Mongabay.co.id

Petani Kopi di Jember Terdampak El-Nino, Kemarau Berlanjut, 2024 Bisa Lebih Buruk?

 

 

 

 

 

 

 

Musim kemarau berkepanjangan,  atau hujan terus menerus maupun cuaca tak menentu bisa berdampak pada pertanian kopi. Seperti kemarau panjang sebagai dampak El-Nino pada 2023, menyebabkan produktivitas kebun kopi menurun drastis di Jember, Jawa Timur.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan, El-Nino lanjut pada 2024. Petani kopi di Jember, makin khawatir.

Saturi, petani kopi di Jember, mengatakan, pada 2023 panen kopinya turun drastis, lebih 50%.

“…Cuaca itu, jadi banyak kebakaran. … Bunganya kering, terus daun banyak kering juga karena pohon mati, karena cuaca kemarau,” kata Saturi saat ditemui rumahnya, Desember lalu.

Kebun Saturi seluas dua hektar itu hanya hasilkan tak sampai satu ton biji kopi, kalau iklim bagus bisa sampai 2,5 ton.

Panen musim depan pun, kata Saturi, juga terancam tak panen maksimal karena bunga-bunga kopi rontok. Apalagi kalau kemarau panjang berlanjut, makin mengkhawatirkannya.

Sebelumnya,  iklim juga tidak bagus, curah hujan berlebihan hingga buah kopi membusuk. Dia bilang, iklim stabil di daerahnya 3-4 tahun lalu, setelah itu selalu tidak stabil.

Dia punya kopi robusta sekitar 3.200 pohon. Dia biasa metik kopi tiga kali dalam satu kali panen. Jarak waktu petik pertama ke waktu petik kedua antar 15-20 hari, demikian juga antara jarak petik kedua ke ketiga.

Musim ini, bunga pertama pohon kopi di kebun banyak rontok, kemungkinan yang bisa dipanen adalah bunga kedua dan ketiga.

Saturi sudah  bisa memprediksi hasil panen dengan melihat bunga-bunga dan bakal buah.

Selain iklim, yang jadi masalah petani kopi juga pupuk. Pupuk langka hingga memupuk kopi seadanya. “Kalau pun ada harga mahal.”

Pemerintah, kata Saturi, terkesan tutup mata atas masalah ini dengan tak memberikan bantuan apapun kepada para petani kopi.

Para petani, katanya,  dibiarkan sendiri, beradaptasi dan mencari solusi untuk kebun kopinya.

Kalau kebun kopi kadung rusak, kata Saturi, perlu biaya mahal untuk menanam kembali.

“Kopi kalau sudah kadung rusak untuk kembali semua sulit, harus tanam kembali,” kata Saturi.

 

Saturi, petani kopi di Jember, sedang mengamati kebunnya. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Sebagai upaya, katanya, beberapa petani kebun kopi di Jember gunakan pepaya sebagai pohon pelindung, sebagai tanaman tumpang sari, hingga kalau kopi kurang bagus, bisa panen pepaya. Namun, katanya, ketika suhu terlalu panas karena kemarau panjang, pepaya juga mati  hingga tanaman kopi juga mati. Kadang petani juga menanam cabai di sela-sela kopi.

Pujianto, Tenaga Ahli Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Puslitkoka mengatakan, pengaruh El-Nino pada kopi di Indonesia sebenarnya negatif dan positif, tergantung daerah dan kondisi kebun seperti penaungan.

Kondisi kebun berbeda-beda, katanya,  akan berdampak pada produksi yang berbeda-beda pula.

Di sebagian daerah, fenomena El-Nino ini akan berdampak positif terhadap kualitas kopi karena intensitas hujan menurun. Bentuk dampaknya pun bermacam-macam.

Pujianto bilang, pada 2023 dampak negatif El-Nino pada kopi tidak terlalu signifikan tetapi bisa berdampak pada 2024, sesuai jangka waktu panen sejak penyerbukan.

“Dampak dari penurunan hujan ini akan cukup signifikan pada kondisi-kondisi kebun-kebun tertentu terutama kebun di dataran rendah yang penaung kurang atau tidak ada penaung sama sekali.”

Untuk daerah-daerah perkebunan kopi di Pulau Sumatera, mutu kopi diperkirakan lebih bagus dari biasa karena ada penurunan hujan. Proses pengeringan kopi, katanya,  akan makin sempurna karena kemungkinan ada jamur akan lebih sedikit.

Kondisi ini, katanya, berbanding terbalik dengan perkebunan kopi di daerah daratan rendah yang kurang penaungan.

Iklim punya pengaruh besar terhadap suksesnya perkebunan kopi, tetapi bukan satu-satunya karena ada interaksi budidaya, maupun kondisi tanah.

Pujianto sebutkan, tingkat kematian pohon kopi karena kemarau panjang bisa sampai 30% dan penurunan produksi di kebun-kebun besar bisa sampai 27%. Untuk perkebunan rakyat (skala kecil) bisa bervariasi.

 

Kebun kopi petani di jember. Saat El-Nino, pada 2023, hasil panen kopi menurun drastis. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Dia merekomendasikan,  penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan kualitas perkebunan kopi. Penggunaan pupuk organik selain lebih aman terhadap tanah juga punya pengaruh baik dalam mengatasi defisit kejenuhan air. Makin banyak pakai pupuk organik, katanya, maka produksi akan makin naik.

“Kesimpulannya, perubahan iklim ini secara umum berdampak negatif meskipun di beberapa tempat atau spot itu perubahan iklim akibat El-Nino …. Ada efek positifnya terhadap mutu pada beberapa tempat yang curah hujan tinggi, namun secara umum produksi akan turun.”

Indonesia,  adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Ada tiga jenis kopi di Indonesia,  arabika, robusta, dan liberika.

“Sekitar 70-75% produksi kopi Indonesia itu termasuk atau tergolong pada jenis arabika,” kata Pujianto.

Dia bilang, sebagian besar kopi di Indonesia diproduksi di Aceh dan Sumatera Utara, sebagian lebih kecil dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sekitar 70% kopi di Indonesia dari Pulau Sumatera dan Jawa.

Setiap kopi dari berbagai daerah itu memiliki ciri khas masing-masing.

“Kopi Indonesia itu memiliki daya saing yang bagus,” katanya.

Mereka punya kebun kopi percobaan di Kabupaten Jember. Di kebun percobaan itu, dia melihat dampak langsung dari anomali iklim. Suhu terlalu panas akan membuat tumbuhan kopi tak tumbuh stabil, terlalu panas, sedikit awan di langit.

“Menyebabkan hama penggerek buah kopi yang biasa hanya di dataran rendah kurang dari 700. Dengan global warming, dengan suhu yang meningkat ini sekarang pada dataran tinggi pun di atas 1.000 meter pun itu bisa terserang.”

 

Kopi busuk di Jember, terdampak kekeringan panjang pada 2023. Foto: Mogh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

******

 

Krisis Iklim dalam Secangkir Kopi

Exit mobile version