Mongabay.co.id

Cuaca Ekstrem Berimbas pada Penurunan Produksi Kakao

 

Sudah lima tahun belakangan ini kakao yang ditanam Muhammad Amin (52), petani asal Desa Ujung Mattajang, Kecamatan Mappedeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan tidak membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan, bisa dibilang mengalami penurunan produksi.

Di lahan seluas 750 meter persegi yang ia garap awalnya mampu panen buah tumbuhan dengan nama latin Theobroma cacao itu sekitar 4 ton. Namun, karena akhir-akhir ini cuaca tidak menentu membuat panennya menurun.

Menurut dia, cuaca yang tidak menentu ditandai dengan kemarau panjang yang dapat menurunkan pertumbuhan tanaman kakao. Akibatnya, ia hanya bisa panen maksimal 600-800 kilogram per siklus.

“Penurunannya drastis sekali, selain pertumbuhannya jadi lambat, banyak juga yang gagal berbuah, kualitas kakao yang dihasilkan juga tidak seperti dulu-dulu,” keluh Amin, belum lama ini.

Pria yang juga sebagai pembina Koperasi Multi Jasa Petani tersebut mengatakan, berbeda dengan 10 tahun lalu, karena cuaca yang tidak menentu itu membuat kakao yang ia tanam mudah sekali terserang hama dan penyakit.

Selain kemarau panjang, penurunan produksi juga disebabkan oleh angin kencang yang mengakibatkan hampir seluruh daun kakao gugur, dan pucuk rantingnya banyak yang mati.

“Buah kakao yang berkembang di musim kering cenderung menghasilkan biji yang lebih kecil dibandingkan dengan buah kakao yang berkembang di musim hujan,” jelas dia.

baca : Cerita Kakao Organik Papua dari Kampung Berap

 

Serangan hama dan penyakit menurunkan produktivitas kakao hingga 70 persen. Berbagai upaya harus dilakukan termasuk melakukan peremajaan tanaman menggunakan bibit yang berkualitas. Foto : Hariandi Hafied

 

Berbeda dari Perkiraan

Cuaca yang tidak menentu akhir-akhir ini juga turut dirasakan Samidi (50), petani kakao asal Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, D.I Yogyakarta. Menurut dia, belakangan ini cuaca ekstrem seringkali terjadi.

Kondisi cuaca yang semula nampak normal tiba-tiba hujan deras datang. Kehadiran fenomena alam yang tidak lazim ini juga dibarengi dengan angin kencang dan petir. Akibat kejadian itu, bunga kakao yang ia tanam banyak yang rontok.

Padahal, jika bunga kakao tidak rontok itu bisa mengindikasikan bahwa pohon kakao bisa berproduksi secara optimal sesuai harapan. “Sebelum cuaca ekstrem, setiap tahunnya tanaman kakao itu mampu menumbuhkan bunga yang sangat banyak, per pohonnya bisa ribuan,” terang Ketua Kelompok Tani Sidomuncul ini, Selasa (09/01/2023).

Bila bunganya lebat, 4 persen saja yang masih bisa bertahan, berdasarkan perhitungan yang dia lakukan itu mampu menghasilkan 200 buah basah, atau lebih dari 4 kilogram biji kering.

Namun, karena kondisi cuaca yang tidak stabil itu membuat panennya tidak maksimal. Bahkan, pernah juga mengalami gagal panen. Sementara dalam proses pembungaan tanaman kakao ini ketergantungannya adalah pada intensitas curah hujan yang sedikit, namun bisa merata sepanjang tahun.

Lebih lanjut Samidi mengatakan, hal ini berbeda dengan kondisi sekarang, perubahan musim hujan dan kemarau terkadang sudah berbeda dari perkiraan sebelumnya.

“Selain curah hujan tinggi kelembaban yang tinggi juga bisa menyebabkan jamur semakin cepat menyebar,” jelas Samidi, petani yang bercocok tanam tanaman asal Amerika Selatan sejak era orde baru ini.

Saat musim hujan, lanjut dia, buah kakao banyak yang menjadi hitam-hitam, selain itu batangnya juga rentan terserang kanker. “Kondisi seperti itu bisa menular ke buah maupun batang pohon kakao yang lain,” kata dia.

Sesuai prediksi yang sudah dikeluarkan pada 3 Januari 2024, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan adanya fenomena dinamika atmosfer yang masih aktif, yang bisa memicu potensi cuaca ekstrem di beberapa wilayah. Sehingga satu pekan kedepan masih perlu diwaspadai.

baca juga : Kebun Wow, Cara Cerdas Petani Kakao Tingkatkan Produksi dan Tanggap Perubahan Iklim

 

Asep Ruhli Hakim, petani dari Luwu Timur, Sulsel, sempat putus asa dengan kondisi kebun kakaonya yang rusak berat akibat serangan hama PBK dan VSD. Melalui keikutsertaannya dalam pelatihan dan Cocoa Doctor ia berhasil mengembalikan kejayaan kakao di daerahnya. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Kurangi Lahan Subur

Berdasarkan data El Nino-Southern Oscillation Outlook terbaru, kejadian El Nino di dunia diperkirakan akan berlangsung hingga Januari-Maret 2024, dengan kemungkinan 71% akan meningkat pada November hingga Januari.

Dampak El Nino ini akan semakin intensif dan sering terjadi sehingga bisa mengurangi secara signifikan jumlah lahan subur untuk budi daya kakao. Hal ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga membahayakan penghidupan para petani.

Menanggapi hal itu, Direktur Perlindungan Perkebunan, Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro menyampaikan, cuaca ekstrem dapat berdampak signifikan terhadap produktivitas kakao secara Nasional.

Perubahan pola hujan, suhu yang ekstrem, dan fenomena cuaca lainnya bisa menyebabkan gagal panen, penurunan kualitas biji kakao, dan kerugian ekonomi bagi petani.

Selain itu, lanjut dia, kekeringan atau kemarau panjang mempunyai dampak yang signifikan terhadap produktivitas kakao secara nasional.

“Beberapa dampak utama yang dapat terjadi melibatkan aspek pertumbuhan tanaman, kualitas biji kakao,” terang pria kelahiran Surakarta ini melalui keterangan tertulis yang diterima Mongabay, Selasa (16/01/2024).

Untuk itu, dalam rangka membantu petani kakao yang menghadapi gagal panen akibat cuaca ekstrem tersebut pihaknya telah meluncurkan serangkaian program inisiatif, salah satunya memberikan bantuan melalui program Demplot Mitigasi dan Adaptasi Dampak Perubahan Iklim Berbasis Komoditas Perkebunan di berbagai daerah rawan kekeringan, program ini berjalan sejak tahun 2015.

Upaya lainnya, terang dia, yaitu melakukan pendampingan teknis dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan kepada petani dalam menerapkan praktik-praktik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, supaya para petani bisa mengatasi tantangan yang dihadapi saat ini. (***)

 

Exit mobile version