Mongabay.co.id

Bagaimana Serangga Membantu Investigasi Kasus Kriminal?

 

 

Menentukan waktu kematian, menyelidiki apa saja yang terjadi pada mayat, merupakan hal penting dalam proses investigasi kasus kriminal. Dan jika kita berfokus pada serangga, mungkin semuanya akan terbongkar. Pertanyaannya, bagaimana serangga dapat membantu investigasi kasus kriminal?

Metode ini tercatat sudah dilakukan sejak abad ke-13 di Tiongkok, semakin sering sejak abad ke-19, dan nilainya untuk kasus forensik baru diakui awal abad ke-20. Sejak itu, penelitian selama beberapa dekade mengubahnya menjadi salah satu metode paling akurat dan tepat dalam menentukan waktu kematian.

Namun, proses ini harus dianalisis dengan benar oleh ahli forensik entomologi yang berpengalaman dan terlatih. Tujuannya, agar dapat memberikan perkiraan akurat mengenai waktu kematian korban, terkadang tempat, serta informasi berharga lainnya, termasuk penyebab kematian [Joseph et al., 2011].

Dr. Jason H. Byrd, pakar forensik entomologi dari University of Florida mengatakan, dalam investigasi forensik, studi tentang serangga dan kerabat arthopoda ini bahkan berlaku untuk pengungkapan masalah hukum perdata maupun pidana.

“Ada berbagai jenis ahli forensik entomologi di luar sana yang coba menemukan serangga untuk membantu penyelidikan kasus kriminal atau pembunuhan di perkotaan mereka,” katanya, dalam acara webinar Airlangga Veterinary Forensics Summer Course [AVFSC] yang berjudul  Wildlife Veterinary Forensics For Balancing The World, beberapa waktu lalu.

Dia menjelaskan, untuk membongkar dan menentukan perkiraan waktu kematian dalam sejumlah kasus, petugas kepolisian, agen detektif hingga ahli forensik entomologi, berusaha menemukan serangga yang berada di sekitar tubuh korban.

“Aktivitas serangga dapat menjadi acuan penentuan waktu kematian korban melalui adanya koloni dan tahap perkembangan serangga yang terdapat pada tubuh korban,” lanjutnya.

Baca: Kutu Busuk Bisa Bantu Ungkap Kasus Kriminal 

 

Lalat hijau [Lucilia sp.], jenis serangga yang digunakan ahli forensik untuk membantu proses investigasi kasus kriminal. Foto: Wirestock/Freepik/Free license

 

Sejumlah jenis serangga yang sering digunakan dalam proses investigasi forensik entomologi, meliputi lalat hijau [Lucilia sp.], cheese skippers [Piophilidae], fleshflies [famili Sarcophagidae] dan lain sebagainya.

Sejauh ini, meskipun ada banyak serangga yang terlibat dalam proses pembusukan tubuh manusia, lalat termasuk serangga yang sering digunakan dalam pengungkapan kasus kriminal.

“Hal ini dikarenakan, dalam fase hidupnya, serangga seperti lalat hijau akan menetaskan telur mereka ke tubuh korban, sehingga ketika telur itu menetas menjadi maggot, mereka akan melekat pada bagian tubuh korban untuk mendapatkan nutrisi dan tumbuh berkembang,” kata Jason.

Informasi tentang ukuran dan umur larva lalat pada mayat dapat digunakan untuk mengidentifikasi waktu, dan terkadang tempat kematian.

“Namun, karena banyaknya familia lalat maka harus diidentifikasi terlebih dahulu sebelum melakukan proses investigasi selanjutnya.”

Baca: Hilangnya Serangga jadi Ancaman bagi Keseluruhan Hidupan di Bumi, “Habitat Mikro” dapat jadi Solusinya

 

Seekor capung jarum atau damselfly yang tubuhnya berwarna hijau. Capung merupakan indikator alami sehatnya ekosistem lingkungan. Foto: Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Forensik entomologi

Secara umum, forensik entomologi sering digunakan untuk memperkirakan waktu kematian, terutama bagi korban yang sudah meninggal dalam waktu lama [hingga satu bulan], yang sulit diselidiki oleh ilmu forensik umum.

Penentuan waktu ini diperoleh melalui proses yang dikenal sebagai interval postmortem minimum [PIM]. Yakni, waktu sejak kolonisasi serangga pertama, dengan menentukan usia tahapan serangga [maggot] yang berkembang pada sisa-sisa tubuh manusia dan menganalisa pola berturut-turut, pra-kemunculan, kedatangan, tempat tinggal, dan keberangkatan serangga dari tubuh korban.

Mengutip penelitian Lutz et al. [2021], hal ini dapat diterapkan pada lebih banyak bidang serta menjawab sejumlah pertanyaan penting, seperti pentunjuk berharga apakah mayat dipindahkan? Atau juga, manipulasi tempat kejadi perkara.

“Selain itu, larva dan pupa, lebih tepatnya isi usus dan jaringannya, memiliki informasi yang menjanjikan untuk penyelidikan kejahatan seksual, terutama ketika korban ditemukan dalam tahap pembusukan lanjut.”

Ini juga berlaku untuk genotipe DNA manusia, dalam upaya mengidentifikasi sumber yang mereka makan, atau untuk mendeteksi obat yang dikonsumsi oleh orang yang meninggal selama hidup.

“Yang terakhir, pada saat terjadi perubahan iklim dan semakin meluasnya penyebaran spesies invasif, infestasi serangga pada manusia yang masih hidup akan lebih sering terjadi. Bahkan, di belahan Bumi utara dan dapat dievaluasi dengan menganalisis fauna pasien [hewan peliharaan], untuk menentukan periode pengabaian, untuk memperjelas pertanyaan tentang tanggung jawab mengenai kelalaian,” lanjutnya.

Mengutip Durden & Mullen [2002], pemeriksaan terhadap bukti serangga yang dikumpulkan secara cermat juga dapat membantu menyelesaikan kejahatan lain [misalnya, asal usul pengiriman obat-obatan, sumber kendaraan, serta aksesori lain yang digunakan dalam kejahatan] dengan memiliki bukti artropoda, yang melibatkan taksa dengan sebaran geografis khas.

Baca: Jika Serangga Menghilang, Malapetaka Besar Menanti Bumi

 

Kupu-kupu sangat bermanfaat membantu penyerbukan berbagai tanaman. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Belum maksimal

Dalam penelitian Lutz et al. [2021], hasil pencarian Google untuk “forensic entomology” mencapai 2.190.000 hits [permintaan dari pengguna browser], baik berupa artikel media massa, penelitian, hingga video dan wawancara.

“Namun meskipun terdapat perkembangan positif dan perbaikan di bidang ini, khususnya dalam 20 tahun terakhir, kami mencatat bahwa serangga masih jarang dianggap sebagai alat dalam kasus forensik.”

Serangga merupakan salah satu alat paling ampuh dalam menentukan menit PMI dan mempersempit waktu sejak kematian, dengan upaya pengambilan sampel yang minimal. Kesimpulan ini berasal dari analisis terhadap hampir 1.000 kasus.

“Oleh karena itu, kita dapat berharap bahwa forensik entomologi telah mengalami kemenangan heroik dalam ilmu forensik, namun kenyataannya tidak demikian,” katanya.

Baca juga: Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga

 

Semut sangat penting bagi ekosistem lingkungan. Foto: Pixabay/fotoblend/Public Domain

 

Ada tiga masalah relevan yang mereka identifikasi, sehingga menghambat dan menghalangi penerobosan dan penerimaan entomologi forensik. Pertama, semua penyelidik, ahli biologi forensik, teknisi TKP, dan ahli patologi forensik, harus mengetahui entomologi forensik dan menyadari potensi kekuatan serangga dalam penyelidikan.

“Tidak mengetahui tentang penggunaan serangga dalam penyelidikan pembunuhan adalah hal yang tidak dapat diterima atau bahkan merupakan malpraktik. Oleh karena itu, institusi terkait [akademi kepolisian, universitas, dll.] harus menerapkan entomologi forensik dalam kurikulumnya,” katanya.

Kedua, kendala terkait siapa yang bertanggung jawab dalam menyimpan bukti serangga, serta adanya pemikiran “semua pengambilan sampel ini akan dilakukan kemudian pada saat autopsi oleh ahli patologi forensik” [karena semua serangga tampaknya ada di mayat] dapat menyebabkan pengambilan sampel yang salah atau tidak lengkap.

“Dalam hal ini, keterlibatan ahli entomologi secara cepat, meskipun hanya berperan sebagai penasihat melalui telepon atau media sosial, dapat meningkatkan pengamanan bukti terutama di lokasi kematian.”

Ketiga, evaluasi bukti entomologis memerlukan pengetahuan ahli. Entomologi forensik adalah disiplin independen; ini berarti bahwa ahli entomologi forensik harus menganalisis bukti, menulis laporan dan menjelaskan hasilnya pada akhirnya juga di pengadilan selama persidangan.

“Keberhasilan laporan entomologi sangat bergantung pada penerimaan fakta ini. Meski demikian, kualitas laporan sangat dipengaruhi oleh kerja sama interdisipliner antara ahli patologi forensik, penyelidik, dan ahli entomologi,” tegasnya.

 

Referensi jurnal:

Durden, L. A., & Mullen, G. R. (2002). Introduction. In G. MULLEN & L. B. T.-M. and V. E. DURDEN (Eds.), Medical and Veterinary Entomology (pp. 1–13). Academic Press. https://doi.org/10.1016/b978-012510451-7/50003-7

Joseph, I., Mathew, D., Sathyan, P., & Vargheese, G. (2011). The use of insects in forensic investigations: An overview on the scope of forensic entomology. In Journal of Forensic Dental Sciences (Vol. 3, Issue 2, p. 89). https://doi.org/10.4103/0975-1475.92154

Lutz, L., Zehner, R., Verhoff, M. A., Bratzke, H., & Amendt, J. (2021). It is all about the insects: a retrospective on 20 years of forensic entomology highlights the importance of insects in legal investigations. International Journal of Legal Medicine, 135(6), 2637–2651. https://doi.org/10.1007/s00414-021-02628-6

 

Inilah Lima Spesies Baru Landak Berbulu Lembut dari Asia Tenggara

 

Exit mobile version