Mongabay.co.id

Keuneunong, Kearifan Masyarakat Aceh Memprediksi Cuaca

 

 

Keuneunong merupakan kearifan masyarakat Aceh memprediksi cuaca berdasarkan tanda-tanda alam.

Kearifan lokal ini telah dipraktikkan sejak lama, terutama untuk menentukan kapan waktunya bertani, melaut, atau melaksanakan kenduri adat. Usia penanggalan ini ratusan tahun, yang awalnya merujuk tahun Hijriah dan Masehi.

Iskandar Norman, penulis sejarah Aceh mengatakan, dalam penanggalan Aceh terdapat dua belas keuneunong selama satu tahun. Rangkaiannya semua ganjil, dimulai dari dua puluh tiga sampai satu.

Menurut Snouck Hurgronje dalam buku “The Atjeher” yang diterjemahkan oleh NG Singarimbun [Eds], terbitan Yayasan Soko Guru 1985, keuneunong diawali dengan Keunong dua ploh lhee [dua puluh tiga] atau pada Jumadil Akhir jika merujuk tahun Hijriah.

“Pada Keuneunong ini, biasanya padi-padi di sawah mulai menguning, banyak yang rebah dan menjadi puso karena awal angin timur yang sangat kencang,” jelasnya, Sabtu [20/1/2024].

Baca: Belajar Pengelolaan Laut Lestari dari Masyarakat Adat, Kenapa Tidak?

 

Sebagian besar nakhoda kapal nelayan tradisional di Aceh, masih menggunakan keuneunong untuk memprediksi cuaca saat hendak melaut. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Keunong dua ploh sa [dua puluh satu] atau Rajab, kondisi ini biasanya padi di sawah dipanen, atau kenduri turun ke sawah untuk mulai menyemai benih.

“Musim ini disebut juga musem luah blang dalam artian sawah-sawah sudah selesai dipanen dan dibiarkan, sementara sapi atau kerbau dilepas ke sawah.”

Keunong sikureung blah [sembilan belas], petani turun ke sawah dan keunong tujoh blah [tujuh belas] yaitu awal bertiupnya angin barat.

“Mengawali musim ini, nelayan biasanya mengadakan kenduri turun ke laut karena ombak tidak besar,” terang Iskandar.

Lalu, keunong limong blah. Pada musim ini sawah siap digarap dan ditanam, sementara di laut mulai ada badai. Pada pertengahan Bulan Zulkaidah akan beralih ke keunong lhee blah [tiga belas], berlanjut ke keunong siblah [sebelas] dan terus ke keunong sikureung [sembilan].

“Pada situasi ini, ketam darat atau kepiting darat akan keluar dari dari sarangnya, tapi yang pasti pada musim ini, cuaca sangat panas.”

Lalu, keuneunong tujuh tepat Bulan Safar. Pada musim ini, ditandai banyak anjing menggonggong malam hari atau dikenal waktunya anjing kawin.

Kemudian keuneunong limong [lima], ditandai bertiupnya angin timur dan nelayan melaut kembali. Lalu beralih keunong lhee [tiga] dan keunong sa [satu].

“Pada musim ini, hujan sangat lebat dan katak akan bersuara di setiap kubangan,” jelasnya.

Baca: Ritual Tolak Bala Suku Bajo Torosiaje: Kearifan Lokal Menolak Bencana

 

Keuneunong merupakan kearifan masyarakat Aceh memprediksi cuaca yang telah dilakukan sejak lama. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Keuneunong untuk memprediksi cuaca melaut

Ruslan, nelayan di Pulo [pulau] Aceh, Kabupaten Aceh Besar, mengatakan sebagian besar pawang [nakhoda] kapal nelayan tradisional di Aceh, masih menggunakan keuneunong untuk memprediksi cuaca saat melaut.

“Kami melihat pertemuan gugusan bintang kala [scorpio] dengan peredaran bulan yang dikombinasi dengan gugusan bintang biduk atau libra, bintang lhee [orion], dan beberapa bintang lainnya,” jelasnya, Kamis [25/1/2024].

Menurut lelaki yang kerap disapa Pawang Lan, posisi bintang dan bulan tidak hanya dipakai nelayan untuk memprediksi cuaca, tetapi juga menentukan arah saat melaut. Bulan keluar dan tenggelam juga bisa menentukan pasang surut air.

“Kalau sekarang lebih mudah, karena sejumlah kapal nelayan sudah memiliki GPS dan kompas,” ujarnya.

Zulchaidir, Magister Ilmu Kebencanaan, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, di Jurnal Ilmu Kebencanaan edisi Mei 2015, melakukan penelitian tentang keuneunong.

Dalam risetnya berjudul “Keuneunong Sebagai Adaptasi Masyarakat Pulo Aceh Dalam Menghadapi Bencana Hidrologi” dijelaskan  meskipun tingkat keakuratan perhitungan keuneunong tidak mutlak, namun sering membantu masyarakat mengantisipasi kondisi-kondisi alam yang buruk. Terutama, yang dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan dan harta benda.

Local and Indigenous Knowledge [LINK] harus diselamatkan agar tidak punah, karena sangat penting untuk mencegah bencana hidrologi, serta membantu kegiatan pertanian dan kelautan,” jelasnya.

Baca: Jerit Nelayan Tradisional Aceh, Kapan Kapal Pukat Harimau Ditertibkan?

 

Hasil tangkapan ikan di pasar Aceh. Hingga saat ini sebagian nelayan masih menggunakan perhitungan keuneunong meski sudah ada alat bantu kompas dan GPS. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perubahan cuaca

Rahmalia, mahasiswa Jurusan Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang, dalam skripsinya tahun 2022 berjudul “Sistem Keuneunong dalam Tradisi Penanggalan Masyarakat Aceh” menjelaskan penentuan musim yang umum di Aceh adalah menggunakan posisi rasi bintang scorpio.

“Sementara rasi bintang Pleiades, yang disebut kelompok bintang tujuh, berperan sebagai pelengkap. Keuneunong ditentukan berdasarkan hubungan posisi bintang skorpio dengan bulan.”

Pola perhitungan keuneunong didasarkan pergerakan bulan di langit yang memiliki periode sideris dan sinodis.

Periode sideris adalah ketika bulan telah menyelesaikan satu putaran penuh dan kembali ke tempat semula. Setelah 27,3 hari bulan akan kembali di rasi bintang yang sama, menunjukkan sudah melakukan satu perjalanan orbit penuh mengelilingi bumi. Bulan terlihat melintas di depan rasi scorpio pada saat tertentu.

“Nenek moyang umat manusia termasuk nenek moyang masyarakat Aceh, menggunakan posisi bulan yang melintas di depan rasi scorpio sebagai petunjuk perubahan cuaca.”

Baca juga: Hutan Gambut, Benteng Alami Tsunami yang Tidak Diperhitungkan

 

Terdapat dua belas keuneunong selama satu tahun. Rangkaiannya semua ganjil, dimulai dari dua puluh tiga sampai satu. Foto: Dok. Rahmalia/Universitas Islam Negeri Walisongo

 

Keuneunong dihitung dari Bulan Masehi

Sejak tahun Masehi masuk ke Aceh pada 1900-an, Keuneunong mulai dihitung berdasarkan bulan tersebut. Ini dilakukan karena tahun Masehi mulai mendominasi penanggalan.

Masyarakat Aceh juga membuat rumus yaitu, Keuneunong = 25 – 2 x bulan berjalan.

“Misalnya, Januari = 1, maka 25 – 2 x 1 = 23, maka Januari itu Keuneunong 23,” jelas Rahmalia.

Dari mana masyarakat Aceh mendapatkan angka 25?

Total 12 bulan dalam perhitungan tahun Hijriah adalah 354 hari. Bulan mengalami periode sideris 27,3 hari dan periode sinodis 29,5 hari. Jadi, 354 hari dibagi 27,3 hasilnya 13. Kemudian, 354 dibagi 29,5 yang hasilnya 12, lalu ditambah 13. Hasilnya, angka 25.

“Jadi, angka konstanta 25 merupakan 12 bulan sinodis ditambah 13 bulan sideris dalam satu tahun. Selanjutnya, angka bulan 25 dikurang 2 [2 kali bulan] lalu dikalikan bulan berjalan berdasarkan bulan Masehi. Hasilnya, keuneunong yang terjadi pada bulan tersebut.”

 

Pola perhitungan keuneunong didasarkan pergerakan bulan di langit. Foto: Dok. Rahmalia/Universitas Islam Negeri Walisongo

 

Rahmalia membandingkan gejala alam pada 2021, antara keuneunong dengan hasil pendataan BMKG Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar.

Misalnya, 21 Februari 2021, gejala alam berdasarkan perhitungan keuneunong adalah hujan turun dengan intensitas ringan. Angin bertiup tidak begitu kencang.

“Data di BMKG, curah hujan total 89 mm, suhu udara rata- rata 26.86 derajat Celcius, kelembaban rata-rata 80.21 persen, dan arah angin dominan timur laut. Ini sesuai dengan gejala alam di Keuneunong 21,” ungkapnya.

 

Inilah Gelombang Tsunami Tertinggi Dalam Catatan Sejarah Moderen

 

Exit mobile version