yang cukup masif di Kalimantan,  perlu diduplikasi di daerah dengan potensi serupa.

“Energi seperti mini hidro perlu didorong. Kalau mau cepat kita bisa dorong juga PLTS karena sudah ada beberapa yang terbangun,” katanya.

Dia menyebut,  akan ada program paslon 03 yang menginventarisasi CPO untuk biodiesel. Evaluasi untuk melihat berapa banyak CPO yang dibutuhkan untuk program biodiesel dan pangan.

“Nanti kita akan kerjasama dengan GAPKI (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia) untuk petakan ini.”

Perhitungan juga perlu untuk mengkaji biomassa co-firing. Jangan sampai, katanya, industri biomassa dan biofuel dikembangkan justru dengan membuka hutan.

“Akan dihitung berapa yang dibutuhkan dan dampaknya. Karena ini untuk keberlanjutan dan lingkungan. Ada dampak yang harus kita perhatikan,” katanya. (Selesai)

 

 

*******

 

Menanti Presiden yang Punya Komitmen Serius untuk Transisi Energi Berkeadilan [1]

Exit mobile version